Membaca Perubahan dalam Pelajaran Membaca

Membaca Perubahan dalam Pelajaran Membaca

Suaramuslim.net – Pelajaran membaca menjadi bagian yang tidak pernah absen dalam dunia pendidikan kita. Hampir semua jenjang pendidikan kita ada pelajaran membaca, walaupun secara aturan jenjang TK tidak boleh ada pelajaran membaca, realita di lapangan berbicara lain. Dulu kita percaya, tidak buta aksara adalah tanda keberhasilan, keterampilan yang  menjamin kesuksesan. Sekarang kita berada di dunia yang penuh perubahan, membaca adalah kompetensi esensial untuk belajar sepanjang hayat.

Dulu, belajar membaca adalah tentang teknik merangkai huruf dan suku kata di bangku sekolah. Sekarang kita perlu mendefinisikan ulang bahwa membaca adalah memahami makna. Di mulai sejak anak menggunakan inderanya, berinteraksi dengan emosi, simbol atau bahkan membedakan kanan kiri.

Dulu, tugas mengajar membaca adalah tugas guru usia dini semata. Sekarang, semua guru seharusnya mengaku sebagai guru bahasa. Karena belajar membaca diperlukan di berbagai pelajaran, membaca data dan simbol berbagai rupa, membaca teks lintas disiplin yang terkait pemahaman dan penggunaan ilmu pengetahuan.

Sayangnya, dunia pendidikan masih berkutat dengan berbagai hambatan. Hal ini terjadi terutama karena membaca ditempatkan sebagai tujuan. Lebih cepat, lebih banyak dan rangkaian perlombaan mekanikal lain yang selalu diperdebatkan. Pelajaran membaca kita, harus ditempatkan esensial dalam perencanaan, pengajaran dan penilaian pendidikan. Lebih relevan, lebih beragam dan pencapaian bermakna lain yang perlu dicanangkan. Dalam pendidikan, hal ini tentu tidak berdiri sendiri, apalagi hanya menjadi agenda sebagaian pustakawan atau relawan.

Minat membaca kita yang cenderung rendah, sebetulnya bukan hanya tentang ketiadaan pustaka atau lemahnya stamina mengeja. Ini menggambarkan masalah yang lebih luas, saat rasa ingin tahu murid dan kemampuan guru memancing pertanyaan tidak tumbuh di pendidikan. Kemampuan lanjutan membaca kita yang tidak meningkat di bangku sekolah menengah, sebetulnya bukan hanya tentang kurangnya kewajiban membaca di sekolah atau banyaknya gawai yang menghabiskan waktu. Ini menggambarkan kecenderungan yang lebih mengakar, bahwa paparan terhadap berbagai genre dan aktivitas literasi beragam tidak dibudayakan.

Menarik kesimpulan, mengaitkan dengan pengalaman, memperdebatkan gagasan, membandingkan latar belakang penulisan, semua seharusnya menjadi bagian dari peran sebagai pembaca. Membaca keras, membaca dalam hati, membaca cepat, analisa dalam lingkar literasi, membaca buku pilihan individual, membaca buku yang sama dalam kelompok besar, semua seharusnya menjadi bagian dari pengalaman membaca. Namun, jarang di antara kita yang memastikan bahwa seiring dengan perkembangannya sebagai manusia, anak mengalami pendidikan dalam kontinum membaca yang juga semakin menantang.

Tak heran, riset di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa kebanyakan orang dewasa punya kemampuan membaca di bawah umumnya, dan kebanyakan murid di Indonesia tak bergerak dan tingkat membaca setara kelas tiga.

Perubahan pelajaran membaca, harus dimulai sekarang. Sebagaimana semua kemampuan lain, ada periode rentan yang perlu mendapat perhatian. Masa di pertengahan sekolah dasar dan awal sekolah menengah seringkali menjadi titik penentu keberhasilan. Sepuluh tahun yang lalu, kita sibuk dengan perdebatan apakah anak perlu diajar membaca sejak dini. Sekarang kita seharusnya sudah bisa sepakat, bahwa pemaksaan dan tujuan jangka pendek seringkali merugikan anak. Namun hingga saat ini, berbagai diskusi hingga regulai masih belum 100% sukses terimplementasi.

Sekarang, kita disadarkan dengan bukti nyata rendahnya kemampuan membaca justru dari warga masyarakat yang seharusnya sudah mandiri. Keterampilan berpikir kritis yang tidak dilatih di ruang kelas, menjadi alasan utama mudahnya kita diperdaya hoax. Kalau saja semua murid melalui ujian untuk melakukan analisa tentang pengarang dan memberikan respon tertulis sebagai pembaca. Keterbukaan memahami berbagai sudut pandang yang tidak dibiasakan saat istirahat permainan, menjadi kegagalan utama saat kita menghadapi konflik kepentingan. Kalau saja semua kelas membiasakan membuat kesepakatan bersama dan bukan sekadar menempel peraturan.

Pada akhirnya pelajaran membaca bukan saja tentang abjad, bukan tentang anak sekolah dasar dan bukan tentang guru bahasa. Pelajaran membaca membutuhkan teladan dari semua kita yang mengaku punya kemerdekaan. Pelajaran membaca adalah urusan kita semua yang bersentuhan dengan pendidikan.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment