Suaramuslim.net – Jangan lupakan tanggal 3 April! Itulah tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Pada 3 April 1950, Mohammad Natsir, ketua Fraksi Partai Masyumi mengajukan ”Mosi Integral” di Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat).
Peristiwa itu dikenal sebagai pengajuan ”Mosi Integral Natsir” yang memungkinkan bersatunya Negara-Negara Bagian RIS ke dalam NKRI.
Mosi Integral Natsir pada 3 April 1950 itulah yang kemudian mengantarkan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bung Hatta menyebutkan, bahwa Proklamasi Kedua secara resmi diumumkan pada 17 Agustus 1950. Proklamasi pertama, tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan Mosi Integral Natsir itu, maka bubarlah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan hasil konferensi Inter Indonesia – antara delegasi Republik Indonesia dan delegasi BFO – di Yogyakarta 19-22 Juli 1949.
Pembentukan BFO adalah upaya Belanda untuk ”mengepung” Republik Indonesia. Negara-negara BFO adalah:
Negara Dayak Besar, Negara Indonesia Timur, Negara Borneo Tenggara, Negara Borneo Timur, Negara Borneo Barat, Negara Bengkulu, Negara Biliton, Negara Riau, Negara Sumatera Timur, Negara Banjar, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur, dan Negara Jawa Tengah.
Dengan demikian, Belanda berhasil menunjukkan, bahwa wilayah negara Republik Indonesia hanyalah di sebagian Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera.
Prof. Dr. Din Syamsuddin menyatakan, bahwa Mosi Integral Mohammad Natsir merupakan tonggak sejarah penting dan menentukan dalam sejarah kehidupan bangsa.
Mosi Integral itu menyatukan dan menyelamatkan Indonesia dari upaya perpecahan. Mosi itu juga merupakan bukti komitmen tokoh-tokoh Islam terhadap NKRI.
Ketua MPR-RI (2004-2009) Dr. Hidayat Nurwahid menyampaikan bahwa Fraksi PKS DPR-RI beberapa kali menggelar peringatan Mosi Integral Natsir tersebut.
Ia pun sudah ikut menandatangani usulan agar tanggal 3 April ditetapkan sebagai hari nasional, yaitu Hari NKRI.
Bung Hatta memang menyebut peringatan Proklamasi 17 Agustus 1950 merupakan Proklamasi Kedua.
”Bangsa dan Umat perlu diingatkan bahwa tanpa karunia Allah dan kenegarawanan M. Natsir dengan Mosi Integralnya itu, mungkin RIS (Republik Indonesia Serikat) akan berlanjut, dan kita tidak mengenal lagi NKRI yang sudah ”dikubur” oleh kolonialis Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949,” tulis Hidayat Nurwahid dalam pengantarnya untuk buku karya Ahmad Murjoko.
Dr. Hidayat mengajak kaum muslim Indonesia tidak terpengaruh paham sekulerisme, Islamofobia, dan juga Indonesia-fobia.
Paham Sekulerisme menganggap bahwa keberadaan Islam di Indonesia dianggap sebagai biang masalah dan tidak ada jasanya bagi bangsa Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia-fobia menganggap Indonesia sebagai negara kafir yang tidak ada kaitannya dengan Islam dan para ulama.
Itulah pentingnya memahami dan mengingat peristiwa Mosi Integral Natsir, pada 3 April 1950.
Pemerintah RI pun telah mengakui jasa besar Mohammad Natsir untuk bangsa Indonesia. Pada tahun 2008, Mohammad Natsir, pendiri dan Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang pertama, mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.
Salah satu jasa besarnya adalah mengembalikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
***
Perjuangan Mohammad Natsir dalam menyelamatkan NKRI memang sangat fenomenal.
Natsir bukan hanya merumuskan gagasannya dengan cerdas, tetapi juga berhasil meyakinkan para tokoh Indonesia ketika itu yang berasal dari seluruh faksi dan aliran ideologis. Natsir memerlukan waktu dua setengah bulan untuk melakukan lobi.
Keberhasilan Mohammad Natsir dalam menggolkan ”Mosi Integral” itu menunjukkan kepiawaiannya dalam berpolitik.
Ia memiliki integritas pribadi yang tinggi, ilmu yang luas, kemampuan komunikasi yang piawai, dan juga lobi. Dan tentu saja, Mohammad Natsir telah diberikan hikmah oleh Allah, sehingga bisa mengambil langkah yang tepat.
Kepada Majalah Tempo (edisi 2 Desember 1989), Natsir menceritakan kisah perjuangan Mosi Integral tersebut:
Meskipun Yogya menjadi negara bagian, sesudah KMB, kita bertekad mengembalikan RI seperti semula. Saya bicara dengan fraksi-fraksi. Dengan Kasimo dari Partai Katolik, dengan Tambunan dari Partai Kristen, dengan PKI, dan sebagainya.
Dari situ saya mendapat kesimpulan: mereka itu, negara-negara bagian itu, semuanya mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya, asal jangan disuruh bubar sendiri.
Dua bulan setengah saya melakukan lobbi. Tidak mudah, lebih- lebih dengan negara-negara bagian di luar Jawa. Umpamanya negara bagian di Sumatra dan Madura.
Setelah selesai semua, lantas saya adakan “mosi integral” yang kabur-kabur. Ha-ha-ha… kabur, sebab kita menghadapi Belanda. Jangan sampai nanti Belanda bikin kacau lagi. Belanda tidak boleh tahu ke mana perginya rencana itu.
Sesudah itu saya perlu datang ke Yogya. Tapi Yogya tidak mau membubarkan diri. Lantas saya katakan: Kita punya program menyatukan kembali semuanya, jadi kita bayar ini dengan sama-sama membubarkan diri.
Walaupun beberapa pemimpin sudah setuju, masyarakatnya belum mau, karena harga dirinya tersinggung. Sampai pukul 3 dini hari kami membicarakan soal itu dengan jurnalis-jurnalis, orang-orang penting, dan pemimpin-pemimpin di Yogya.”
***
Bung Karno mengakui kehebatan perjuangan Mohammad Natsir dengan Mosi Integralnya. Setelah “Mosi Integral” berhasil, Natsir dipercaya Presiden Soekarno untuk menjadi Perdana Menteri.
Wartawan Harian Merdeka Asa Bafagih bertanya kepada Soekarno tentang siapa yang akan jadi perdana menteri setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan, maka Soekarno menjawab, “Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi, mereka punya konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi.”
Kepahlawanan Mohammad Natsir dengan Mosi Integralnya, melanjutkan tradisi para tokoh Islam dalam menjaga dan mengokohkan NKRI.
Kini, setelah 75 tahun merdeka, tidak sedikit pihak yang mengkhawatirkan kondisi persatuan kita, sebagai satu bangsa.
Aneka konflik horisontal mulai bermunculan. Era disrupsi semakin mempercepat penyebaran berita-berita yang memudarkan kohesivitas sosial kita.
Dalam situasi seperti ini, bangsa Indonesia memerlukan tokoh-tokoh integratif dan solutif, seperti Soekarno-Hatta, HOS Tjokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikoesoemo, Syafruddin Prawiranegara, Kasman Singodimedjo, Panglima Besar Soedirman, Mohammad Natsir, dan sebagainya. Semoga Allah SWT menyelamatkan dan menjayakan negeri kita. Aamiin.