Suaramuslim.net – Sudah tiga tahun terakhir ini saya membaca laporan yang dikeluarkan WHO tentang resistensi mikroba terhadap antibiotika. Laporan terakhir dari WHO menyebutkan, di beberapa negara ditemukan beberapa penyakit yang bakteri penyebabnya sudah resisten terhadap antibiotika dan tidak ada alternatif lain untuk mengobati penyakit-penyakit tersebut.
Penyakit yang dimaksud adalah gonorrhea (ya, ini infeksi yang menyerang kelamin) dan penyakit saluran cerna akibat bakteri yang biasanya mampu diobati dengan obat golongan Carbapenem (bagi pembaca yang berprofesi sebagai dokter/apoteker, di laporan WHO tersebut, bahkan generasi terbaru dari golongan ini sudah tidak mampu membunuh bakteri penyebab infeksi).
Melihat permasalahan seperti ini, tidak aneh dalam tiga tahun terakhir, tiap kali WHO mengadakan konferensi kesehatan tingkat dunia, masalah resistensi terhadap antibiotika ini menjadi topik yang selalu dibahas. Bahkan di negara-negara maju, kementerian kesehatan setempat juga sangat peduli dengan masalah tersebut.
Mengapa resistensi terhadap antibiotika ini menjadi masalah yang mendapat begitu banyak perhatian? Jawabannya, karena satu masalah resistensi bisa merembet ke banyak hal. Saya akan menjelaskannya dalam beberapa poin di bawah ini:
- Resistensi mikroba terhadap antibiotika dapat menyebabkan biaya pengobatan menjadi lebih mahal. Pasien yang seharusnya dapat membayar lebih murah bila diobati dengan antibiotika A, tapi karena bakterinya sudah resisten tehadap antibiotika A, maka harus menggunakan antibiotika B yang lebih mahal harganya. Akibatnya biaya pengobatan membengkak. Ini akan memberatkan kondisi keuangan pasien ataupun negara yang menyelenggarakan sistem asuransi kesehatan bagi warganya.
- Akibat resistensi mikroba terhadap antibiotika, seorang pasien yang tadinya cukup menggunakan antibiotika yang diminum sebagai terapi terhadap penyakitnya, akhirnya harus dirawat di rumah sakit karena antibiotika alternatifnya hanya dapat diberikan melalui cara penyuntikan. Hal tersebut selain berdampak pada kualitas hidup pasien, juga pada biaya pengobatan yang menjadi lebih mahal.
- Risiko penyebaran infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang resisten ini akan semakin tinggi. Mengapa? Karena bakteri tersebut tidak dapat dibunuh oleh antibiotika, dia akan tetap berada dalam tubuh pasien, dan siapapun yang melakukan kontak fisik/berada dekat pasien tersebut memiliki kemungkinan terpapar bakteri penyebab infeksi lebih tinggi.
- Risiko kematian akibat penyakit infeksi semakin meningkat. Penyakit infeksi yang tadinya bisa disembuhkan oleh antibiotik menjadi tidak bisa disembuhkan karena resistensi antibiotika. Contohnya kasus penyakit gonorrhea dan infeksi saluran cerna yg bakterinya sudah tidak sensitif terhadap antibiotika golongan Carbapenem. Pasien yang menderita penyakit tersebut hanya bisa pasrah dan berdoa, karena tidak ada obat untuk membunuh penyebab penyakitnya.
Lalu kira-kira kenapa bisa terjadi resistensi terhadap antibiotika ini? Perlu kita pahami bahwa resistensi bakteri terhadap suatu antibiotika itu bisa terjadi secara alami. Namanya juga makhluk hidup, kalau dia diserang, dia akan membangun suatu pertahanan diri agar bisa bertahan hidup.
Pada mikroorganisme (bakteri/virus/parasit), cara mereka mempertahankan kehidupannya adalah dengan memodifikasi dirinya sendiri agar tidak bisa diserang. Itu sudah ketentuan alam yang tak mungkin diubah. Secara alami, mikroorganisme yang saya sebut tadi akan berusaha mempertahankan dirinya agar tidak diserang oleh sistem pertahanan tubuh, namun proses ini akan berlangsung agak lambat.
Penggunaan antibiotika yang mulai diperkenalkan sejak abad ke-20 (yang kemudian menjadi terapi utama untuk penyakit infeksi) ternyata mempercepat proses modifikasi diri pada mikroorganisme-mikroorganisme tadi. Tapi percepatan ini tidak seberapa juga, asalkan terapi dilakukan dengan tepat.