Suaramuslim.net – Al-Qur’an selalu menekankan dan mengedepankan tegaknya nilai tauhid di tengah komunitas. Diutusnya nabi atau rasul di tengah masyarakat yang menyimpang tidak lain untuk mengembalikan penegakan tauhid. Apa yang mereka upayakan selalu mengalami perlawanan dari masyarakat, khususnya mereka yang mapan dengan penyimpangan itu.
Perlawanan umumnya dipelopori oleh tokoh dan pemuka masyarakat yang berpengaruh dan lekat dengan tradisi setempat. Perlawanan terhadap tegaknya tauhid tidak lain karena hilangnya nalar manusia terhadap kekuasaan Allah yang telah menciptakan dirinya serta menyediakan seluruh fasilitas di alam semesta ini.
Nabi atau rasul hanya mengajak manusia untuk menyadari akan kekuasaan Allah, dan memerintahkannya untuk mendharmabaktikan hidupnya hanya kepada-Nya. Hilangnya nalar berganti keangkuhan, sehingga ajakan nabi atau rasul itu ditolak dan berbalik melakukan perlawanan kolektif hingga merencanakan kejahatan kepada utusan Allah.
Misi Kenabian dan Pengagungan Manusia
Allah menciptakan alam semesta dan segala fasilitasnya bagi manusia. Manusia ditempatkan dan diposisikan sebagai makhluk yang mulia. Sedemikian mulianya hingga penciptaan segala apa yang ada di bumi, dan semuanya untuk memfasilitasi manusia.
Hal ini Allah tegaskan sebagaimana firman-Nya:
Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 29).
Allah juga menegaskan bahwa segala fasilitas yang ada di bumi, baik tersedianya air, udara, maupun adanya gunung, pohon, sungai atau laut serta binatang semuanya diperuntukkan manusia.
Bahkan Allah juga mengirimkan air hujan sehingga bisa menyuburkan tanah yang tandus agar produktif dan membuahkan berbagai macam buah-buahan. Semuanya itu untuk kepentingan manusia.
Hal ini Allah tegaskan sebagaimana firman-Nya:
Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. (QS. Al-A’raf: 57).
Allah juga menunjukkan bahwa malam berganti siang, atau siang berganti malam merupakan fasilitas yang disediakan Allah untuk manusia. Fasilitas itu berupa pergiliran keluarnya matahari, bulan, dan bintang yang bisa dimanfaatkan manusia untuk pemenuhan hajat hidupnya di dunia.
Allah menegaskan hal itu sebagaimana firman-Nya:
Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan perintah menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam. (QS.Al-A’raf: 54).
Agar hidup manusia lebih terarah, maka Allah membekali hidup dengan aturan. Ketundukan dan kepasrahan untuk mengikuti aturan dan petunjuk ini agar kehidupan dunia senantiasa seimbang, tidak ada penyimpangan dan kerusakan.
Hal ini Allah tegaskan sebagaimana firman-Nya:
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-A’raf: 55).
Awal mula terjadinya pembangkangan terhadap perintah dan larangan itu disebabkan oleh hilangnya sikap merendahkan diri di hadapan-Nya, dan merasa dirinya mampu berbuat untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya. Di sinilah akar terjadinya penyimpangan dan perlawanan terhadap perintah-Nya.
Manusia dan Penyimpangannya
Pengagungan manusia pada posisi terhormat tidak lain karena dia diberi amanah sebagai khalifah untuk mengelola alam semesta ini.
Bekal untuk menjadi khalifah pun disuntikkan berupa akal sehat dan fisik yang sempurna. Allah menyediakan dua potensi itu sekaligus sebagai ujian untuk menjadi makhluk mulia dengan berbagai amal kebaikan, atau makhluk hina dengan penyimpangannya.
Allah menegaskan hal itu sebagaimana firman-Nya:
Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan Arasy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Jika engkau berkata (kepada penduduk Mekkah), “Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan setelah mati,” niscaya orang kafir itu akan berkata, “Ini hanyalah sihir yang nyata.” (QS. Hud: 7).
Al-Qur’an menjelaskan potensi penyimpangan manusia, ketika menentang perintah nabi dan rasul, dengan menolak hari kebangkitan. Penolakan terhadap hari kebangkitan itu menyebabkan tuduhan terhadap nabi atau rasul sebagai tukang sihir. Bahkan penolakan terhadap ajakan nabi dan rasul dengan dalih tidak adanya jaminan kesejahteraan hidup saat mengikuti ajarannya.
Allah menegaskan hal itu sebagaimana firman-Nya:
Maka boleh jadi engkau (Muhammad) hendak meninggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan dadamu sempit karenanya, karena mereka akan mengatakan, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya harta (kekayaan) atau datang bersamanya malaikat?” Sungguh, engkau hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah pemelihara segala sesuatu. (QS. Hud: 12).
Dalam pandangan Allah, kekayaan tidak menjadi orientasi dan tujuan hidup tetapi hanya sebagai sarana mencapai tujuan. Nabi dan rasul menunjukkan kepeloporannya menjauhi ketamakan menumpuk harta (dunia). Al-Qur’an menarasikan keikhlasan nabi dan rasul dalam berdakwah tanpa ada niat mengumpulkan kekayaan, sebagaimana firman-Nya:
Dan wahai kaumku! Aku tidak meminta harta kepada kamu sebagai imbalan atas seruanku. Imbalanku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang yang telah beriman. Sungguh, mereka akan bertemu dengan Tuhannya, dan sebaliknya aku memandangmu sebagai kaum yang bodoh. (QS. Hud: 29).
Sedemikian gigih penolakan terhadap ajakan para nabi dan rasul, sehingga menghilangkan potensi akal dan hatinya untuk mengakui dan meniti jalan kebenaran. Penolakan kebenaran inilah yang menjadikan manusia terjerumus ke dalam api kehancuran dan dibalas dengan neraka jahanam.
Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:
Dan sungguh, telah Kami ciptakan isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (QS. Al-A’raf: 179).
Hilangnya nalar sehat dan tertutupnya hati sehingga menutup mata terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Realitas ini membuat manusia menolak untuk menyembah hanya kepada Allah tanpa menyadari akan tertimpa kenistaan berupa azab di akhirat.
Di sinilah relevansi ajakan nabi dan rasul untuk mengenalkan kekuasaan Allah dan pentingnya manusia mengakui dan tergerak hatinya untuk mentauhidkan-Nya. Hal ini sebagaimana firman-Nya:
Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada Tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang dahsyat (Kiamat). (QS. Al-A’raf: 59).
Perlawanan terhadap nabi dan rasul ini berakar dari penolakan untuk mentauhidkan dan menyembah Allah semata. Bahkan pengusiran dan pembunuhan terhadap nabi dan rasul dikarenakan kegigihan penolakan untuk mentauhidkan Allah.
Para penolak kebenaran bersikukuh mempertahankan tradisi yang sudah turun temurun, hingga berani menolak menyembah hanya kepada Allah.
Surabaya, 21 April 2021
Dr. Slamet Muliono Redjosari
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya