Suaramuslim.net – Bung Karno pernah berkata “jasmerah” yang artinya jangan sekali-kali melupakan sejarah. Perkataan bapak proklamator kita ini memanglah benar. Perjuangan pahlawan dan peristiwa-peristiwa penting masa lalu bangsa ini tak boleh dilupakan begitu saja. Sebaliknya, generasi penerus perlu mempelajari pengalaman dan perjuangan para pahlawan untuk membangun Indonesia ke depan. Salah satu catatan sejarah yang layak untuk dipelajari adalah peristiwa pengasingan dan perjuangan Bung Hatta dan Sjahrir selama di Banda Neira.
Banda Neira, sebuah kota di Maluku yang mendapat julukan Kota Eropa Kecil itu memiliki sejarah tentang Bung Hatta. Pada 11 Februari 1936, Hatta dan Sjahrir diasingkan di kota ini oleh Belanda, tepatnya di Jalan Rehatta, Desa Dwi Warna, Kecamatan Banda, Maluku Tengah.
Penduduk di wilayah ini mayoritas adalah keturunan Arab dan peranakan Eropa. Percampuran bahasa Indonesia dan Belanda terdengar dari percakapan sehari-hari masyarakat. Hatta dan Sjahrir pun berbaur dengan masyarakat di lingkungan tersebut. Meski, keduanya lebih sering bergaul dengan masyarakat keturunan Arab dibandingkan peranakan Belanda.
Kondisi pengasingan Hatta dan Sjahrir di Banda Neira memang tak seburuk di Digul, sebuah wilayah terpencil di Papua. Di Banda Neira, suasana sekitar rumah sewanya sejuk dan asri, terlihat dari banyak pepohonan yang berjajar. Hatta dan Sjahrir juga diberikan kebebasan untuk berkomunikasi dengan siapa pun, baik dengan penduduk sekitar, maupun kerabat dan kawan di luar wilayah melalui surat. Kebiasaan membaca Hatta juga tak dibatasi, beliau tetap boleh membaca buku, koran maupun majalah. Dari sinilah, Hatta menyegarkan kembali rencana-rencananya yang bersifat politik.
Setiap malam Ahad, Hatta dan Sjahrir mengunjungi rumah dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Mereka berdua politisi yang lebih dulu diasingkan Belanda di Banda Neira. Di rumah Iwa Kusumasumantri, mereka berkenalan dengan Bahalwan, seorang peranakan Arab yang mengajari Iwa Kusumasumantri tafsir Al-Qur’an dan Bahasa Arab. Biasanya, acara diatur dengan memulai diskusi ilmiah sekitar setengah jam, sesudah itu baru beliau bercerita. Bahalwan pandai bercerita tentang aneka kepahlawanan Nabi.
“Sungguh pun ia belum pergi ke negara Arab. Ia pandai menceritakan keadaan negeri itu, seolah-olah ia bertahun-tahun tinggal di sana,” Hatta menulis dengan nada kagum.
Penulis ingin menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan Bahalwan adalah Abdullah Bahalwan, Abah Dula sebutan dalam keluarga. Beliau adalah paman penulis yang lahir di Banda Neira, 12 April 1876. Abdullah Bahlawan sangat terkenal di Banda Neira karena kemampuan memimpin umat serta pandai dalam ilmu Agama, Bahasa Arab dan pengetahuan umum seperti Ilmu Geografi, Ilmu Falaq, Sejarah, Tata Negara, Matematika, dan Kimia.
Karena itulah, kebanyakan teman diskusi beliau adalah para cendekiawan termasuk tokoh pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia yang dibuang Belanda ke Banda Neira seperti : Dr. Mohammad Hatta, Mr. Iwa Kusumasumantri, dr. Suroyo, dr. Suherman, serta beberapa dokter dari Jawa dan Petinggi Belanda.
Beliau ditunjuk sebagai Qadi untuk orang Arab dan sebagai Penasihat Hukum Islam untuk para Imam Masjid di Banda Neira. Beliau belajar Agama Islam dari Haji Akib, seorang ulama dari Banten yang dibuang Belanda di Banda Neira. Pada tahun 1940, Abdullah Bahalwan mendirikan Madrasah di Banda Neira dan selama itu beliau sangat menaruh perhatian secara penuh sampai pindah ke Surabaya pada tahun 1953.
Sewaktu Abdullah Bahalwan di Surabaya, tinggal di rumah orang tua penulis yang beralamat di Jalan Nyamplungan Gg. VIII No. 69 Surabaya, tempat penulis dilahirkan. Saat itu sekitar tahun 1953 Mr. Iwa Kusumasumantri selaku Menteri Pertahanan pada kabinet Sjahrir pernah singgah ke rumah kami untuk menjenguk Abdullah Bahalwan. Abdullah Bahalwan meninggal di Surabaya tanggal 20 Desember 1956 dalam usia 80 tahun.
Di Banda Neira, selain belajar dan berdiskusi, Hatta dan Sjahrir juga membuka sekolah sore yang tempatnya berada di paviliun selatan rumah. Ruangan yang berbentuk kelas kecil ini terdiri dari tujuh bangku dan meja belajar model lama menghadap sebuah papan tulis kayu. Dari Aritmatika hingga Bahasa Inggris adalah pelajaran yang diajarkan Bung Hatta dan Sjahrir. Mereka berdua membagi tugas mengajar, Sjahrir mengajar anak-anak kecil, sedangkan anak-anak yang lebih besar diajar oleh Hatta.
Dari kisah di atas, dapat dipetik pelajaran bahwa Bung Hatta, Sjahrir dan tokoh lainnya sewaktu diasingkan Belanda di Banda Neira, mereka tetap belajar dan mengajarkan ilmu untuk anak-anak Banda Neira. Selain itu, meski Bung Hatta, Sjahrir, dan tokoh lainnya merupakan tokoh nasional, mereka tetap berbaur dengan masyarakat di Banda Neira, salah satunya keluarga Bahalwan.
Sikap saling menghormati, termasuk kepada Abdullah Bahalwan dan saling menimba ilmu tercermin dari kepribadian Bung Hatta, Sjahrir, Mr. Iwa Kusumasumantri dan tokoh lainnya. Untuk generasi muda, ketekunan Bung Hatta dalam belajar patut diteladani. Sikap saling menghormati juga merupakan nilai yang perlu ditiru generasi saat ini kepada orang tua, guru, dan orang yang dianggap lebih senior. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menerima amal kebaikan para pahlawan Indonesia yang telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, adil, dan makmur.
Referensi: Seri Buku Saku Tempo (2018). Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Washil Bahalwan
Penulis adalah Ketua Lazis Yamas Surabaya dan Pemerhati Sosial