Suaramuslim.net – Sering terdengar di kalangan para pencari jodoh uangkapan berikut: “Jodoh itu susah-susah gampang. Dikejar menjauh, diam malah mendekat.” Kata-kata ini tak sepenuhnya salah sekaligus tak sepenuhnya benar. Sebab, jodoh itu adalah perpaduan antara ikhtiar (usaha) dan takdir (ketentuan) Allah SWT. Penjelasannya demikian.
Sebagai muslim, kita meyakini bahwa berjodoh atau tidak sudah ditentukan oleh Allah SWT. Bahkan sejak empat bulan dalam kandungan, rezeki –termasuk jodohnya—sudah termaktub. Masalahnya kemudian adalah untuk mendapatkannya, sebenarnya tidak ada yang tanpa usaha.
Oleh karenanya, di sini dipakai diksi ikhtiar sebagai ganti dari kata usaha. Dalam bahasa Indonesia, kata usaha bisa berarti upaya yang maknanya bisa positif maupun negatif. Bergantung pada apa yang sedang diusahakan dan apa tujuannya. Sementara kata ikhtiar –yang berasal dari bahasa Arab: khair– berarti usaha memilih sesuatu yang baik, bahkan terbaik.
Jika ikhtiar yang digunakan, maka siapa saja yang mencari jodoh itu sejak awal tidak akan asal-asalan. Karena yang menjadi hulu, hilir dan muaranya adalah kebaikan. Maka tidak akan ada uangkapan “ga papa siapa saja asal bisa nikah”; “nakal-nakal dikit ga papa, nanti kan bisa dididik”; “meski ga saleh atau salehah, asal cakep”; dan lain sabagainya.
Siapa saja yang menjadikan ikhtiar sebagai hulu, hilir dan muaranya dalam mencari jodoh, maka sejak awal dia sudah niat sedemikian rupa untuk mendapatkan jodoh terbaiknya. Dari pihak laki-laki misalnya, ketika dia mencari jodoh maka ia akan mencari jodoh yang baik karena calon istrinya ini kelak diharapkan menjadi ibu yang akan melahirkan anak-anak yang baik.
Bukankah dalam Al Quran istri itu diibaratkan sebagai ladang? Maka, mencari ladang terbaik untuk menumbuhkan bibit yang baik, sudah menjadi keniscayaan bagi orang yang mau mencari jodoh. Demikian juga kalau sudah berjodoh. Yang namanya ladang, juga butuh perawatan yang bagus untuk menghasilkan tanaman yang bagus.
Karenanya, urusan jodoh tidak terbatas pada pernikahan. Lebih jauh dari itu adalah upaya yang tidak terputus untuk senantiasa merawatnya. Demikian juga perempuan. Dia juga perlu berikhtiar mencari jodoh baik melalui doa, orang tua, atau pihak-pihak yang bisa menjadi perantara yang tidak menyalahi syariat.
Sebagaimana cerita putri Nabi Syu’aib misalnya, calon suaminya (Musa) memiliki kriteria yang asasi untuk dijadikan sebagai suami: kuat dan amanah. Fisik yang kuat bisa menjamin kebutuhan materi istri terpenuhi. Sifat amanah menggambarkan akhlak luhur yang merupakan bagian mendasar dalam agama. Artinya, dirinya mengerti bahwa calon suaminya itu bertanggung jawab dan berbudi luhur.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah, sebelum mendapatkan jodoh, putri Syu’aib juga adalah perempuan salihah. Dirinya pandai menjaga dirinya. Dalam Al Quran, digunakan kata “tamsyi ‘alas-tihyaa`in” berjalan dengan malu-malu bukan “malu-maluin” (di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya). Sebagai gambaran dari wanita yang pandai menjaga diri dan berakhlak mulia.
Musa dan putri Syu’aib tak lantas berdiam diri untuk menjemput jodohnya dengan alasan sudah takdir, tapi keduanya secara aktif berikhtiar yang akhirnya bertemu dengan takdi Allah SWT. Akhirnya, ikhtiar yang baik itu berjodoh dengan kebaikan pula. Keduanya berjodoh dan menjadi keluarga yang berdakwah di jalan Allah SWT.
Namun sekali lagi, perjodohan bukan sekadar ikatan pernikahan. Ia butuh dirawat, dijaga, dipelihara laiknya tanaman di ladang. Jika tidak maka akan kandas di tengah jalan. Di dalam Al Quran ada beberapa metafor mengenai laki-laki dan perampuan yang berjodoh.
Misalnya, laki-laki (dalam hal ini) diibaratkan sebagai siang, dan perempuan (istri) digambarkan sebagai malam. Maknanya, sebagaimana siang hari yang merupakan waktu bekerja, suami bertangung jawab memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Sementara istri, laksana malam yang memiliki sifat tenang, waktu yang nyaman untuk istirahat dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan nyata memang semua pada tahu. Malam dan siang memang berbeda. Namun keduanya bisa berjodoh dan bekerja sesuai dengan karakter dan fungsinya masing-masing. Tidak saling iri, tapi bersinergi; tidak mencari aib, tapi saling menutupi. Keduanya adalah pasangan serasi yang bisa dilihat langsung dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga jodoh, ia tak cukup sampai akad tapi juga dipikirkan juga bagaimana supaya terawat.
Pengalaman penulis dalam mencari jodoh juga demikian. Ketika standarnya yang penting berusaha (bukan ikhtiar), maka langkah untuk menggapai jodoh itu seringkali kandas di tengah jalan. Bahkan itu terjadi berulang-ulang. Ketika penulis berikhtiar, maka dalam waktu yang tak sampai tiga bulan sudah bertemu jodoh plus akad hingga sekarang dikarunia dua anak dan semoga bisa tetap berjodoh hingga jannah.