Lanjutan dari artikel Wakaf dari Sudut Pandang Ekonomi
Suaramuslim.net – Berbicara mengenai wakaf, maka umumnya akan lekat pada ingatan kita mengenai tiga hal: masjid, pesantren dan pemakaman. Pada satu sisi, hal itu tidaklah salah karena fikih Indonesia yang didominasi mazhab Syafi’iyah memang menitikberatkan pada aspek kekekalan dari harta wakaf dan manfaatnya, dalam hal ini tanah dan bangunan, untuk digunakan pada hal-hal yang diperbolehkan agama. Hal ini sejalan dengan hadits riwayat Muslim bahwa wakaf merupakan salah satu bentuk amal jariyah atau amal dengan pahala yang terus mengalir, sehingga aset wakaf dan manfaatnya diharapkan tetap kekal.
Namun, jauh lebih luas daripada hal-hal yang disebutkan di atas. Wakaf bukan sekadar suatu “kelembagaan religius” yang hanya mengurusi hal-hal keagamaan ritual semata, namun jika dioptimalkan dapat menjadi suatu “kelembagaan sosio-ekonomi”.
Wakaf pada masanya adalah instrumen yang mampu menyediakan “barang-barang sosial”, seperti layanan pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur, yang hari ini kita istilahkan sebagai “barang-barang publik”.
Pada masa Turki Utsmani, terdapat 35.000 aset wakaf yang setidaknya mencakup masjid, universitas, panti asuhan, jembatan, karavan pedagang, dapur umum, jalan, air mancur hingga sistem perpipaan publik (Haneef, 2018).
Salah satu contoh terkenal dari pengelolaan yang sukses pada masa klasik adalah wakaf Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Berdiri pada tahun 972 Masehi atau sekitar abad keempat hijriah, Universitas Al-Azhar telah tampil sebagai perguruan tinggi utama dalam studi Islam dan peningkatan sumber daya manusia, khususnya mencetak para ulama. Di samping universitas, Al-Azhar secara lembaga juga menaungi sekolah dari tingkat dasar hingga menengah serta sejumlah pusat riset dan pelatihan, dan terkenal sebagai universitas yang menyediakan beasiswa bagi mahasiswa dari seluruh dunia.
Kemampuan Al-Azhar dalam pengelolaan sistem pendidikan yang besar tidak terlepas dari kehadiran lahan wakaf produktif Al-Azhar. Aset wakaf Al-Azhar utamanya ialah lahan pertanian seluas 60.700 hektar yang tersebar di seluruh Mesir. Al-Azhar terbukti menjadi lembaga pendidikan yang kredibel dan mandiri, salah satunya ditopang oleh loyalitas masyarakat untuk mewakafkan asetnya pada Al-Azhar dan pengelolaan wakaf yang produktif, sebelum akhirnya diserahkan pada pemerintah Mesir pada tahun 1961 dalam rangka reformasi agraria pada masa pemerintahan Gamal Abdel Nasser (Ahmad & Hassan, 2015).
Pengelolaan Wakaf di Era Modern
Selain contoh pada masa klasik tersebut, wakaf juga telah menjadi basis dari pengelolaan perusahaan modern. Hal ini dicontohkan dengan baik oleh Hamdard (Wakf) Corporation.
Hamdard merupakan sebuah nama perusahaan farmasi dan herbal yang didirikan oleh Hakeem Hafiz Abdul Majeed pada tahun 1906 di Delhi, India. Hamdard selama pemerintahan kolonial Britania Raya telah dikenal sebagai satu perusahaan herbal terbaik di Delhi pada 1920.
Pecahnya Hindustan menjadi India dan Pakistan pada tahun 1947 menyebabkan Hamdard juga terpecah, dengan sang kakak Hakeem Abdul Hameed, bertahan di Delhi (India), sementara sang adik Hakim Mohammed Said bermigrasi ke Pakistan. Meskipun terpisah, keduanya melanjutkan bisnis keluarga di negara masing-masing dengan nama Hamdard.
Pada tahun 1948, Hamdard India dikukuhkan oleh Hakeem Abdul Hameed sebagai perusahaan wakaf, sementara Hamdard Pakistan menyusul pada tahun 1953. Hamdard, baik di India, Pakistan, dan juga Bangladesh adalah perusahaan yang mendedikasikan mayoritas hingga seluruh laba perusahaan untuk kegiatan sosial, baik di bidang pendidikan (dasar, menengah hingga perguruan tinggi), kesehatan (klinik), hingga pertanian di seantero anak benua India (Hayat & Naeem, 2014). (Bersambung).* (Bersambung ke artikel Masa Depan Wakaf di Era 4.0)
Raditya Sukmana
*Disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ekonomi Islam pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga Surabaya, Sabtu 22 Juni 2019.