Suaramuslim.net – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan, mengalami defisit keuangan tiap tahunnya. Tambal sulam kebijakan pun acap kali dilakukan. Tahun ini pemerintah memperkirakan defisit BPJS kesehatan mencapai lebih dari 15 triliun rupiah. Dua tahun berturut-turut pemerintah harus mencarikan dana talangan bagi BPJS kesehatan.
Pemasukan yang lebih kecil dibanding beban operasional, membuat BPJS kesehatan mempunyai hutang besar di banyak fasilitas kesehatan di tanah air. Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi meneken Peraturan Presiden (Perpres) baru soal pemanfaatan cukai rokok dari daerah untuk tutupi defisit BPJS Kesehatan. Kontan, hal ini menimbulkan kontroversi.
Pajak Dosa dari Cukai Rokok
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. dr. Hasbullah Thabrany melalui sambungan telepon dalam Talkshow Ranah Publik di radio Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (26/09/18) mengatakan, menutup defisit BPJS mengunakan cukai rokok atau pajak lazim digunakan seluruh dunia. Sementara dalam ajaran Islam, cukai disebut DAM, denda pelanggaran dari ibadah haji atau dalam kesehatan dana denda akibat perilaku buruk seseorang merusak diri sendiri dan lingkungan.
“Jadi ini hal yang lazim yang dilakukan, cuma orang sering keliru, karena diplesetkan seolah-olah perokok menyelamatkan BPJS. Ini salah besar, di negara-negara maju dana cukai rokok disebut pajak dosa, karena merokok itu dosa,” jelas Prof. Hasbullah.
Prof. Hasbullah menyebut, konsep cukai rokok seharusnya menjadi kontrol peredaran rokok, dengan menaikkan harga rokok yang tinggi seseorang tidak akan membeli. Dengan uang cukai itu diharapkan pemerintah dapat membangun fasilitas kesehatan bukan malah menyalurkan ke sektor yang tidak produktif.
“Dalam ajaran Islam, jika seseorang mendapat musibah maka diwajibkan untuk menolong sesama tidak memandang status sosial dan agama. BPJS ini merupakan konsep Islam yaitu tolong menolong secara nasional ”Wa ta’awanu ‘alal birri wat taqwa,” ujarnya.
Namun, salah satu faktor yang menyebabkan defisit adalah pemerintah menetapkan iuaran di bawah dari yang dibutuhkan. Semestinya pemerintah mengeluarkan dana dari APBN. “Ini letak korupsi pemerintah, iuran yang seharusnya Rp 50.000 ditarik menjadi Rp 23.000, ya pasti defisit karena pemeritah yang memutuskan,” lanjutnya.
BPJS Bukan Untuk Tujuan Sosial
Prof Hasbullah menilai, pemerintah masih mengunakan paradigma lama yaitu masyarakat yang sakit adalah kesalahan sendiri. Hal ini berbeda dengan konsep Islam, UUD 1945 Pasal 28 H dan pasal 34 tentang setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
“Karena konseptualnya seseorang yang sakit adalah musibah. Siapa yang menjamin orang hidup sehat tidak sakit,” tambahnya.
Senada dengan hal itu, Ilham Akhsanu Ridlo dari Tobacco Control Support Centre Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dalam Talkshow Ranah Publik di radio Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (26/09/18) menyatakan, kebijakan selalu mempunyai dua sisi, mekanisme ini paling relevan yaitu mengambil dana cukai rokok buat menambal BPJS namun sifatnya sementara.
Namun narasi yang terbangun di kalangan masyarakat khususnya perokok, kata Ilham, yaitu mereka turut bangga menyumbang BPJS atas dana cukai yang dipakai, padahal rokok berkontribusi pada besarnya nilai klaim pasien pengobatan penyakit katastropik pada periode Januari–Agustus 2018, pengeluaran kesehatan sebesar 12,8 triliun dan 3 besar tertinggi adalah penyakit jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal.
“Bayangkan analogi menjadi sebuah pembenaran, maka sampai kapan pun BPJS kesehatan selalu defisit, jika dikaitkan dengan prilaku kesehatan, ini konyol dan harus diluruskan,” kata Ilham.
Tanggapan Warga
Pendengar radio Suara Muslim dari Blitar, turut berpendapat melalui pesan singkat. Menurutnya carut marut BPJS menampakkan dengan jelas pemerintah tidak amanah mengelola uang rakyat.
“Tanggapan saya, seorang perokok akan bangga turut menyumbang kesehatan, yang intinya akan timbul para perokok baru dan berputar seperti rantai makanan,” tulis Nur, pendengar lainnya dari Prigen melalui WhatsApp.
Ilham menanggapi, masalah BPJS sangat komplek. Menutup defisit BPJS Kesehatan dengan dana pajak rokok daerah seharusnya bersifat temporer karena pajak rokok daerah dialokasikan sebagai dana promotif-preventif (pencegahan) dan bukan untuk penyelesaian masalah kesehatan yang bersifat kuratif (pengobatan).
Perilaku merokok adalah hal negatif, konsekuensi dari perilaku aditif tidak bisa dibenarkan melalui framing jika merokok maka turut menyumbang. “Ini sebuah lingkaran setan, karena cukai rokok mempunyai fungsi pengendalian, jika harga dinaikkan lebih banyak pasti akan ada penurunan jumlah perokok, minimal seseorang akan mengurangi jumlah rokok di setiap hari,” tutur Ilham.
Namun menurutnya ada premis mengatakan, perokok akan berhenti jika menyangkut kesehatan pada fase yang terberat. Misalnya seseorang mengalami sakit jantung yang dirasa sudah pada tahap terberat. “Mungkin akan sadar, tetapi kita tidak menginginkan seperti itu,” ucap Ilham.
Siasat Mengatasi Defisit BPJS Kesehatan
Defisit BPJS Kesehatan adalah hal yang sudah diprediksi sejak awal. Beban pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) meningkat setiap tahun, sementara pemasukan dari iuran publik yang dikelola BPJS lebih rendah dari nilai klaim pasien JKN setiap tahunnya.
Ilham menegaskan, pemerintah juga harus menaikkan harga rokok melalui cukai sebagai win-win solution. Dengan menaikkan cukai rokok, pemerintah akan mendapat dana tambahan untuk mensubsidi peserta Penerima Bantuan Iuran yang juga berkontribusi terhadap beban JKN namun juga sebagai upaya preventif dalam masalah kesehatan yang selama ini menghantui BPJS Kesehatan.
Selain itu, pemerintah harus mempunyai komitmen terhadap kesehatan masyarakat. “Harus berani mengambil keputusan logis meskipun tidak populer secara politis untuk menaikkan premi asuransi dari peserta BPJS Kesehatan yang mampu bayar. Hal ini harus dilakukan mengingat rendahnya premi adalah masalah awal defisitnya BPJS Kesehatan,” ujar Ilham.
“Jika pemerintah tidak ingin menaikkan iuran, maka dapat mengambil dana APBN. Sebenarnya penggunaan subsidi elpiji 3 kg, subsidi solar, listrik bisa dialihkan,” pungkas Ilham.
Senada dengan hal itu, Prof Hasbullah menyebut, buat apa subsidi dilakukan jika yang menikmati bukan orang miskin, subsidi tahun depan mencapai 150 triliun. “Saling menolonglah dalam urusan kesehatan, gunakan uang rakyat dalam APBN untuk menjamin kesehatan masyarakat Indonesia,” tutup Prof. Hasbullah.
Reporter: Dani Rahmati
Editor: Muhammad Nashir