Suaramuslim.net – Siapakah nabi mulia itu hingga seorang muslim bisa bercermin tentang kesabarannya yang tiada batas? Dialah Nabi Ayyub. Ingin tahu kisah kesabarannya? Mari kita simak bersama.
Allah menempatkan Nabi Ayyub di negeri kebaikan, yaitu Syam dalam keadaan sangat mapan. Dikabarkan bahwa Nabi Ayyub memiliki lahan yang luas di daerah Huran. Peternakannya pun lengkap, dari sapi, unta, kambing, kuda, dan keledai. Meski kaya raya, Nabi Ayub bukanlah orang yang sombong. Malaikat saja berucap, ketaatan Nabi Ayyub kepada Allah tak tertandingi hingga iblis menyimpan dengki. Hingga cobaan itu datang. Permohonan izin iblis kepada Allah untuk menggoda kesabaran Nabi Ayyub dikabulkan.
Iblis segera melancarkan serangan. Dipilihnya hanya lumbung gandum dan lahan pertanian Nabi Ayyub yang dibakar, sedang milik orang lain tidak sama sekali. Mengapa hanya lahannya saja yang terbakar? Mengapa hanya ternaknya saja yang banyak mati? Mengapa Allah tak berkuasa menyelamatkannya dari malapetaka ini? Ya, begitulah keraguan-keraguan yang dihembuskan iblis kala menyamar menjadi seorang laki-laki yyang berbicara dengan Nabi Ayyub. Namun, karena kuatnya keimanan, Nabi Ayyub malah bersujud dan memohon ampun atas segala dosa.
Kehilangan anak-anak tercinta. Itulah cobaan kedua saat terjadi gempa dan rumah yang ditinggali Nabi Ayyub sekeluarga hancur rata dengan tanah hingga anaknya meninggal semua. Kembali iblis menggoda, lagi-lagi menghembuskan keraguan dalam diri Nabi Ayyub dan istrinya, mengapa Allah tidak mendatangkan pertolongan-Nya saat itu? Nabi Ayyub kembali menegaskan bahwa Allah-lah Maha Pemberi dan Maha Pencabut. Istri Nabi Ayyub yang awalnya bersedih dan berderai mata, akhirnya pun diam setelah suaminya tercinta menasihati. Tak baik berburuk sangka kepada Allah. Iblis kesal karena aksinya tak membuahkan hasil.
“Wahai orang-orang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa yang demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al Munafiqun: 9)
Cobaan ketiga adalah menderita penyakit kulit yang aneh dan menahun. Berbintil, bernanah, dan baunya tak sedap. Karena kondisi seperti itu, Nabi Ayyub tidak mampu bekerja dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Istrinya akhirnya mengambil peran. Ketika tidak ada orang yang mau memakai tenaganya, Laya, istri Nabi Ayyub menjual rambutnya. Padahal Nabi Ayyub sangat menyukai rambut itu.
“Dari mana makanan itu?” Nabi Ayyub tak ingin menyantap makanan dari istrinya sebelum Laya menjawab pertanyaannya.
“Beberapa orang memperkerjakanku.”
Iblis berhasil membuat Laya berbohong. Meskipun akhirnya mengaku dan membuat marah Nabi Ayyub. Tak hanya itu, iblis pun masih menghasut Laya hingga dia berkata kepada suaminya, ”Suamiku,engkau adalah seorang nabi. Kalau kau berdoa untuk kesembuhanmu, pasti Allah akan mengabulkan permintaanmu, kan?”
“Sudah berapa lama kita hidup dalam kesenangan?”, tanya Nabi Ayyub.
“70 tahun.”
Nabi Ayyub kecewa karena Laya berhasil dikuasai iblis. Sungguh kesenangan itu lebih lama masanya dibandingkan masa penyakit yang dideritanya. Nabi Ayyub meminta Laya meninggalkannya dan bersumpah akan mencambuknya 100 kali ketika sembuh nanti. Keduanya pun terpisah lama. Nabi Ayyub sebatang kara. Namun, berkat keimanannya, penyakit kulit Nabi Ayyub sembuh. Allah meminta Nabi Ayyub menghentakkan kaki hingga keluar air yang bisa digunakannya untuk mandi dan minum. Dan dengan ijin Allah, air itu membantu penyembuhan penyakitnya. Nabi Ayyub merindukan istrinya. Demikian juga Laya. Keduanya pun bertemu dan melepas rindu. Namun ada sesal dalam diri Nabi Ayyub. Akankah Nabi Ayyub mencambuk istrinya? Akankah sumpahnya harus dilakukan?
“Dan ambillah seikat rumput dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu, dan janganlah engkau melanggar sumpah.” (QS Shad: 44)
Belajar sabar tiada batas, sungguh, Nabi Ayyub panutan dan teladan kita semua. Allah berfirman, ”Sesungguhnya Ayyub adalah hamba yang taat kepada-Ku. Ayyub adalah seorang mukmin sejati. Apa yang Ayyub lakukan semata didorong keteguhan imannya. Ketakwaannya tidak tergoyahkan oleh perubahan keduniawiannya. Cintanya pada-Ku dan kebajikan yang dilakukannya tidak akan berkurang walau ditimpa musibah apapun. Ia yakin, apa yang dimilikinya sewaktu-waktu dapat Aku cabut.”