Suaramuslim.net – Bertambah kuat dugaan saya soal kuatnya kecintaan pada simbolisme tatkala keluarga almarhum Abdurrahman Wahid menahbiskan diri sebagai pendukung petahana dalam pemilihan presiden 2019. Klaim-klaim kehebatan dan kesesuaian dengan keislaman yang mereka pahami, kalau dibedah dan digeledah lebih jauh sebenarnya bertumpu pada kesetiaan kuat pada identitas dan ciri yang sama. Dan itu bukan karena kesamaan agenda objektif sebagaimana didengung-dengungkan anak keturunan mantan presiden itu. Akan tetapi, keloyalan itu lebih karena ada karisma simbol yang mempersatukan.
Akankah ada kesediaan untuk menerima pihak “berseberangan” meskipun agenda objektif sesuai pemikiran tulen mereka? Beberapa tema seputar maslahat keberagamaan, penghargaan atas kebebasan, penghormatan atas hak asasi, akan sia-sia dan tampak artifisial bilamana hanya disandarkan pada penilaian rasa ataupun emosi kebersesuaian dengan ketokohan. Tanpa ada penyigian rekam jejak tokoh bersangkutan kendati kiprah kasatmata mampu disusuri.
Maka, yang kemudian terjadi, keterjebakan pada hal-hal simbolis lebih menyeruak. Orang yang berhaluan berbeda dari sisi identitas atau simbol dengan serta-merta tidak dianggap sebarisan meski usungan agendanya sama dengan mereka. Kelompok-kelompok yang kadung dinilai bukan-kita tetap diabadaikan dalam anggapan meskipun ada dinamika di kelompok tersebut. Ketidakadilan anggapan ini bertentangan dengan tema-tema yang biasa mereka usung. Itu sebabnya mengapa amatlah mengherankan ketika isu-isu yang lazim diusung begitu dibawa oleh pihak lain, tetap saja curiga yang ada.
Kalau kita saksamai agenda-agenda kalangan yang menyebut diri pluralis dan penjaga hak asasi manusia, mereka sering kali terjebak pada logika identitas ini. Sering kali mereka tidak konsisten dan adil memberlakukan kejadian yang sama-sama berdimensi ada indikasi kejahatan melawan usungannya. Bila umat Islam berposisi sebagai tersangka, akan beda bila umat Islam sebagai sasaran. Sudah terlampau banyak kejadian semacam ini. Toh kelompok yang berbusa-busa membawa bendera pluralisme dan HAM gagal menyajikan sikap kenegarawanan semacam ini.
Di sini, kesamaan misi dan agenda dalam kontestasi politik akhirnya jatuh lagi pada kecintaan pada identitas yang itu, ironisnya, hanya bersandarkan asumsi. Sebut saja tokoh yang diusung keluarga mantan presiden itu. Mereka seolah memakai kaidah mencegah mudharat lebih besar bilamana mendapuk kandidat lain yang dianggap penjahat HAM dan intoleran. Padahal, semua bayangan ini asumsi kosong dan mitos yang dilanggengkan. Inilah makna terjebaknya kalangan yang acap disebut garis depan dan teladan soal pluralisme dan HAM.
Ya, mereka tidak secara objektif membaca di lapangan mana yang selaras dengan misi otentiknya yang galib diperjuangkan selama ini. Kalau mau sungguh-sungguh tampil sebagai pejuang kebebasan, mestinya substansi kebebasan itu didedah lantas apakah cocok kandidat yang disokong memadai. Bukan hanya karena anggapan yang sejak awal dipengaruhi determinasi kesamaan lingkungan.
Dengan demikian,masa-masa selepas kekuasaan petahana berakhir, pendidikan bagi rakyat, juga umat, ke depan adalah mengatasi soal semacam ini. Kecintaan rakyat pada kebangsaan, penghormatan rakyat pada kebebasan, benar-benar karena penilaian objektif. Rakyat, umat, dididik untuk bisa menenggang beda tanpa terjebak pada pengagungan identitas dan simbolis.
Khusus umat Islam, perjuangan dakwah selepas masa petahana saat ini adalah melepaskan kebergantungan pada simbol. Identitas selaku penyatu, normal dan alamiah adanya. Hanya saja, ia bukan untuk menegasikan keadilan dan keobjektifan umat dalam menampilkan wajah Islam. Dan ini kesempatan ketika kalangan fobia Islam, sekulari, anti-syariat, tidak memadai untuk bicara soal demikian karena keterpurukan mereka bersikap. Masa kekuasaan saat ini banyak contoh demikian; mereka gandrung dengan bahasa ilmiah dan rumit tapi sebenarnya berujung kegandrungan pada simbol yang diperjuangkan tanpa objektivitas.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net