Suaramuslim.net – Post hoc ergo propter hoc. Kita sering tergelitik, tergoda, terpancing, untuk menautkan dua kejadian dalam durasi berdekatan atau berwaktu-tepat (misal tepat 1 bulan; tepat 1 tahun) sebagai peristiwa yang saling memengaruhi.
Setahun lalu seorang dai dilaporkan sekelompok orang Islam, dan sebulan berikutnya polisi menetapkan status tersangka pada sang dai. Setahun persis (berdasarkan bulan), terjadi bencana di tempat kejadian. Kantor polisi dan—mungkin saja—sebagian orang yang melaporkan sang dai turut sebagai korban. Bencana itu lantas memantik beberapa orang untuk berasosiasi saling-pengaruh. Disebabkan ketidakadilan pada sang dai, terjadilah bencana.
Di kota yang ditimpa bencana yang sama, ada perempuan-politisi sesumbar memajang keloyalannya pada penguasa. Meski gempa menerpa kotanya, pilihannya tetap satu: penguasa idolanya. Hanya beberapa hari kemudian, “doa” perempuan itu “terkabul”. Kejadian benar-benar di depan mata, bahkan dengan skala yang mengerikan. Maka, ada sebagian insan yang menarik dua kejadian ini sebagai sebab dan akibat.
Sang dai ditahan dengan cepat oleh kelompok ormas, dan polisi sigap memproses, padahal di kota lain ada kejadian sebaliknya. Orang yang jelas-jelas memperlihatkan pelanggaran hukum berkali-kali cenderung diabaikan aparat. Laporan bukan sekali-dua datang ke kantor aparat. Ada ketidakadilan memperlakukan warga negara? Dan ketidakadilan itu satu dosa dan penistaan pada hukum? Dua-duanya amat jelas. Tapi, apakah ini sebab otomatis dan absolut hadirnya murka Allah? Kita tidak tahu.
Sesumbar dukungan sang politis itu masuk kategori sombong? Jelas. Sebersit sombong saja dilarang, apatah lagi dilambungkan di jagat maya yang dibaca banyak orang. Parahnya, yang disombongkan berupa loyalitas pada kekuasaan yang bisa sering kali tidak amanah dan berdusta. Tak ada “ruqshah” dalam agama si politisi untuk membolehkan pamer loyalitas. Hanya saja, apakah pelanggaran ini otomatis memancing balak dari Allah, bahkan ketika dimaknai ucapan sesumbar itu sebagai doa yang diijabah malaikat?
Alih-alih mengait-ngaitkan kejadian yang tidak mesti saling berkaitan, atau berspekulasi kita menempatkan sebagai penafsir ayat-ayat Al Quran seputar azab-siksa-ujian di sebalik bencana alam, mari tahan. Lebih prioritas membantu korban, dengan segala yang kita mampu. Lebih mendesak mendoakan para korban yang menyisakan banyak air mata. Lebih beradab dengan menafakuri kejadian itu apa maknanya, tanpa harus berlekas-lekas menyimpulkan seolah kita punya otoritas di balik ayat atau hadits seputar musibah.
Memang benar, dalam Islam bencana tak semata-mata soal kejadian eksakta yang ditakdirkan. Ada proses mengapa kejadian bencana terjadi. Ada sebab kejadian “kauniyah” dan sebab kejadian “qauliyah”. Tugas kita adalah mencari tahu keduanya untuk satu tujuan: merendahkan diri di hadapan kebesaran Allah.
Sebab yang pertama, yakni sebab kejadian kauniyah, menyusuri sebab-sebab terjadi satu bencana dari sudut pandang keilmuan manusia, dengan tujuan agar ada manajemen antisipasi bagi esok hari atau generasi mendatang. Bukan untuk bersombong atas kemajuan ilmu, karena sering kali bencana meleset dari yang diperkirakan; bisa juga sudah diprediksi tepat tapi manusianya sombong mampu memecahkan jalan keluar. Manajemen antisipasi ini tidak lain agar umat manusia mampu menjaga ushul khamsah: hifzh diin, hifzh nafs, hifzh nasl, hifzh aql, dan hifzh maal. Agama, nyawa, keturunan, akal, dan harta, jadi perhatian. Bilapun ikhtiar sudah optimal tapi bencana tidak bisa dihindarkan akibatnya, pahala tetap teraih.
Sebab yang kedua, yakni sebab kejadian qauliyah, tugas kita untk merenungi, memaknai, saban ada kejadian. Bukan untuk mengait-ngaitkan, apalagi mencari jalan kesalahan pihak tertentu. Ini bukan berarti melepaskan peran manusia di balik terjadinya bencana. Amoralitas, pelanggaran pada syariat Islam, durhaka pada perintah Allah—semua ini amat mungkin mengakibatkan hadirnya bencana. Akan tetapi, kita—terutama pada dai—seyogianya tidak murah lisan mendakwa. Sebab-sebab mana itu bencana yang menguji dan yang mengazab harus jeli dilakukan. Jangan serta-merta menyimpulkan dari informasi yang berseliweran di dunia maya. Akan repot bila satu daerah yang dikenal banyak orang saleh dihukumi tertimpa bencana karena azab, hanya karena kita salah menerima informasi.
Alhasil, dari sebatas merapikan logika berpikir agar tidak tersesat Post hoc ergo propter hoc, mari selaku umat yang terbaik dan penebar kebaikan bagi alam ini, kita cermat untuk tidak salah membaca tanda, simbol, atau lebih luas: informasi. Kaitan yang berdekatan, berpola, dari beberapa kejadian, sebagai contohnya, akan rentan lahirkan salah paham pada agama ini. Seakan-akan umat Islam hanya bisa berpangku tangan memvonis bencana. Syukurlah kalau kita tergerak membantu para korban. Yang repot, kalau kita enggan membantu dikarenakan menyimpulkan bahwa para korban adalah penghuni daerah pantas terazab (padahal belum tentu demikian), maka ini satu bentuk kelaliman pada sesama manusia.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net