Suaramuslim.net – Islam pernah menaklukkan benua Eropa. Siapa sangka salah satu dari panglima perang saat itu adalah seorang pemuda yang sangat saleh, yang bernama Sultan Muhammad Al Fatih (30 Maret 1432-3 Mei 1481). Ia merupakan seorang sultan Turki Utsmani yang menaklukkan Kekaisaran Romawi Timur. Mempunyai kepakaran dalam bidang ketentaraan, sains, matematika dan menguasai 6 bahasa saat berumur 21 tahun.
Keberhasilannya nan gemilang dalam menaklukkan Konstantinopel menyebabkan banyak kawan dan lawan kagum dengan kepemimpinannya serta taktik dan strategi peperangannya yang dikatakan ‘gila’ mendahului zamannya. Keberaniannya melawan ‘super power’ di zaman itu, semangat jihadnya dan juga kaidah pemilihan tentaranya menjadi referensi kebangkitan umat Islam sedunia.
Harum nama Sultan Al Fatih diperoleh berkat kesalehan, keberanian dan kemuliaan akhlaknya. Sebagai jenderal besar beliau memimpin laskar Islam menaklukkan benteng terkuat imperium Byzantium, Konstantinopel. Kota ini kemudian diubahnya menjadi Kota Istambul.
Apa rahasia di balik semua kesuksesan beliau?
Ternyata sang ayah selalu menanamkan visi besar kepada Fatih kecil. Sejak kecil Sultan Muhammad Al Fatih dididik oleh seorang ustaz Syamsudin yang juga wali. Beliau tumbuh menjadi remaja yang memiliki kepribadian unggul. Al Fatih menjadi sultan, dalam usia 19 tahun menggantikan sang ayah.
Visi besar keluarga Fatih adalah terkait prediksi Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335).
Mendapatkan kemuliaan versi hadis nabi, menjadi visi Al Fatih yang sejak kecil ditanamkan oleh ayah dan gurunya. Bukan hanya itu, visi itu juga menjadi visi besar ayahnya, nenek-moyangnya yang belum berhasil mencapainya. Visi itu akhirnya diwariskan pada Al Fatih dan menjadi energizer yang luar biasa menggerakkan dia dan tentaranya, dengan selalu tahajud meminta kekuatan dari Allah.
Sang Pedang Malam, orang asia bernama Muhammad Al Fatih yang mampu merontokkan super power Romawi pada 1453, itu memang agak unik. Beliau ahli salat malam (tahajud), ahli qiyamullail. Beliau selau kontak dengan energi terbesar di alam semesta ini, Allah SWT. Beliau selalu taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah SWT, Pemilik dan Penguasa tunggal alam semesta.
Qiyamullail, salat tahajud, inilah senjata utama Muhammad Al Fatih dalam mengarungi kehidupan di dunia yang fana. Inilah “Pedang Malam” yang selalu diasahnya dengan tulus ikhlas dan khusuk, ditegakkan setiap malam demi menggapai sukses besar, menerobos benteng Konstantinopel, setelah dikepung beberapa bulan.
Refleksinya, sudahkah kita dan anak-anak kita membangun visi besar untuk menjadi manusia hebat?
Visi dan Prestasi
Milikilah tujuan hidup dan curahkanlah segenap pikiran dan tenagamu untuk pekerjaan dan tugas yang diberikan Tuhan kepadamu. (Thomas Carlyle).
Mengapa prestasi anak-anak Indonesia dan di kebanyakan dunia ketiga rata-rata standar, jarang yang melejit, kalau pun ada jumlahnya yang sangat sedikit? Saya khawatir hal itu terjadi karena banyak anak potensial yang tidak punya tujuan hidup (visi), atau gagal menemukan visi, atau terlambat menemukan visi yang spesifik dalam hidupnya.
Kekhawatiran bahwa banyak anak gagal menemukan visi sejak dini, sebagai akibat ayah yang tidak cukup piawai mengarahkan visi yang pas buat anak buah hatinya. Sebagian ayah merasa sudah melakukan arahan visi pada anak-anaknya, tapi ternyata tidak dengan menggali potensi dan mengelaborasi. Ironisnya, lebih banyak ayah yang cenderung melakukan intervensi, hasilnya malah mengebiri potensi anak.
