Suaramuslim.net – Zakat fitrah adalah amalan yang menyertai puasa Ramadan. Bahkan zakat tersebut untuk menyucikan puasa yang ada kekotoran selama puasa. Baik itu yang disengaja maupun tidak disengaja. Menggunjing, berkata kotor atau semacamnya mungkin pernah dilakukan saat berpuasa.
Allah SWT berfirman, ”Sungguh berbahagia orang-orang mukmin yang khusu’ dalam salatnya, yang berpaling daripada hal yang sia-sia dan yang membayarkan zakatnya.” (QS Mukminun: 1-4).
Maka adanya zakat fitrah bisa menyucikan dari keadaan tersebut. Namun untuk bisa ke sana alangkah baik seberapa bersih niat yang diikrarkan. Posisi niat begitu penting dari sebuah amalan.
Niat menjadi rukun dalam setiap ibadah. Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya setiap amalan tergantung kepada niatnya dan sesungguhnya (pahala) yang diperoleh seseorang sesuai dengan niatnya.” (HR Bukhari Muslim).
Zakat fitrah merupakan ibadah. Dan setiap ibadah membutuhkan niat. Jika tidak ada niat maka tidak sah. Namun apakah niat zakat fitrah itu harus dilafalkan? Bagaimana dengan zakat, apakah niat juga dikeraskan pelafalannya?
Besar kecilnya pahala zakat kita tergantung kepada niat. Kadar keikhlasan akan menentukan kadar dari pahalanya. Dan tantangan ini semakin besar jika jumlah yang dizakati semakin besar. Nominal besar menuntut kadar keikhlasan yang besar pula.
Imam Nawani dalam Al Majmu menyebutkan, ”Bahwa jika seseorang berniat cukup di dalam hati tanpa ada pelafalan dengan lisan maka amalnya sah. Sebaliknya jika ada seseorang berniat dengan pelafalan niat maka kesepakatan ulama menyatakan tidak sah. Karena niat itu bertempat di hati dan tidak ada anjuran untuk melafalkan karena memang tidak ada dasarnya.”
Ulama yang lain juga mengomentari tentang letak niat ini. Al Qadhi Abu rabi Asy Syafii mengatakan, ”Mengeraskan niat dan bacaan di belakang imam bukanlah bagian dari sunah. Bahkan ini adalah sesuatu yang dibenci. Jika ini mengganggu jemaah salat yang lain maka hukumnya haram.”
Sehingga niat tidak diletakkan di mulut. Adapun jika untuk mengajari anak kecil menjadi lain lagi. Seseorang yang sudah membeli beras dengan ukuran 2,5 kg dan di waktu yang tepat tentu sudah menjadi niat untuk membayar zakat fitrah. Jika untuk memberi keyakinan maka cukup diberikan kepada panitia penerima zakat fitrah atau bisa juga diberikan secara langsung kepada yang membutuhkan. Baik dari kalangan fakir atau miskin. Kondisi seperti ini tentu sudah masuk dengan niatan tersebut.
Setelah sepakat niat memang di dalam hati, bagaimana menjaga niat tersebut? Bukankah itu yang penting. Buat apa membayar zakat fitrah sedang dalam hati ada nilai riya. Ulama terdahulu begitu menjaga niat agar tetap bersih.
Sahl bin Abdullah at Tustari berkata, ”Tidak ada sesuatu pun yang paling berat bagi nafsu manusia melebihi keikhlasan karena pada keikhlasan tidak ada bagian untuk nafsu.”
Sufyan ats Tsauri, ”Tidaklah aku berusaha memperbaiki sesuatu (dalam diriku) yang lebih sulit bagiku daripada memperbaiki niatku (supaya ikhlas).”
Dua ulama di atas mempersaksikan diri jika menjaga niat jauh lebih sulit. Tentu dengan perjuangan yang panjang untuk mengendalikan riya. Agar amalan yang selama dilakukan tidak sia-sia.