Suaramuslim.net – Setiap tahun, lebih dari 200.000 warga negara Indonesia menunaikan ibadah haji ke Makkah, Arafah dan Madinah. Kuota jemaah haji Indonesia selalu habis tak tersisa. Setiap kali dibuka pendaftaran baru, selalu langsung habis, hingga kemudian harus menunggu beberapa tahun.
Banyak jemaah yang pergi haji berkali-kali. Itu menunjukkan bahwa kemauan untuk beribadah di dalam diri umat Islam Indonesia amat kuat. Kesan tersebut diperkuat oleh fakta bahwa setiap tahun ribuan umat Islam Indonesia pergi melakukan umrah, yang notabene sunnah, khususnya ada bulan Ramadan. Banyak yang pergi melaksanakan umrah ini sampai berkali-kali. Nah, mereka yang berumrah, apalagi sampai berkali-kali, jelas adalah orang yang religius dan tertarik terhadap masalah spiritual.
Umat Islam yang pada saat Idul Adha berkurban kambing atau sapi jumlahnya cukup banyak, meski tidak diketahui berapa persisnya. Pada waktu salat Jumat, semua masjid penuh sesak, bahkan sampai meluber ke halaman masjid atau ke jalan-jalan. Pada siang hari di bulan Ramadan, hampir semua umat Islam berpuasa. Malam harinya, masjid juga selalu dikunjungi umat yang melakukan salat sunnah tawarih. Tidak jarang, di luar Ramadan, kita temui umat Islam berpuasa Senin-Kamis. Itu memperkuat lagi kesan religius bangsa kita, khususnya kaum muslim.
Religio tanpa Religiositas
Tetapi mari kita lihat kesan sebaliknya dalam kenyataan hidup masyarakat sehari-hari. Pertama, korupsi masih merajalela di banyak tempat di negeri ini. Laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai masalah korupsi ini hampir mencapai 10 ribu kasus. Itu menunjukkan bahwa kejujuran adalah barang langka di dalam masyarakat kita. Padahal puasa yang kita jalani setiap tahun bertujuan antara lain, mendidik umat Islam supaya jujur terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Kedua, warga negara yang mengurus perkara dan mencari keadilan melalui lembaga penegak hukum ternyata tidak memperoleh hak mereka sesuai hukum yang berlaku. Yang menang perkara bukan pihak yang benar, melainkan mereka yang mampu membayar aparat penegak hukum. Padahal hadis Nabi Muhammad menjanjikan pahala amat besar bagi para penegak hukum yang dapat memberikan keadilan. “Berlakulah adil, sesungguhnya keadilan mendekatkan diri kepada ketakwaan” (Q.S. Al Maidah ayat 8)
Adil disejajarkan dengan takwa, derajat tertinggi di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Jual beli perkara jelas menjauhkan ketakwaan dan merupakan perbuatan keji. Padahal para penegak hukum itu melaksanakan salat, praktik ibadah yang bertujuan mencegah pelaku terlibat perbuatan keji dan munkar.
Ketiga, di banyak tempat kita melihat saudara kita yang menderita kelaparan, tidak bisa membayar biaya rumah sakit, atau tidak bisa membayar biaya pendidikan. Sementara di pihak lain, banyak warga diberi rezeki jauh lebih besar di atas rata-rata. Tapi di antara mereka yang diberi rezeki berlebih itu tidak peduli terhadap sesama saudara yang tidak mampu. Kalau pun ada yang peduli dan tergerak untuk memberi bantuan, mereka tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya.
Dalam sebuah hadis qudsi diriwayatkan nanti pada hari kiamat, Allah menyeru, “Wahai hamba-Ku, dahulu Aku lapar dan kalian tidak memberi-Ku makan. Dahulu Aku sakit dan kalian tidak memberi-Ku obat. Kemudian hamba Allah yang diseru itu bertanya: Ya Allah, bagaimana mungkin kami memberi-Mu makanan, pakaian dan obat? Bukankah Engkau Rabbul ‘Alamin? Allah lalu berfirman: Dahulu ada hamba-Ku yang lapar, telanjang dan sakit. Tapi kalian tidak membantu mereka. Sekiranya kalian mendatangi mereka, niscaya kalian mendapati Aku disana.”
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa kesan religius di dalam masyarakat kita, yang ditunjukkan oleh ibadah ritual, ternyata berlawanan dengan kesan yang ditunjukkan oleh perilaku di dalam kehidupan sehari-hari. Tampaknya kita sedang menghadapi fenomena, religio tanpa religiositas, spiritual tanpa spiritualitas.
Ibadah yang kita lakukan mungkin sekadar menyentuh tataran simbolik, melupakan substansinya. Lalu kita hanya berusaha memenuhi ketentuan syariat suatu ritual tetapi mengabaikan ruh yang terkandung di dalamnya. Ibadah yang demikian niscaya tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah.
Membawa Ibadah Ritual Menuju Ibadah Sosial
Ingatkah kita terhadap kisah seorang hamba saleh yang ibadah hajinya diterima Allah, padahal ia tidak jadi pergi berhaji. Ternyata ia membatalkan rencana berhaji karena menyerahkan uang biaya berhajinya kepada seorang janda miskin yang amat membutuhkan bantuan untuk bisa makan dan membiayai keluarganya.
Ternyata ibadah ritual haji yang personal, yang belum tentu diterima Allah, tidak menjadi batal atau hilang nilai spiritualitasnya ketika diganti dengan ibadah sosial. Bahkan dijamin bahwa ibadah itu diterima Allah. Orang yang tidak kuat puasa (melakukan ritual personal) juga bisa mengganti ibadah tersebut dengan ibadah sosial, yaitu membayar fidyah (memberi makan fakir miskin). Tetapi ibadah sosial tidak bisa diganti dengan ibadah personal. Tidak ada ketentuan bahwa zakat dapat diganti dengan salat atau puasa.
Sungguh luar biasa jika umat Islam Indonesia yang bisa berumrah mengganti ibadah personal dengan ibadah sosial, menyerahkan biaya umrah untuk membantu warga yang kekurangan. Lebih hebat lagi jika orang yang berniat pergi haji untuk kedua kali atau lebih itu membatalkan niatnya untuk kemudian menyerahkan biaya hajinya kepada fakir miskin yang membutuhkan. Ibadah umrah atau haji yang dibatalkan itu niscaya diterima Allah seperti kisah hamba saleh tadi.
*Disarikan dari buku Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan; Esai-esai Kebangsaan karya KH. Salahuddin Wahid, penerbit Pustaka Tebuireng, halaman 229-234.