Suaramuslim.net – Hijrah menjadi momen yang sangat indah bagi siapapun yang telah menemukan indahnya iman dan Islam dalam dirinya yang sebelumnya telah melalui proses panjang dalam menemukannya. Tak terkecuali M-Gen (Moslem Generation) sebutan bagi segmen baru di Indonesia yang memiliki engagement cukup bagus terhadap agama terbesar di Indonesia.
Hijrah secara bahasa berarti berpindah, digunakan sebagai sebutan untuk menamai sebuah gerakan yang mengajak kaum muslimin, khususnya anak muda, untuk “berpindah” menjadi pribadi yang lebih baik, dengan cara meningkatkan ketaatan dalam menjalankan syariat agama.
Beberapa bulan yang lalu, kota Surabaya menyelenggarakan acara akbar, Islamic Fest namanya. Dalam acara itu terdapat beberapa rangkaian acara, dan salah satunya adalah tausiyah oleh beberapa pemateri dari berbagai kalangan dan latar belakang, mulai dari artis, penyanyi, mualaf, pengusaha muda, hingga politisi, semua ada dalam rangkaian acara tersebut. Maka tidak heran jika banyak masyarakat Surabaya, khususnya para muslim milenial turut serta memeriahkan acara tersebut.
Melihat fenomena ini, tentu menjadi hal yang sayang untuk dilewatkan oleh masyarakat awam, khususnya oleh para muda-mudi yang ingin mengenal Islam lebih dekat. Pasalnya, banyak muslim milenial yang gandrung akan majelis ilmu penyejuk hati, penambah ilmu, dan iman. Saya pikir, momen ini dapat dikatakan sebagai spirit perubahan bagi milenial ke arah yang lebih baik.
Oleh karenanya, tausiyah yang diperuntukan bagi generasi milenial semacam itu memang perlu dikemas secara khusus. Perlu adanya gimmick agar katanya masuk ke kalangan mereka. Desain dan kegiatannya pun perlu didesain sedemikian rupa sehingga narasinya cair, eye catching untuk mereka secara tampilan.
Di samping itu, gerakan hijrah dilakukan dalam skala lokal, di hampir semua kota di Indonesia, fenomena inipun sejalan dengan riset inventure yang menyebutkan bahwa ada dua karakteristik muslim zaman now yang menggambarkan dirinya sebagai pelaku hijrah, yakni Faith (Beriman), dan Fun (mereka mengikuti tren terbaru industri).
Di balik fenomena hijrah oleh para muslim milenial di atas. Di era yang kini semakin maju, yang mana harta terus diburu untuk keperluan sehari-hari juga tuntutan hidup yang tinggi, terkadang membuat sebagian orang menempuh jalan pintas dalam mengais rezeki, entah halal atau haram, asal mendapat uang yang melimpah, semua akan dilakukan.
Dalam hal ini, masih ada orang yang melancarkan dakwahnya kepada anak-anak jalanan yang minim akan pngetahuan ataupun pembelajaran agama. Panggil saja Parwoto (nama samaran), dia adalah mahasiswa semester 6 di salah satu kampus swasta di kota pahlawan.
Parwoto adalah orang yang pandai beretorika dan suka bergaul dengan siapapun, entah itu preman, gelandangan, anak jalanan, hingga politikus. Kemampuan penempatan diri yang tepat, membuatnya mudah diterima oleh berbagai kalangan. Perawakannya yang besar, tinggi, gagah dengan muka yang sangat macho membuat siapa saja yang kenal dengannya akan respect padanya.
Parwoto adalah mahasiswa yang aktif dalam menangani kasus anak jalanan, kiprah serta keberaniannya dalam membela wong cilik, membuatnya semakin dikenal oleh banyak orang. Walau begitu, dia tidak serta merta membanggakan dirinya bahwa dia hebat, tidak. Tetapi itu sudah menjadi tugas kita bersama sebagai khalifah fil ardh atau pengganti Tuhan di muka bumi. Terang Parwoto ketika saya temui di kediamannya.
Pernah pada suatu masa, dia bercerita bahwa, dia pernah melancarkan gerakan dakwah bawah tanahnya dengan cara memberikan krudung kepada anak-anak jalanan yang dia asuh. Perkara dana itu dari mana, ahh.. sudahlah, banyak donatur yang kenal Parwoto, mulai dari ibu-ibu sosialita, orang biasa, sampai politikus pun kenal dia.
Alasan Parwoto membagikan kerudung kepada anak-anak yang sebelumnya tidak berkerudung pun sederhana, agar menjadi anak yang pintar dan sholehah.
Lalu bagaimana dengan reaksi anak-anak, yang sebelumnya tidak pernah bahkan tidak tahu fungsi kerudung untuk apa?
Pertama mereka memang tidak mau, lantaran tidak nyaman dengan kerudung, gatal, gerah, dan berbagai alasan lainnya. Tetapi Parwoto, dengan segala ilmu retorikanya, tidak lupa menyelipkan kewajiban umat Islam untuk menutup aurat sedari dini. Dan hasilnya, anak-anak perlahan mau menerima wejangan sakti itu dan perlahan memakai kerudung itu ketika belajar bersama dan ngamen ke berbagai tempat.
Bagaimana dengan anak laki-laki? Mereka diberi peci bundar oleh Parwoto, dia menjelaskan bahwa fungsi peci untuk sholat agar rambut tidak menjuntai ke lantai ketika sujud, dan jika pergi ke acara tahlilan, agar dipandang sebagai anak yang santun nan sholeh, maka pakai saja peci itu.
Pada intinnya, hijrah bukan hanya sekadar giat di acara seremonial, tapi mulai kendur tatkala iman mulai terkikis oleh berbagai hal negatif disekeliling kita, yang sialnya pada titik tertentu kita lemah bahkan galal dalam memfilternya.
Oleh karenanya, hijrah yang sesungguhnya adalah, meyakini sepenuh hati makna tauhid, menyelaraskannya dengan tindakan, mengajak sesama kepada kebajikan dengan kebajikan, mencegah kemungkaran dengan kebajikan pula, serta saling mengingatkan dan menyemangati dalam berfastabiqul khairat.
Kontributor: Rusydan Fauzi
Editor: Oki Aryono