Suaramuslim.net – Money Politic atau politik uang di Tulungagung, semula hanya sebuah desas desus. Menjadi obrolan santai di warung kopi atau warung pecel. Apalagi sebelum tahapan pilkada dimulai sudah bertebaran foto salah satu bacalonkada. Ketika menginjak bulan Maret, pesaingnya juga mulai memampang foto. Kedua paslon yaitu Margiono-Eko dan Sah-to semakin perang foto di jalanan.
Semakin hangat ketika mendekati 27 Juni 2018, tidak hanya foto isu tentang politik uang semakin santer. Bahkan di Desa Bangoan ada orang yang tertangkap bagi-bagi uang yang diarahkan oleh pasangan tertentu. Salah satu calon di sebuah pasar juga dituduh melakukan politik uang setelah senam. Namun kedua kasus tadi oknumnya dilepas lagi mengingat tidak ada bukti yang kuat (pembuktiannya sulit).
Money Politic?
Money politic sebuah istilah dari asing. Jika diterjemahkan menjadi politik uang. Masuk ke Indonesia istilah tersebut dan menjadi sebuah pengucapan yang jamak saat penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan calon legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Di sekitar kita bisa juga diartikan dengan suap.
Sedangkan menurut Yusril Ihza Mahendra (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia) yaitu mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi.
Materi dengan bentuk barang atau uang. Bisa dibuktikan maka sudah bisa disebut dengan media money politic dan menjadi barang bukti. Pelakunya bisa dijerat dengan undang-undang nomor 10 tahun 2016 sebagaimana perubahan undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, dalam pasal 187 poin A hingga D. (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hal pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan atau 6 tahun serta dikenakan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Sanksi di atas juga berlaku bagi penerima yaitu (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pemberi dan penerima sama-sama terkena hukuman.
Money Politic atau Politik Uang menjadi tugas Bawaslu dalam pengawasannya. Sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 pasal 93 poin E yaitu Bawaslu bertugas mencegah praktik politik uang.
Senada dengan undang-undang No. 7 di atas, Bawaslu selain mengawasi juga berhak untuk membatalkan pencalonan kepala daerah bahkan ketika sudah menang sekalipun. Dengan syarat terstruktut, sistematis dan massif. Hal ini pernah dijelaskan oleh Fritz Edward Siregar anggota Bawaslu RI, jika paslon dalam pilkada terbukti melakukan politik uang secara terstruktur, sistematis dan massif maka bisa dibatalkan jikalau menang.
Namun para paslon tidak bodoh. Mereka tetap saja melakukan politik uang (yang tentu saja susah dibuktikan) karena biasa yang melakukan adalah individu-individu yang diusut ke atas akan terputus kepada paslon yang sedang bertarung. Alasannya ada yang ingin urunan buat pengajian, acara kampung atau semacamnya. Dan pemberiannya memang tanpa bukti berupa kuitansi.
Menjadi pertanyaan sekarang pembuktiaannya bagaimana jika berwujud rupa dengan sedekah, bantuan, atau hadiah. Bagaimana juga jika pemberi adalah pengusaha yang memang hariannya memang dermawan namun dia punya kedekatan dengan salah satu paslon?
Sebuah Fakta!
Tulungagung dengan luas 1055, 65 km² dengan penduduk 1.026.101 jiwa ternyata dinilai dengan penduduk yang transaksional. Data diperoleh dari penelitian yang dilakukan Dr Sufyanto dari Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI)-Jawa Timur. Data tersebut dipaparkan oleh Sufyanto, pada FGD (Focus Group Discussion) dengan mengambil tema “Evaluasi Tahapan Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Tulungagung Tahun 2018 Bersama Pakar Dan Pihak Terkait” di Istana Hotel pada hari Senin, 20 Agustus 2018. Beliau melakukan penelitian tersebut langsung di Tulungagung.
Data yang diperoleh adalah pemilih di Tulungagung 76,22% penerima imbalan materi. Hanya 23,78% yang tidak menerima imbalan materi. Angka ini membuat kaget para penggiat demokrasi maupun masyarakat akademisi pada umumnya. Masyarakat Tulungagung adalah masyarakat transaksional. Itu pandangan dari orang luar Tulungagung. Keadaan itu mengundang kegelisahan aktivis Kahmi, Dr. Nurkholis. Beliau dalam FGD di atas sampai berwejang agar demokrasi dikembalikan kepada sebuah nilai dengan cara pemilu dikembalikan kepada sebuah kejujuran dan keadilan.
