Suaramuslim.net – Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Sudan menyelenggarakan Lomba Karya Tulis dengan tema “Potensi Ekonomi Di Balik Cantiknya Batik Indonesia” untuk memperingati Hari Batik Nasional. Pengumuman dan penyerahan hadiah dilangsungkan di akhir bulan Desember 2019 lalu bertepatan dengan peringatan Hari Ibu. Keluar sebagai juara pertama adalah Faradilla Awwaluna Musyaffa’, alumnus Ponpes Islamic Center eLKISI Mojokerto Jawa Timur.
Mira Kamal, salah seorang panitia lomba menyebutkan, pemenang lomba penulisan karya tulis adalah Ananda Faradilla Awwaluna Musyaffa’, yang tengah menjalani tahun pertama studi di International University of Africa (IUA).
Sementara itu, Fara, begitu Faradilla biasa dipanggil, begitu berbahagia.
“Alhamdulillah, pastinya saya sangat senang dan bersyukur, namun sungguh kemenangan yang saya dapatkan bukan semata-mata karena kemampuan saya, tapi karena kebaikan dan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala”, kata Fara merendah, saat dihubungi, (29/1).
“Saya juga sangat senang dengan diadakannya lomba ini karena membuat saya terlatih untuk membuat karya tulis berbasis informasi, referensi dan penelitian ilmiah. Saya juga jadi tahu bagaimana wajibnya seorang penulis berhati-hati dan tidak boleh sembrono untuk beropini tanpa rujukan yang benar karena karya penulis itu kelak akan menjadi konsumsi publik,” sambung mahasiswi penerima beasiswa dari IUA ini.
Penghargaan dan sertifikat juara diserahkan langsung oleh Duta Besar RI untuk Sudan Drs. Rossalis Rusman Adenan MBA.
“Pak Dubes dan istri yang menyerahkan langsung. Beliau sendiri yang membaca dan memberi penilaian atas karya-karya yang masuk. Begitu katanya ketika memberi kata sambutan dan penyerahan hadiah, seraya memotivasi para mahasiswa agar mengembangkan bakatnya dalam bidang tulis menulis. Beliau sendiri pun suka menulis,” imbuh gadis asal Sengkaling Malang ini bersemangat.
Ihwal isi karya tulis, Fara menjelaskan bahwa sesuai dengan tema yang ditentukan panitia, ia mengelaborasi bagaimana batik bisa menjadi potensi ekonomi bagi masyarakat Indonesia karena pada hakikatnya batik bukan hanya warisan budaya tetapi harus memiliki ‘economic value’ yang dapat memajukan kesejahteraan masyarakat.
“Saya mengajukan beberapa pendapat tentang upaya apa saja yang bisa kita lakukan agar batik bisa mendongkrak ekonomi,” paparnya.
Dalam menyusun karya tulis itu, Fara mengambil sampel data penelitian ilmiah yang pernah dilakukan ayahnya menyangkut bagaimana respons masyarakat global terhadap batik.
“Penelitian itu dilakukan di Jepang ketika Ayah saya sedang bertugas di Negeri Sakura,” lanjutnya.
Fara juga menambahkan dalam karya tulisnya bagaimana agar gerai batik Indonesia pada acara Asian Cultural Festival (ACF) di Sudan menjadi lebih punya daya tarik dan lebih ‘eye catching.’
“Lebih menarik jika gerai kita tidak hanya menjual produk sebagaimana dilakukan negara lain, tapi kita bisa memberikan wawasan pengetahuan dan edukasi tentang batik sehingga orang punya impresi atau kesan, tidak sekadar membeli,” kata peraih juara dalam Festival Bahasa Arab di Khartoum, Sudan ini.
Ia juga mengusulkan lewat karya tulisnya agar pelajaran tentang batik di sekolah di Indonesia tidak berhenti pada tataran teori dalam kelas, tentang sejarah batik dan sebagainya, tapi bagaimana materi itu bisa menyentuh hati para murid untuk mempraktikkan keterampilan membatik guna melestarikan budaya sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat.
Prestasi Faradilla menyabet juara satu lomba karya tulis tentu saja membanggakan keluarga besar Pondok Pesantren eLKISI almamaternya.
“Alhamdulillah, kami bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla atas prestasi yang diraih Faradilla di Sudan. Eksistensi para alumni eLKISI baik yang di IUA Sudan maupun yang di Al Azhar Mesir cukup membahagiakan karena sesuai dengan visi dan misi pondok bahwa para santri harus berdaya saing global. Insya Allah ekspektasi ini bisa terwujud,” ujar KH. Fathur Rahman Fadhil, Direktur eLKISI.
Kreasi & Inspirasi
Faradilla Awwaluna Musyaffa’ yang lahir pada 16 Agustus 2001 ini adalah puteri pertama dari pasangan Abdul Kholik dan Sri Wahyuni. Dua saudarinya adalah Jehan Masayuki Farhan dan Shabrina Fatimah Azzahra.
Tinggal nun jauh di negeri orang, Fara terus menyemangati diri dengan mimpi setinggi langit dengan selalu melibatkan Allah dalam setiap langkahnya.
“Saya yakin bahwa ketika Allah sudah menjadi alasan di balik langkah dan mimpi kita, maka kegagalan tidak akan membuat kita rapuh, dan keberhasilan tidak akan membuat kita tinggi hati,” tuturnya.
Menjadi penulis adalah salah satu cita-cita yang ingin digapai Fara.
“Saya tidak lupa iringi dengan doa, ya Allah, jika pada tanganku ini Kau berikan aku kelebihan untuk menulis, maka beri aku kemampuan untuk terus berkarya, dan jadikan karya-karyaku adalah karya yang dapat menjadikan umat-Mu mengingat-Mu,” kenang Fara.
Fara telah mengahasilkan sebuah buku yang ia beri judul “Mager” (Muslim Anti Galau Generation). Ia bertekad akan tetap menulis meskipun mungkin dia punya bakat lain.
“Dunia tulis-menulis akan saya tekuni karena karya tulis atau buku akan bermanfaat dan menginspirasi orang lain, dan lagi karya itu akan berumur panjang melampaui usia hidup kita di dunia,” pungkasnya.
Laporan: Tom Mas’udi
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net