Suaramuslim.net – Respons pemerintah terkait dengan aksi demonstrasi sepertinya akan membuat suhu politik semakin memanas dan boleh jadi akan memancing emosi massa. Hal ini terkait dengan pernyataan resmi pemerintah yang terlihat sangat defensif dan berbalik menyudutkan massa yang berdemonstrasi.
Dikatakan membuat suhu politik memanas, karena massa yang berdemonstrasi dianggap bukan hanya tidak memahami situasi politik, tetapi juga dipandang tidak memiliki kepekaan sosial di tengah pandemi. Bahkan pemerintah menganggap aksi kekerasan menciptakan ketidaktertiban sosial dan kegaduhan di tengah masyarakat.
Sikap pemerintah yang akan bertindak represif sangat tampak dari pernyataannya yang akan memproses hukum siapa pun yang terbukti merusak fasilitas umum dan melukai aparat keamanan.
Kegalauan pemerintah: memanaskan situasi
Publik sebenarnya berharap pemerintah merespons positif atas aksi demonstrasi pada 8 Oktober 2020. Massa menolak UU Cipta Kerja karena dianggap merugikan kalangan buruh dan menguntungkan cukong.
Demonstrasi yang dilakukan buruh, mahasiswa, dan masyarakat umum meluas di sejumlah daerah hingga merusak fasilitas umum, menuntut agar pemerintah membatalkan UU Cipta Kerja itu. Alih-alih bersikap responsif-kooperatif-sugestif, pemerintah justru menunjukkan sikapnya yang arogan-non-kooperatif-represif.
Hal ini ditunjukkan oleh pidato pemerintah, melalui Menkopolhukam, Mahfud MD, yang menegaskan bahwa sikap pemerintah sudah final. UU Cipta Kerja yang sudah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 itu dipandang sebagai hasil kerja panjang antara pemerintah, DPR dan masyarakat.
Pemerintah menganggap bahwa UU ini final karena sudah dibahas di DPR bersama semua fraksi, dan bahkan melibatkan serikat buruh. Diklaim bahwa rapat pembahasan UU ini dilakukan berkali-kali dan sudah mengakomodasi kepentingan masyarakat, khusus para buruh dan pekerja masyarakat bawah.
Menkopolhukan itu menegaskan bahwa pemerintah sudah memikirkan matang-matang, tidak mungkin menyengsarakan rakyat. UU ini dinilai sebagai respons atas persoalan perijinan usaha yang selama ini dianggap sangat birokratis, dan juga untuk merespons lapangan kerja guna menampung tenaga kerja 3,5 juta pertahun. Bahkan UU ini dipandang sebagai terobosan untuk memberantas kolusi di birokrasi bisa lebih cepat.
Dalam paparannya, Mahfud MD mewakili pemerintah menyatakan bahwa pimpinan negara benar-benar mencermati perkembangan yang terjadi di lapangan, khususnya yang terkait dengan penyampaian aspirasi tentang UU Cipta Kerja. Bahkan pemerintah menyampaikan terkait dengan aksi demonstrasi di sejumlah daerah, dan demi ketertiban dan keamanan, pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, UU Cipta Kerja dibentuk justru untuk melaksanakan tugas pemerintah dalam membangun kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja yang semakin banyak, perlindungan terhadap buruh, penyederhaan birokrasi, dan kemudahan berusaha serta untuk melakukan pemberantasan korupsi dan pungli, dan pencegahan tindak pidana korupsi lainnya.
Kedua, pemerintah menghormati kebebasan berpendapat dan menyampaikan aspirasi terkait dengan UU cipta kerja sepanjang dilakukan dengan damai, menghormati hak hak warga yang lain, dan tidak mengganggu ketertiban umum.
Ketiga, pemerintah menyayangkan adanya aksi-aksi anarkis yang dilakukan oleh massa di tempat-tempat tertentu dengan merusak fasilitas umum, membakar, melukai petugas, dan juga menjarah. Tindakan itu jelas merupakan kriminal yang tidak dapat ditoleransi dan harus dihentikan.
Keempat, tindakan merusak bangunan fasilitas umum dan serangan secara fisik terhadap aparat dan warga masyarakat merupakan tindakan yang tidak sensitif atas kondisi yang dialami oleh rakyat yang sedang berjuang melawan pandemik covid 19 dan juga kondisi ekonomi yang sedang sulit.
Kelima, untuk itu, demi ketertiban dan keamanan, maka pemerintah akan bersikap tegas atas aksi-aksi anarkis yang justru bertujuan menciptakan kondisi rusuh dan ketakutan di dalam masyarakat.
Keenam, selain berdemontrasi dengan tertib dan tidak melanggar hukum, ketidakpuasan atas UU tersebut bisa ditempuh dengan cara yang sesuai dengan konstitusi yaitu dengan menyalurkannya dalam proses pembuatan Peraturan Pemerintah, Perpres, Permen, Perkada, sebagai delegasi perundang-undangan. Bahkan bisa diadukan melalui mekanisme judicial review, atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Ketujuh. Sekali lagi, pemerintah akan bersikap tegas dan melakukan proses hukum terhadap semua pelaku dan aktor yang menunggangi atas aksi-aksi anarkis yang sudah berbentuk tindakan kriminal.
Pernyataan resmi pemerintah ini ditandatangani M. Mahfud MD (Menkopolhukam), Tito Karnavian (Mendagri), Budi Gunawan (Kepala BIN), Marsekal TNI Hadi Cahyanto (Panglima TNI), dan Jend. Pol. Idham Aziz (Kapolri).
Pernyataan ancaman represif
Pendekatan represif pemerintah sangat terlihat dari poin ke 5 dan 7, negara akan memproses mereka yang dianggap bertindak anarkis sehingga tercipta kerusuhan, dan sejumlah pengrusakan. Yang menarik bahwa pemerintah akan menangkap dalang atau aktor intelektual atas aksi kekerasan yang merusak fasilitas umum dan melukai aparat polisi. Kebijakan ini bila diambil, justru akan memancing emosi masyarakat, dan bisa jadi memicu solidaritas sosial untuk melakukan aksi yang lebih massif guna menuntut dicabutnya UU yang dipandang menguntungkan pihak cukong karena bebas mengeksploitasi Indonesia.
Bahkan yang membuat massa semakin tinggi solidaritas sosialnya ketika dituduh aksi demonya ditunggangi pihak lain. Rakyat bisa jadi membalik argumen bahwa pengesahan UU Omnibus-law itu juga ada pihak-pihak yang menungganginya, yakni kelompok oligarki.
Sebagai pengelola negara yang berada di puncak kekuasaan memang tidak mungkin mengaku ditunggangi pihak lain. Namun masyarakat sudah umum mengetahui bahwa UU ini disahkan dalam waktu yang cepat, guna memenuhi kepentingan para cukong dan taipan.