Suaramuslim.net – Menggapai cinta Allah adalah impian setiap orang beriman. Dalam hadits –seperti riwayat Bukhari– disebutkan bahwa indikator seseorang yang bisa merasakan iman adalah ketika Allah menjadi prioritas cintanya. Namun, bagaimana cara meraih cinta-Nya? Ayat-ayat Al Quran memberi –setidaknya- 10 kriteria terpuji.
Satu dan dua adalah orang yang taubat dan mensucikan diri. Mengenai hal ini bisa dilampiri dalam surah Al Baqarah (2) ayat 222 dan At-Taubah (9) ayat 108. Di sini disebutkan bahwa Allah mencintai orang yang bertaubat dan mensucikan diri. Setiap anak Adam (manusia) tidak ada yang tak pernah bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang punya kesadaran dan kesungguhan untuk senantiasa bertaubat sebagaimana sabda nabi.
Selain itu, mensucikan diri juga salah satu faktor yang bisa menarik cinta Allah kepada hambanya. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu menafsirkan kata “mutathahhirin” pada ayat tersebut sebagai orang yang pandai mensucikan diri dari dosa dan kotoran (Tafsir Ibnu ‘Abbas, 31). Dengan demikian, bersuci di sini menyangkut kebersihan jasmani dan rohani.
Tiga, menjadi pribadi “muhsinin”. Hal ini tertera pada surah Ali Imran (3) ayat 134. Ayat ini sedang berbicara dalam konteks ciri-ciri orang bertakwa yang salah satunya adalah “muhsinin”. Secara bahasa, “muhsin” adalah orang yang berbuat kebaikan. Syekh Sya’rawi menyebutkan bahwa “muhsin” adalah orang yang berbuat kebaikan plus. Sebenarnya dirinya tak wajib, namun tetap berbuat kebaikan yang menjadi nilai lebih baginya. Kata “muhsinin” dalam bahasa Arab juga identik dengan orang yang suka memberi atau dermawan. Tak mengherankan jika orang yang memiliki kriteria ini, dicintai Allah.
Empat, bertakwa. Dalam surah Ali Imran (3) ayat 76 disebutkan bahwa Allah suka kepada orang-orang yang bertakwa. Takwa secara bahasa berarti takut, waspada dan menjaga diri. Pada umumnya, takwa diartikan sebagai menjalani segala perintah Allah dan Rasul-Nya serta meninggakan segala larangannya. Definisi cukup gamblang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. “Takwa,” kata beliau, “adalah takut kepada Allah, mengamalkan wahyu yang diturunkan Allah, ridha dengan yang sedikit (yang dipunya) dan bersiap-siap untuk menghadapi hari kematian.
Lima, sabar. Dalam surah Ali Imran (3) ayat 146 disebutkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang sabar. Sebagaimana kesabaran para nabi dan pengikutnya yang tidak pernah merasa lemah, menyerah terhadap rintangan yang dihadapi. Sabar secara bahasa artinya menahan diri. Ibnu Qayyim dalam Uddah al-Shaabiriin (1409: 15) mendefinisikan sabar sebagai berikut: “Menahan diri (jiwa) dari rintihan; mengontrol lisan dari keluh-kesah; serta menahan anggota tubuh dari menampar pipi, baju dan semacamnya (akibat menghadapi sesuatu yang tak disenangi sebagai ekspresi kekesalan).”
Enam, “ittibaa’” (mengikuti) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Dalam surat Ali Imran (3) ayat 31 dikatakan bahwa untuk mendapatkan cinta Allah, maka seseorang wajib untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Bahkan, bukan sekadar cinta yang akan didapat, tapi juga ampunan dari-Nya. Maka, dalam hal ibadah misalnya, tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat: ikhlas dan mengikuti contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.
Tujuh, bertawakal. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” Demikian arti dari firman Allah dalam surah Ali Imran (3) ayat 159. Ini disebutkan sebagai pamungkas ayat yang sebelumnya membahas mengenai sikap lembut, permaafan, istighfar, musyawarah dan azam (tekad kuat). Tawakal secara bahasa berarti berserah diri. Namun, bila diamati dari hadits-hadits nabi, tawakal bukanlah berserah apa adanya tanpa usaha. Justru orang bertawakal adalah yang sudah mengerahkan usahanya, laksana tawakalnya burung. Pergi di pagi hari dengan perut kosong dan kembali di sore hari dengan perut kenyang.
Delapan, adil. Allah mencintai orang-orang yang adil. Sebagaimana dituturkan dalam surah Al Maidah (5) ayat 42. Adil menurut bahasa adalah condong dan istiqomah kepada kebenaran. Sedangkan menurut istilah, Imam Al-Jurjani dalam kitab Al-Ta’riifaat (1403: 147) menyebutkan: “Ungkapan kata yang menunjukkan pada suatu perkara yang pertengahan antara “ifraath” (berlebih-lebihan) dan “tafrith” (terlampau kurang). Dengan bahasa kita, adil adalah proporsional.”
Sembilan, mencintai Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam surah Al Maidah (5) ayat 54 diterangkan bahwa orang yang mencintai Allah dan akan dicintai Allah, bercirikan rendah hati (lemah lembut) kepada sesama mukmin, tegas pada orang kafir, berjihad di jalan Allah serta tidak takut pada celaan orang yang suka mencela. Semuanya adalah satu paket yang menunjukkan kecintaan dirinya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Sepuluh, berjihad di medan tempur dengan barisan yang rapi (QS. Shaf [61]: 4). Kedudukan jihad dalam pengertian perang memang sangat agung di sisi Allah. Barisan yang rapi dalam medan tempur saja, sudah menyulut cinta Allah subhanahu wa ta’ala secara keseluruhan. Namun, jihad dalam model ini dilakukan ketika syarat dan ketentuan syariatnya terpenuhi.
Dengan bertaubat, mensucikan diri (lahir batin), menjadi “muhsin”, bertakwa, sabar, mengikuti Rasulullah, tawakal, adil, mencintai Allah dan berjihad secara rapi di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, maka cinta Ilahi sangat besar kemungkinannya –insyaallah—akan tergapai.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono