Suaramuslim.net – Tiongkok memiliki banyak mata-mata di Indonesia. Karena itu, tidak mungkin Tiongkok punya niat menyerang Indonesia secara langsung. “Tiongkok itu punya banyak mata-mata di sini. Mereka melalui orang-orang binaannya ini bisa beli semua tanah dan pulau Jawa ini. Mereka mampu. Jadi untuk apa perang langsung dengan Indonesia.” Dalam teknik perang Sun Tzu, kalau lawan bisa ditekuk pakai pistol, ngapain pakai bom. Indonesia lagi lemah-lemahnya. (Hatta Taliwang, 7/1/2020)
Tanah dan Pengendalian Politik Ekonomi
Apa yang dikatakan Hatta Taliwang bisa menjadi potret lemahnya Indonesia di mata China. Penguasaan tanah yang demikian banyak dan menyebar di berbagai penjuru kota dan desa menjadi salah satu indikator adanya penguasaan etnis China atas wilayah Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak tanah telah dibeli dan dimiliki oleh etnis China. Bahkan pembelian tanah bukan hanya ratusan meter persegi, tetapi puluhan atau ratusan hektar. Terlebih lagi di wilayah-wilayah terpencil, pelosok, berbukit atau pegunungan yang memiliki potensi ekonomi khususnya dikuasai etnis China.
Maka tidak heran bila satu persen etnis menguasai 90 persen aset tanah di Indonesia. Dengan penguasaan tanah yang demikian besar ini, maka etnis China leluasa menguasai dan mengendalikan politik ekonomi Indonesia.
Peristiwa di kepulauan Natuna merupakan potret kedaulatan Indonesia yang lemah di mata China. Adanya realitas kapal China yang memasuki wilayah Indonesia dan bebas mengambil ikan di perairan Indonesia merupakan contoh empirik. Ketika memperoleh peringatan untuk keluar dari wilayah perairan Indonesia, mereka tidak mengindahkan dan cenderung ingin melawan. Proses pengusiran dari wilayah Indonesia begitu alot dan sempat bersitegang. Ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak dihargai atau dianggap lemah oleh China sehingga hampir menolak perintah mundur dari batas wilayah Indonesia.
Peristiwa ini menunjukkan lemahnya Indonesia di mata China, sehingga memasuki wilayah negara lain dan memperoleh peringatan keras namun tak diindahkan dengan cepat. Keberanian kapal China tak mengindahkan peringatan kapal laut Indonesia menunjukkan bahwa kekuatan militer dipandang kurang memadai. Sesuai dengan hukum internasional, siapapun yang memasuki wilayah harus memperoleh izin negara pemilik territorial. Alih-alih segera pergi menjauh, kapal China justru seolah menantang Indonesia.
Kasus ini jelas-jelas China telah menginjak-injak wilayah negara Indonesia, dan China ingin menunjukkan dunia bahwa dirinya memiliki kekuatan dengan tidak mematuhi aturan ketika memasuki wilayah negara lain. Namun anehnya, kasus ini tidak membuat elite tertinggi Indonesia mereaksi dengan menuntut China, tetapi justru ingin meredakan peristiwa ini.
Kasus Natuna dan Pengalihan Isu?
Fenomena kapal China di kepulauan Natuna ini jelas menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia sangat lemah dan tidak memiliki kekuatan ketika ada kapal negara lain yang memasuki wilayahnya. Tidak adanya protes kepada pihak keamanan dunia menunjukkan negara China yang kuat dan Indonesiaa yang lemah. Ketergantungan Indonesia (utang) yang demikian besar kepada China, serta etnis China yang menguasai tanah, politik dan ekonomi Indonesia merupakan jawaban atas tidak adanya tuntutan Indonesia pada Mahkamah Internasional.
Bahkan ada pandangan yang menyatakan bahwa kasus Natuna ini hanyalah pengalihan isu besar yang sedang melanda Indonesia. Dirampoknya Asuransi Jiwasraya dan Bumiputera milik pemerintah, dianggap sebagai contoh relevan. Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo dan jajarannya tidak bersikap keras terhadap peristiwa Natuna. Bahkan Menhan bersikap santai menanggapi kejadian ini, dan mengganggap China sebagai saudara. Luhut Binsar Panjaitan, selaku Menteri Kemaritiman juga menyatakan bahwa berperang dengan China akan mengganggu investasi. Sehingga China merupakan negara sahabat Indonesia.
Dalam perspektif ini, China sengaja membantu Jokowi dalam rangka pengalihan isu agar ratusan proyek infrastruktur yang bersama Presiden Jokowi bisa berlangsung mulus dan dapat diserahterimakan tepat waktu. Dan China sangat dirugikan bila terjadi perang dengan Indonesia, karena utang-utangnya bisa tak dibayar Indonesia. Dengan adanya peristiwa Natuna ini, maka kasus besar bisa tertutupi dan masyarakat Indonesia tidak lagi fokus terhadap kasus penggarongan uang di Jiwasraya.
Bila kasus Jiwasraya ini terus menerus dibongkar, maka tidak menutup kemungkinan akan merambah dan menelisik pemenangan Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2019. Dalam pandangan masyarakat, kasus korupsi Jiwasraya diduga dipergunakan untuk membantu pemenangan rezim ini.
China memiliki kepentingan yang besar terhadap Indonesia, sehingga menciptakan ketergantungan yang tinggi pada Indonesia. Utang yang demikian besar yang diberikan China pada Indonesia, dengan proyek pengerjaan infrakstruktur, lebih banyak menguntungkan China. Sementara rezim ini memiliki hutang budi atas bantuan China dalam menopang kemenangan rezim ini. Bentuk kerja simbiosis mutualisme inilah yang hendak dipertahankan oleh dua rezim ini.
Apa yang dipaparkan oleh Hatta Taliwang tentang kekuatan politik ekonomi China merupakan kenyataan empirik. Dengan penguasaan tanah yang demikian massif, utang budi pada rezim ini, serta pengendalian pada elite-elite politik dan ekonomi Indonesia, membuat China tidak perlu perang dengan Indonesia secara terbuka. Mental elite politik-ekonomi Indonesia yang demikian korup, jelas-jelas sebuah kenyataan empirik.
Kasus korupsi Jiwasraya yang menggarong aset ekonomi Indonesia menjadi contoh kongkret, namun tidak memperoleh perhatian yang serius dengan mengejar dan memprosesnya pelakunya secara hukum. Untuk menutupi kasus besar ini, maka dimunculkannya kasus Natuna, sehingga menyedot perhatian publik hingga masyarakat melupakan kasus Jiwasraya. Lamban dan bahkan diamnya presiden Indonesia atas kasus Natuna ini bukan hanya hilangnya kedaulatan Indonesia atas China, tetapi juga untuk mengalihkan isu atas kasus-kasus korupsi besar di Indonesia.
Surabaya, 9 Januari 2020
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net