Suaramuslim.net – Banyak manusia yang menolak keberadaan Allah sebagai Pencipta alam semesta ini. Allah sebagai Tuhan dipandang sebagai ilusi atau bayangan manusia yang tertindas di tengah kehidupan ini.
Mereka merasa dirinya muncul di dunia ini secara sunnatullah. Artinya mereka hidup di dunia muncul dengan sendirinya, tanpa ada campur tangan Tuhan.
Hal ini membuat mereka merefleksikan diri untuk tidak membutuhkan siapapun, termasuk butuh bantuan atau campur tangan Tuhan. Namun Allah menunjukkan bahwa tidak ada satu pun manusia yang bisa menolak kehadiran Tuhan.
Allah memberi bukti bahwa ketika situasi darurat atau terdesak, manusia memanggil-manggil Tuhan yang selama ini mereka ingkari. Ketakutan akan kematian membuat dirinya mengakui keberadaan Tuhan.
Ateis dan nalar anti Tuhan
Manusia sering kali menggunakan nalarnya justru terjerembab dalam kekerdilan. Mereka terkadang menentang keberadaan Tuhan untuk menunjukkan eksistensi dirinya sebagai manusia merdeka.
Kemerdekaan dirinya akan semakin kokoh bila menghilangkan eksistensi Tuhan. Menolak keberadaan Tuhan dipandang sebagai jalan untuk menunjukkan dirinya kuat.
Sementara bagi manusia yang selalu mengagungkan Tuhan bukan hanya dipandang sebagai manusia lemah, tetapi justru menunjukkan sebagai manusia kerdil yang tidak memiliki nalar sehat.
Akal yang mereka miliki bukan sebagai jalan untuk mendekatkan kepada Tuhan, tetapi justru menjauhkan dirinya dari eksistensi ketuhanan. Alih-alih mengakui kebesaran dan keagungan Tuhan, mereka justru mengkerdilkan dan menghilangkan eksistensi Tuhan di tengah kehidupan.
Cara berpikir kaum Ateis (menolak keberadaan Tuhan) bukan hanya menginginkan kebebasan dari syariat tetapi juga ingin membebaskan dirinya dari campur tangan Tuhan.
Namun Allah justru menunjukkan cara yang bisa dinalar oleh siapapun ketika menampilkan realitas yang sering dihadapi manusia.
Allah menampilkan sebuah narasi tentang kebutuhan manusia terhadap campur tangan Tuhan. Dalam situasi terdesak dan takut, manusia menghadirkan dan memanggil-manggil Tuhan.
Allah mengilustrasikan betapa kecil diri manusia di saat menghadapi goncangan dahsyat, ketika berada di tengah laut. Pada saat itu, manusia merasa dirinya terancam dan hilang nyawanya karena ombak yang begitu besar.
Pada saat itu, nalar yang selama ini dipandang sebagai kompas dalam memandu kehidupan, tidak lagi mampu dan tenggelam di hadapan ombak besar.
Allah mengilustrasikan situasi mencekam itu telah menghilangkan fungsi nalar, dan memunculkan jiwa ketuhanan. Berikut firman Allah menggambarkan situasi ini sebagaimana ayat-Nya:
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (dan berlayar) di lautan. Sehingga ketika kamu berada di dalam kapal, dan meluncurlah (kapal) itu membawa mereka (orang-orang yang ada di dalamnya) dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya; tiba-tiba datanglah badai dan gelombang menimpanya dari segenap penjuru, dan mereka mengira telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa dengan tulus ikhlas kepada Allah semata. (Seraya berkata), “Sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari (bahaya) ini, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Yunus: 22).
Pengakuan eksistensi Tuhan
Di saat situasi aman dan menikmati kenyamanan dalam kapal, manusia tidak pernah merasakan campur tangan Tuhan. Saat itu, manusia tidak sadar akan peran Allah dalam mengendalikan angin dan ombak di tengah laut.
Manusia baru menyadari bahwa dirinya lemah dan butuh ketenangan ketika datang gelombang ombak yang tidak mampu dikendalikannya. Pada saat terkepung bahaya besar itulah manusia memanggil-manggil sang Penguasa (Allah) yang selama ini diingkarinya.
Nyawa yang sudah diambang lenyap, secara spontan harus diselamatkan. Nalarnya sudah tidak mampu untuk menyelematkan diri dari kepungan gelombang ombak. Pada saat itulah manusia berdoa.
Bukan hanya berdoa, dalam situasi terjepit ini manusia juga mengobral janji. Mereka mengobral janji akan mengakui eksistensi Tuhan dan akan menjadi hamba yang tunduk dan patuh terhadap hukum Tuhan.
Allah menunjukkan watak keras kepala dan hilangnya nalar balas budi terhadap Dzat yang telah menyelamatkan jiwanya. Alih-alih mematuhi hukum Tuhan, mereka justru melakukan pengingkaran terhadap apa yang telah mereka panggil-panggil.
Dzat yang baru saja mereka panggil, justru dihempaskan dengan menciptakan kemaksiatan baru. Allah menggambarkan hal itu sebagaimana firman-Nya:
“Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka, malah mereka berbuat kezaliman di bumi tanpa (alasan) yang benar. Wahai manusia! Sesungguhnya kezaliman kamu bahayanya akan menimpa dirimu sendiri; itu hanya kenikmatan hidup duniawi, selanjutnya kepada Kami-lah kembalimu, kelak akan Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Yunus: 23).
Begitu diselamatkan dari bahaya, manusia Ateis itu bukan hanya melupakan kontribusi Tuhan, tetapi justru melakukan kezaliman baru.
Begitu sampai di daratan, mereka berpesta merayakan terbebasnya mereka dari bahaya gelombang ombak itu. Mereka berpesta minum-minuman keras sebagai tanda syukur atas kemampuan nalarnya sehingga bisa terbebas dati kematian.
Tuhan yang tadinya dipanggil-panggil bukan hanya dilupakan tetapi dihilangkan dari dirinya. Bahkan mereka sudah melupakan janji-janjinya untuk bersyukur dan berjanji akan berbuat baik.
Ketika kapal hampir tergulung ombak besar, mereka begitu dekat dengan Tuhan. Mereka sangat bersungguh-sungguh meminta pertolongan-Nya. Tuhan telah hadir di saat nyawanya terancam.
Di sini menunjukkan bahwa tidak ada manusia yang benar-benar Ateis. Manusia dalam hati kecilnya tidak bisa menolak terhadap jiwa ketuhanan, namun hal itu tertutupi nalar yang diliputi oleh kesombongan dan lupa diri.
Surabaya, 1 Oktober 2021