Suaramuslim.net – Media sosial kembali dihebohkan dengan munculnya Cross Hijaber, laki-laki yang terobsesi menjadi wanita. Laki-laki ini hobi memakai pakaian syar’i wanita seperti gamis, hijab dan cadar. Mereka juga berani pergi ke tempat umum, seperti masjid dan toilet wanita. Para netizen di dunia maya pun gempar mendengar pengakuan para cder, sebutan Cross Hijaber, yang mengakui hobi mereka ini dan memposting foto-foto mereka menggunakan pakaian syar’i wanita. Lantas, bagaimana islam memandang laki-laki yang berpakaian wanita?
Perbedaan penciptaan laki-laki dan perempuan.
Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut menunjang peran keduanya dalam keseharian. Sifat kasih sayang yang disematkan pada wanita menunjang perannya sebagai seorang ibu. Sementara sifat laki-laki yang cenderung tegas memiliki andil untuk menjalankan peran sebagai pemimpin keluarga.
Firman Allah Ta’ala, “Laki-laki tidaklah seperti perempuan.” (Q.S. Ali Imran (3): 36).
Perbedaan laki-laki dan perempuan termasuk pada cara berpakaian keduanya. Dalam islam, aurat laki-laki adalah dari pusar hingga lutut. Sedangkan wanita diperintahkan untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Dengan demikian, dalam hal berpakaian pun laki-laki dan wanita menyesuaikan dengan aurat yang wajib ditutup dan kesantunan.
Laki-laki tidak boleh menyerupai wanita, begitu pun sebaliknya.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (H.R. Bukhari no. 5885).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah meringkaskan penjelasan Abu Muhammad bin Abi Jamrah Rahimahullah yang menyatakan, “Zhahir lafazh (hadits ini) adalah larangan keras terhadap perbuatan at-tasyabbuh (laki-laki menyerupai wanita, atau sebaliknya) dalam segala hal. Akan tetapi, telah diketahui dari dalil-dalil yang lain bahwa yang dimaksud adalah (larangan) tasyabbuh dalam hal pakaian, sifat, gerakan, dan semisalnya. Bukan tasyabbuh (menyerupai) dalam perkara-perkara kebaikan.” (Fathul Bari: 10/333).
Bagaimana dengan laki-laki yang berpakaian wanita?
Laki-laki tidak boleh mengenakan pakaian wanita, begitu juga sebaliknya.
Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita, begitu pula wanita yang memakai pakaian laki-laki.” (H.R. Ahmad no. 8309, 14: 61).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menukilkan penjelasan ath-Thabari Rahimahullah yang berkata: Maknanya adalah laki-laki tidak boleh menyerupai wanita dalam hal pakaian dan perhiasan yang khusus bagi wanita. Dan tidak boleh pula sebaliknya (wanita menyerupai laki-laki dalam hal pakaian dan perhiasan yang khusus bagi laki-laki). (Fathul Bari: 10/332).
Jadi, larangan menyerupai ini terkait pakaian, sifat, gerakan dan sejenisnya. Laki-laki tidak boleh memakai pakaian yang khusus digunakan wanita, seperti gamis, rok, kerudung, cadar dan sejenisnya. Sebaliknya, wanita tidak boleh memakai pakaian yang khusus digunakan laki-laki, seperti peci, jubah laki-laki, dan sejenisnya.
Kemudian al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan tambahan, “Demikian juga menyerupai dalam (gaya) berbicara dan berjalan. Adapun dalam bentuk pakaian maka ini berbeda-beda dengan adanya perbedaan adat kebiasaan pada setiap daerah. Karena terkadang pakaian wanita suatu kaum tidak berbeda dengan model pakaian laki-laki. Akan tetapi (model pakaian) wanita memiliki keistimewaan tertutup ditambah dengan hijab. Adapun celaan tasyabbuh (laki-laki menyerupai wanita atau sebaliknya), dalam berbicara dan berjalan ini, khusus bagi yang sengaja melakukannya. Adapun bagi orang yang sudah menjadi tabi’atnya, maka ia diperintahkan untuk memaksa dirinya agar meninggalkannya, dan terus berusaha meninggalkannya secara berangsur-angsur. Jika dia tidak melakukan, bahkan dia terus tasyabbuh dengan lawan jenis, maka dia terkena celaan (larangan). Apalagi jika tampak pada dirinya keridhaan dengan keadaannya. Dalil hal ini nyata dari lafazh orang-orang yang menyerupai.” (Fathul Bari: 10/332).
Wallahu a’lam.