Ada keterkaitan yang erat antara visi dan prestasi seseorang, karena visi yang baik akan melahirkan motivasi, inspirasi dan antusiasme (semangat yang pantang menyerah) untuk mencapainya. Akan menjadi apa dan siapa anak Anda kelak bergantung kepada seberapa besar visi atau mimpinya.
Tak ada impian yang terlalu besar dan tak ada pemimpi yang terlalu kecil. Karena itu selalu lah bermimpi dan bercita-cita tinggi melampaui yang yang dapat Anda bayangkan. Jangan berusaha menjadi lebih baik dari teman-teman sebaya Anda atau para pendahulu Anda, berusahalah menjadi lebih baik dari diri sendiri.
Visi merupakan konstruksi berpikir positif tentang masa depan yang spesifik, terukur serta tersusun ‘road mapnya’ dalam sebuah proposal hidup. Hal ini penting, sebab umumnya anak-anak ketika ditanya, kelak ingin jadi apa? Jawabnya: ingin jadi dokter, insinyur, presiden atau menteri, atau perwira TNI? Tidak salah, tetapi akan lebih lengkap kalau ayah mengarahkan, dokter ahli apa? Insinyur di bidang apa? Perwira TNI Angkatan Darat, Laut atau Udara? Kapan harus tercapainya? Bagaimana cara mencapainya? dan seterusnya.
Karena itu dalam buku Climbing to The Top, Tembong Prasetyo dan Widijo Hari Murdoko menuturkan, daftar mimpi atau visi itu haruslah memenuhi akronim SMARTER: Specific, Measurable (bisa diukur), Attainable (bisa dicapai) , Realistic, Time Based, Exciting (menyenangkan) dan Reward (ada imbalan atau hadiah yang bisa mencapainya).
Pentingnya membangun visi anak terkait dengan masa depan kehidupannya, pernah diteliti oleh Mark Mc Comark di Harvard Business School (1979-1989). Para lulusan sekolah tersebut ditanya tentang adakah visi atau proposal hidupnya ke depan? Hasilnya, 3 persen responden menyatakan punya visi dan ditulis, 13 persen punya visi dan tidak ditulis, dan sisanya (84 persen) GJ, alias gak jelas visi hidupnya.
Setelah tujuh tahun kemudian disurvei ulang tentang bagaimana keberhasilan dalam mendapatkan penghasilan, ternyata perbedaannya cukup signifikan. Mereka yang menuliskan visinya mempunyai penghasilan 10 kali lipat dibanding dengan yang GJ, sementara mereka yang punya visi tapi tidak ditulis penghasilannya 2 kali lipat ketimbang yang GJ (yang gak jelas visinya).
Bagaimana perbedaan penghasilan yang amat signifikan tersebut bisa dijelaskan kaitannya dengan konstruksi pikiran (visi) dan yang dituliskan? Pikiran bersifat magnetis dan mempunyai frekuensi. Ketika Anda memikirkan (baca: visi atau mimpi) sesuatu, maka pikiran-pikiran itu akan dikirim ke semesta. Secara magnetis, kuanta-kuanta pikiran akan menarik semua hal serupa yang berada di frekuensi dan resonansi yang sama. Ibarat sebuah menara penyiaran yang memancarkan frekuensi yang sama dengan pikiran-pikiran Anda.
Dalam perspektif sunnatullah, korelasi positif antara visi dengan penghasilan seseorang sangat dimaklumi, karena dalam suasana kebatinan seperti itu, siapa pun orangnya akan mempunyai kemauan kuat untuk berkembang dan dengan ringan melakoninya. Ya, karena semua dilakukan dengan semangat dan sungguh-sungguh menikmati prosesnya, tanpa terpengaruh apa dan berapa pun hasilnya. Dan bisa dipastikan hasilnya akan luar biasa, sebesar dengan kesungguhan usahanya.
Urusan kaya dan miskin memang hak prerogatif Allah SWT, tetapi orang yang punya visi akan lebih terarah dan fokus dalam bekerja, dan umumnya akan berprestasi pada bidangnya atau kariernya.
Visi berbasis Potensi
Pikiran anak bukanlah layaknya bejana yang harus diisi, melainkan api yang harus dinyalakan. (Plutarch).
Jika Anda gagal memberikan cinta dan perhatian kepada anak-anak dan keluarga Anda sendiri, lalu apa yang sesungguhnya telah Anda raih dan banggakan? Cinta dan perhatian orang tua, terutama dalam bentuk ide dan gagasan (baca: visi) besar yang memberikan inspirasi dan dorongan, bukan hanya limpahan materi dan makanan.
Persoalan terpelik adalah tidak mudah mengarahkan visi yang inspiratif dan motivatif bagi ananda. Jika gagal pada tataran internalisasi, bukannya tidak mungkin anak justru menolak, merasa terpaksa dan tidak rela. Visi tersebut seolah-olah bukan miliknya, tapi titipan atau desakan dari ayahnya. Kondisi ini yang harus dihindari karena sangat kontra edukatif.
Pendampingan ayah harus dimulai dari bagaimana menemukan ide (konsep) yang cocok dengan minat dan bakat anak sedemikian rupa sehingga rumusan visi itu dibangun tanpa ada resistansi yang berarti. Hanya perlu sosialisasi dan sedikit diskusi untuk internalisasi.
“Jangan sekadar memaksa anak untuk belajar bidang tertentu, tetapi arahkan mereka kepada apa yang menarik perhatian mereka. Dengan demikian engkau dapat lebih tepat dalam menemukan bakat dan kemampuan masing-masing anak.” (Plato).
Menemukan visi yang sesuai dengan minat, bakat, serta potensi anak menjadi pakem baru dalam pemberdayaan anak. Lebih baik menemukan kelebihan dan mendorongnya seoptimal mungkin ketimbang harus lelah mencari-cari kekurangan anak dan kemudian memperbaikinya menjadi rata-rata standar.
Memang tidak mudah menemukan potensi anak, tetapi bukannya tidak mungkin. Tidak mudah karena potensi adalah kekuatan (bakat) yang terpendam, karena itu perlu keterampilan orang tua untuk melakukan eksplorasi dengan stimulasi yang pas untuk menemukan potensi itu.
Caranya, kenalilah kesenangan (minat) dan bakat anak melalui kecenderungannya. Misalnya apa saja mainan dan bacaan yang digemari saat ananda masih balita? Apa pelajaran sekolah yang paling disukai saat mulai sekolah? Dan juga temukan pelajaran dengan nilai terbaiknya, apa tontonan kesukaannya? Dan juga topik pembicaraan (diskusi) yang diminati, sekaligus sambil kenali dan gali potensi yang dimiliki anak.
Diskusikan juga dengan anak tentang cita-citanya, karier impiannya, jika perlu sesekali ikutkan tes minat dan bakat.
Yang penting untuk dicatat sebagai prinsip arahan adalah, minat anak dan ekspektasi orang tua haruslah tunduk dan menyesuaikan bakat dan potensi anak, jangan sebaliknya orang tua yang cenderung memaksakan kehendaknya. Sebab, kalau anak belajar dan bekerja tanpa passion maka hasilnya akan asal-asalan, menjadi tidak optimal.
Dengan menemukan visi yang sesuai minat dan bakat anak, maka kelak anak akan berhasil melewati masa-masa berat saat sekolah/kuliah, karena ia belajar dengan senang. Dan jika ia mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya, maka dipastikan prestasinya akan melejit. Yang membuatnya lebih berhasil karena anak bekerja dengan passion; senang, enjoy, dan tidak stres.
Dalam keadaan seperti itu seseorang akan mampu belajar dan bekerja dengan enjoy, gak ada capeknya, senang terus, dan full power terus. Bekerja keras, antusias, dan totalitas. Working with passion karena vocation is vacation (bekerja serasa piknik).
Visi dan Militansi
Yang ditanamkan orang tua dan guru di pikiran anak muda akan menjadi bunga api yang akan menyalakan obor-obor kebenaran dari generasi ke generasi. (Colleen L Reece dan Anita Corrine Donihue).
Visi saya dan anak-anak sebaya di pesantren sangat sederhana, sekadar untuk bisa mondok di pesantren, kuliah di IAIN atau IKIP di kota dan kemudian kembali ke desa menjadi guru agama atau ustaz, sembari menjadi dai atau guru ngaji, tidak pernah terbersit mimpi yang out of the box.
Mimpi menjadi sarjana agama atau keguruan itu pun masih terasa langka, hanya pantas dimiliki oleh keluarga pegawai atau guru. selebihnya mengalir saja, menjadi besar tanpa mimpi, what’s will be will be!
Terasa aneh dan unik, jika dalam lingkungan desa sederhana seperti itulah saya mempunyai mimpi besar, inspirasi yang luar biasa dari ayah yang luar biasa, mengantarkan saya menjadi sosok yang berbeda dengan teman sebayanya.
Ayah sering bertanya: “Nak Huda, kalau kamu besar pingin jadi apa? Anak-anak di lingkungan pesantren, umumnya mondok ke pesantren atau kuliah ke IAIN.” Maukah kamu menjadi anak yang berbeda agar kelak menjadi orang yang luar biasa?”
Lebih lanjut ayah menjelaskan harapannya: “Jadilah teknokrat yang paham agama, insinyur yang piawai berdakwah, yang tak kalah dengan lulusan pesantren atau IAIN.” Bahkan untuk meyakinkan bahwa harapannya itu realistis, abah juga mencontohkan role model-nya agar mudah diikuti: “Seperti itu lho, Ustaz Ir. Syahirul Alim, MSc. dosen Teknik Kimia UGM Yogyakarta yang ahli kimia tapi hafal Al Qur’an. Dosen yang mampu menjelaskan ayat qauliyah (difirmankan dalam Al Qur’an) dengan ayat-ayat kauniyah (fenomena alam semesta) dengan sangat menakjubkan.”
Saya belum mengenal sosoknya, tapi bisa menangkap pesan di baliknya. Kelak ketika kuliah di UGM, baru mengenal bahkan menjadi ‘murid’ spiritual Ir. Syahirul Alim, MSc.
Seiring waktu, visi unik yang dibangun bersama ayah itu lama kelamaan kian membanggakan dan ‘built in‘ dalam diri saya. Kebanggaan itu kemudian mampu membangun motivasi dan militansi, serta menjadi energi untuk menempuh perjalanan panjang yang penuh liku dan daki.
Betapa tidak, untuk mendapat predikat insinyur, saya dibatasi dengan beberapa catatan, kuliahnya musti di PT negeri dengan living cost yang terjangkau untuk gaji ayah sebagai guru agama di desa. Strategi agar bisa lolos masuk perguruan tinggi negeri, penulis harus sekolah di SMA terbaik di kota, SMAN 2 Madiun, sebagai batu loncatan.
Kompetisi untuk bisa lolos seleksi masuk SMAN 2 favorit itu, tak kalah sulitnya, apalagi bagi lulusan madrasah dari desa. Saya harus memenangkan kompetisi atau seleksi 10 dibanding 1, artinya jumlah pendaftar 2.500 hanya diterima 250 siswa. Pastilah yang lolos memasuki SMA itu diborong oleh lulusan SMPN terbaik di eks karesidenan Madiun dan sekitarnya.
Semakin tak terbayangkan, betapa sulitnya mencapai sekolah pilihan itu, rasa minder semakin menguat tatkala ingat bahwa saya berasal dari madrasah di desa yang minim segalanya. Mimpi sudah terbangun, tekad sudah dicanangkan, layar sudah terkembang, surut berpantang.
Menyadari betapa sulitnya lolos seleksi SMA pilihan itu, maka saya bertekad sekolah ganda, pagi sekolah di Madrasah Tsanawiyah, siangnya sekolah lagi di SMP swasta yang masuk siang hari. Hal itu harus dilakukan, semata-mata untuk mendapatkan tambahan pelajaran umum sebagai bekal untuk mengikuti ujian ekstra di SMPN 2 dan tiket memasuki SMAN 2 Madiun.
Setiap hari, saya harus sekolah sepanjang hari, di saat full day school belum dikenal, saya sekolah full day sendirian. Harus berangkat sekolah lagi di saat teman-teman sebaya pergi bermain bola dan berenang di kolam pondok. Upaya gigih saya sekolah ganda demi mencapai cita-cita ternyata tak berujung sia-sia. Setelah setahun sekolah ganda, dan berhasil lulus ujian ekstra di SMPN 2 Madiun, saya lolos tes masuk SMAN 2 Madiun.
Setelah duduk di bangku SMAN 2 Madiun, tidak serta merta semua urusan menjadi beres, harus cepat menyesuaikan diri, tidak hanya pelajaran yang timpang, tetapi juga lompatan budaya, dari desa ke kota. Sempat dipanggil dengan sebutan agak sinis: “anak desa berjiwa kota.” Saya bergeming dengan panggilan ejekan itu, yang penting prestasi akademik penulis tetap bertahan di lima besar.
Tidak cukup sampai di situ, ketika belajar di SMA saya harus tetap seimbang dalam menuntut ilmu agama dengan ‘ngaji private’ malam hari bersama ayah sendiri, seperti nahwu shorof, ushul fiqh, mantiq, ilmu balaghah (sastra arab), mustolah hadis, seni membaca Al Qur’an (qiro’ah) dll. Kebetulan abah adalah alumni Pondok Gontor Ponorogo, sehingga mempunyai kompetensi keilmuan yang memadai untuk mengajar anaknya sendiri.
Panggilan visi terus menuntut semangat saya belajar seimbang, ilmu agama dan iptek hingga di bangku perguruan tinggi. Di tahun pertama kuliah di Yogya, setiap Ahad mengikuti Pendidikan Kader Masjid Syuhada (PKMS), seharian memperdalam ilmu islam, leadership dan dakwah. Di saat mahasiswa lain santai berlibur, saya ngaji hingga sore hari, praktis tidak kenal weekend.
Memasuki tahun kedua, saya meniti kaderisasi di HMI mulai basic training (batra), intermediate training (intra) hingga senior course (SC). Sempat menjadi Ketua komisariat Fakultas Teknik dan wakil Ketua Cabang HMI MPO Yogyakarta, selama 2 periode.
Dinamika semangat ngluru ilmu lintas disiplin memang dimungkinkan di Kota Yogyakarta. Bahkan selama dua tahun terakhir masa kuliah, saya tinggal di Padepokan Budi Mulia (PPBM) diasuh tokoh-tokoh nasional, seperti Amien Rais, Syafi’i Ma’arif, Kuntowijoyo (alm), Syahirul Alim, Yunahar Ilyas dan lain-lain. Pagi hingga sore hari untuk kuliah dan praktikum, malam dan dini hari untuk ngaji di Pondok PPBM.
Setelah tahun ketiga, mulai terlibat dalam kegiatan sebagai trainer di HMI maupun penceramah di Pengkajian Nilai-Nilai Dasar Islam (PNDI). Cukup menyita waktu kuliah, karena trainingnya berkembang hingga ke Kota Semarang, Solo, dan Surabaya.
Semangat dan militansi menegakkan Dinul Islam justru semakin mengkristal, ketika rezim Orde Baru sedemikian represif, terutama kepada aktivis intelektual muslim termasuk mahasiswa, sehingga sering pelatihan atau forum sejenis itu menjadi incaran untuk dibubarkan.
Pelbagai kesulitan yang saya alami di organisasi dan pelatihan tidak hanya menjadi bekal sebagai teknokrat sekaligus dai, tetapi juga semakin memperkokoh kemampuan leadership. Militansi yang matang karena ditempa oleh ujian dan tantangan di lapangan.