Selanjutnya sikap terhadap imbalan tersebut cukup bervariatif. Bagaimana masyarakat Tulungagung bersikap setelah menerima materi. Menolak menerima uang tersebut sebesar 14,84%, menerima uang tersebut dan memilih yang memberi uang yang paling banyak sebesar 12,65%, menerima uang tersebut tetapi tetap memilih sesuai dengan hati nurani sebesar 55, 31%, dan menerima uang tersebut dan memilih yang memberi sebesar 15,85%.
Masyarakat Tulungagung yang transaksional cukup rasional. Uang dan materi dengan bentuk yang lain diberikan seberapapun tidak mempengaruhi kepada pilihannya. Konsisten dengan apa yang menjadi ketetapan hati. dan mungkin perlu kehati-hatian bagi calon bupati dan calon legislatif jika berada di tulungagung, karena uang yang mereka berikan untuk mempengaruhi suara belum tentu berbanding lurus. Angka 55, 31% cukup membuat sakit hati dan kecewa. Caleg yang masih nekat bermain uang dan ketemu dengan pemilih model seperti ini akan njleput (sia-sia).
Besaran imbalan menunjukkan tren naik dan nilai 25 ribu sudah tidak ada artinya. Berbeda dengan lima tahun yang lalu. Nilai segitu masih ada ajinya (gunanya). Termasuk untuk mendongkrak suara. Nilai di atas 50 ribu rupiah mencapai 53,29%, antara diatas 25 ribu sampai 50 ribu ada 20,74%, antara diatas 20 ribu sampai 25ribu sebesar 10,29%, antara diatas 15 ribu sampai 20 ribu sebesar 1,01%, antara diatas 10 ribu sampai 15 ribu sebesar 0,67 % dan 10 ribu saja sebesar 0,34 % sedangkan tidak tahu sebesar 13,66 %.
Tahun depan data ini masih relevan. Minimal sebagai gambaran. Berapa biaya yang akan dikeluarkan jika ada caleg yang nekat bermain di politik uang. Kalau tiba apesnya, yang ada pencalegannya bisa dibatalkan. Setelah melewati sidang adjudikasi di Bawaslukab.
Waktu pemberian juga antara kampanye dan hari H pencoblosan hampir sama. Hanya selisih beberapa persen saja. Hari H pencoblosan sebesar 28, 50 %, hari tenang kampanye sebesar 18,04 %, saat kampanye sebesar 26,64%, sebelum kampanye 12,31% dan tidak tahu sebesar 14, 50%.
Saat kampanye sudah menjadi rahasia umum. Paslon akan menarik simpati warga dengan berbagai acara. Dan saat demikian meski sudah diawasi panwaslu (sebelum bawaslu), tetap terjadi transaksi dengan masyarakat lewat tokoh-tokoh di masyarakat setempat lewat orang-orang yang memang pro dengan salah satu paslon. Paslon akan tetap “bersih”. Ada orang khusus yang memang dipasang untuk memberikan sajen (sajian untuk maksud memulyakan).
Kerawanan politik uang semakin memuncak di masa tenang dan hari H pencoblosan. Hari tenang ini setan-setan berkeliaran. Mereka semakin tidak tenang. Dialog-dialog di “bawah tanah” semakin intens. Dan tentu saja dengan uang dan sejenisnya. Mau dibuktikan? Sulit. Berapa sih personel Panwaslukab? Berapa kuat nyali Panwascam dan Panwaslu Desa? Aduan dari masyarakat ada. Namun Tulungagung tetap “bersih”.
Ada warga yang pernah cerita kepada penulis yang tidak berminat datang ke TPS namun dibiayai untuk datang ke TPS. Apakah ini ada korelasi partispasi masyarakat mencapai 73,75% daripada lima tahun yang lalu hanya 68% saja? Perlu kajian yang mendalam lagi.
Masihkah relevan anggapan sebagian orang jika politik uang di Tulungagung sebuah ilusi?
Kontributor: Muslih Marju*
Editor: Oki Aryono
*Guru dan Ketua PPK Kedungwaru