Leidersweg: Refleksi Kepemimpinan Jokowi

Leidersweg: Refleksi Kepemimpinan Jokowi

Jokowi saat bertemu dengan suku anak dalam, namun saat ini nasib mereka terabaikan (foto: kompas)

Suaramuslim.net – Jumat, 30 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo berbincang bersama tokoh suku Anak Dalam di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi. Lahan penghidupan dan rumah huni yang layak dijanjikan Presiden para para tokoh adat itu.

Esok harinya, pose foto Presiden yang tengah berbincang dengan mereka marak tampil sebagai headline media cetak ibu kota. Wajah Presiden begitu tulus dan mengudar optimis. Singkatnya, banyak pihak yang terkagum dan mensyukuri persuaan Presiden dan warga perdalaman itu.

Tapi waktu terus berputar, janji tinggal janji. Dan tiga tahun kemudian, para warga itu menagih. Tiada kunjung realisasi, kata mereka. Media-media yang sebelumnya gencari memberitakan, hanya terbilang minoritas mau memberitakan keluhan mereka. Semoga tidak habis manis (dicitrakan) sepah (aduan) dibuang. Lalu digegas dipenuhi meski alakadar saja karena semusim politik menjelang.

“Een leidersweg is een lijdensweg, leiden is lijden; jalan pemimpin itu bukan jalan yang mudah, memimpin adalah menderita.” Begini ungkapan Kasman Singodimedjo saat bertandang ke rumah Agus Salim bersama kawannya, Mohamad Roem. Nama-nama begitu harum dan patut disebut  negarawan mumpuni yang pernah dimiliki negeri ini. Berbincang soal yang berasa relevan dengan keluhan para tokoh suku Anak Dalam tadi.

Begitulah tugas pemimpin; berat dan pantas mengeluh. Tentu bukan pemimpin kalau hanya mengeluh saja, apatah lagi mengeluh dari peringatan rakyat atas janjinya yang diabaikan. Memimpin itu menguji kapasitas. Sepatutnya, mereka yang tak siap berjibaku dengan kerja jujur maka menepi saja. Bukan beranjak maju dengan gagah demi duduk (lagi) di kursi kekuasaan, walau sebenarnya itu dorongan pihak lain. Alhasil, ketika berkuasa, tak ubah sosok yang dikendalikan; bingung dengan pelbagai deraan masalah pada rakyatnya.

Memimpin itu menebarkan ketenangan. Bukan menderitakan rakyat. Tapi, saat yang sama, malah memuaskan para cukong politik. Termasuk sang empu pabrik minyak sawit yang dipaksakan tampil produknya di balik punggung foto Presiden yang begitu humanis itu. Memimpin adalah menderita, semestinya ini jadi pedoman. Sehingga, tak ada kabar semacam belakangan ini dibahas di mana-mana. Ada anasir yang mengaku mencintai Presiden begitu beringas bertindak pada sesama anak bangsa hanya karena beda aspirasi.

Memimpin adalah menderita, artinya tidak ada kamus untuk membiarkan penyokongnya melibas suara yang berbeda. Bukan lagi melibas dalam makna ungkapan, melainkan justru satu tindakan sistematis anarkisme yang—seturut itu—terkesan dibiarkan aparat keamanan.

Memimpin adalah menderita seperti lakon para pahlawan sebenarnya. Sosok sejati, bukan boneka atau wayang terkendali dalang. Sebab, memimpin adalah tugas beribadah. Sehingga, fungsi memimpin adalah menggunakan telinga dan matanya untuk menerima kritik rakyat.

Ruku dan sujud kepadamu

Bukanlah perbuatan bodoh

Itu lebih baik

Daripada tunduk patuh

Pada kebohongan rezim zholim

Yang seakan menguasai

Kehidupan kami.

Semoga sajak pendek, bernas namun kaya makna berjudul “Ibadahku” karya Zeffry Alkatiri (2014) ini jadi pengingat bagi sesiapa pun yang berambisi jadi penguasa. Penguasa yang memimpin; bukan penguasa yang fakir sikap kepemimpinan. []

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment