Suaramuslim.net – Di dalam hati manusia ada satu kekuatan dahsyat yang mampu mengubah sesuatu yang terlihat mustahil menjadi riil, yaitu, ‘cinta’. Walau hanya berupa kata yang terdiri dari lima huruf, namun energi yang dihasilkannya bisa membuat bara api angkara redup.
Cinta ditakdirkan tak berwujud benda, namun bisa dirasa. Ibarat api, maka cinta adalah panasnya. Ibarat angin, maka cinta adalah derunya. Ibarat sungai, cinta adalah arusnya. Ibarat samudera, cinta adalah ombaknya. Ia tak perlu definisi, karena tiada definisi yang mampu menggambarkannya, kecuali fungsi kerja dahsyatnya.
Di dunia ini ada banyak contoh menarik untuk dijadikan suri tauladan dalam masalah cinta. Di antara yang paling menarik dari yang menarik –tentu saja- Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam. Cintanya menembus ruang dan waktu. Bagai samudra tak bertepi.
Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam sebagai mata air cinta, yang perlu direguk oleh setiap manusia air cintanya supaya lahir kedamaian dan ketenteraman di muka bumi. Cintanya sungguh universal, tak tersekat teritorial. Beliau berada di garda depan sebagai sang pecinta yang mampu mentransfer cintanya, bukan hanya pada Tuhan, tapi juga untuk seantero alam.
Tanpa berniat membatasi, sebagai contoh kecil, simak baik-baik riwayat berikut ini:
Abu Daud meriwayatkan dari Abdullah dan dari bapaknya, ia berkata, “Kami bersama Rasulullah dalam sebuah perjalanan, berangkat untuk suatu keperluan, kemudian kami melihat seekor ayam bersama dua ekor anaknya, lalu kami mengambil kedua anaknya itu.”
“Kemudian datanglah ayam betina itu (induknya) sambil mengepak-ngepakkan sayapnya. Lalu datanglah Nabi dan berkata, “Siapa yang menyakiti ayam ini dengan anaknya? Kembalikan anak-anaknya kepadanya.” Kemudian kami melihat sekelompok semut yang sangat banyak, maka kami membakarnya. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam pun bertanya, “Siapa yang membakar ini?” Kami menjawab, “Kami.” Beliau kemudian bersabda, “Sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Tuhan (pencipta) api.”
Sungguh luar biasa. Akankah kata-kata, “Siapa yang menyakiti ayam ini dengan anaknya? Kembalikan anak-anaknya kepadanya.” dan “Sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali Tuhan (pencipta) api.”, bisa lahir dari manusia yang hatinya kering dari mata air cinta?
Rasa cinta yang mengalir deras dalam muara hati Rasulullah, membuatnya tak pernah membedakan –terkait cinta- antara manusia dan hewan. Kalau manusia saja merasa sedih ketika dipisahkan dari anaknya, maka hewan pun juga mempunyai perasaan sedih, karena itu, cinta melarang segala tindakan yang bertentangan dengan cinta.
Demikian juga halnya membakar semut. Semut seolah hal remeh dan tak berarti di mata manusia, namun dengan ‘kaca mata cinta’, Rasulullah mampu membahasakan dengan sangat apik, bahwa yang berhak membakarnya adalah Tuhan Pencipta api.
Jasad beliau memang sudah mati, tapi cintanya tak pernah mati. Ia menjadi semacam deru, yang memacu energi positif untuk kemaslahatan manusia. Selama cinta tidak tercerabut dari relung hati manusia, maka keseimbangan dan keasrian peradaban dunia akan tetap terjaga.
Bukankah salah satu nama Allah adalah “al-Wadūd” (Maha Mencintai), lalu adakah bahasa terbaik untuk menyapa-Nya, selain dengan cinta yang tulus dari dalam hati, yang diiringi dengan pengertian dan pengorbanan?
Dari Rasulullah kita menemukan contoh terbaik yang memperlakukan cinta sebagaimana porsi dan posisinya, sehingga menjadi pelepas dahaga bagi makhluk yang haus akan cinta.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono