Menguak kinerja industri penyelenggara haji dan umrah sebelum UU No. 14 Tahun 2025

Suaramuslim.net – Industri penyelenggaraan ibadah haji dan umrah (PIHK dan PPIU) merupakan salah satu sektor industri keagamaan yang paling dinamis sekaligus paling sensitif di Indonesia. Setiap tahun, ratusan ribu hingga jutaan jamaah berangkat ke Tanah Suci, bukan hanya sebagai ekspresi spiritual, tetapi juga sebagai manifestasi kepercayaan publik terhadap tata kelola dan pelayanan negara.

Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, kerangka hukum yang berlaku adalah UU No. 8 Tahun 2019. Regulasi tersebut memberikan dasar bagi pengawasan, akreditasi, dan pemberian izin bagi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).

Tantangan yang menghadang

Dalam praktiknya di lapangan, berbagai tantangan terus mencuat, mulai dari disparitas mutu layanan, lemahnya sistem pengawasan, hingga rendahnya literasi jamaah dalam memilih penyelenggara.

Secara empiris, jumlah PPIU berizin hingga 2024 mencapai 906 lembaga, dengan sebaran terbesar di Pulau Jawa (52 persen), Sumatra (23 persen), dan sisanya tersebar di Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur (Kemenag, 2024).

Pertumbuhan ini beriringan dengan peningkatan jumlah jamaah umrah yang cukup signifikan: 1,01 juta pada 2022, naik menjadi 1,47 juta pada 2024, dan diproyeksikan melampaui 1,6 juta jamaah pada 2025 (Andriyos, 2024).

Lonjakan tersebut memperlihatkan betapa besar minat masyarakat Muslim Indonesia untuk melaksanakan ibadah umrah pascapandemi.

Namun di balik angka pertumbuhan itu, tersimpan sejumlah persoalan serius. Kasus penipuan (fraud) yang melibatkan biro perjalanan seperti First Travel (2017) dan Abu Tours (2018) telah menimbulkan kerugian publik lebih dari Rp3 triliun (Setiawan & Soewarno, 2024). Bahkan menjelang 2025, masih muncul modus serupa dalam skala lebih kecil yang menandakan lemahnya sistem pengawasan dan mekanisme perlindungan jamaah.

Berdasarkan analisis teori fraud triangle (Cressey, 1953), akar masalah tersebut dapat dilacak pada tiga faktor: tekanan (financial pressure), kesempatan (weak control), dan rasionalisasi (justifikasi moral yang keliru).

Kelemahan sistemik itu juga tampak pada aspek pelayanan. Hasil Indeks Kepuasan Jamaah Haji Indonesia (IKJHI) 2025 menunjukkan skor rata-rata 88,46. Kategorinya sesungguhnya sudah baik, namun belum menyentuh level optimal (BPS, 2025).

Tantangan lainnya adalah belum meratanya digitalisasi layanan, padahal tren global menuju smart pilgrimage system sudah diterapkan di negara seperti Malaysia dan Turki.

Faktor kesenjangan juga terjadi. Hal ini tampak dari segi geografis dan kapasitas organisasi. Banyak PPIU di luar Jawa yang menghadapi keterbatasan sumber daya manusia, akses sistem pelaporan digital, serta dukungan infrastruktur bandara embarkasi.

Peluang pasca UU 14/2025

Lahirnya UU No. 14 Tahun 2025 yang di dalamnya antara lain mengatur pembentukan Kementerian Haji dan Umrah, menjadikan momentum perbaikan industri ini kian krusial. Regulasi baru diharapkan tidak sekadar mengganti nomenklatur, tetapi juga menata ulang ekosistem penyelenggaraan secara menyeluruh.

Pengawasan berbasis digital audit system, dan sertifikasi integritas penyelenggara perlu menjadi agenda utama. Dalam konteks maqāṣid al-sharī‘ah, reformasi ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga keadilan (‘adl), kemaslahatan (maṣlaḥah), dan perlindungan terhadap jamaah (ḥifẓ al-nafs wa al-māl).

Bagi industri (PPIU dan PIHK), adaptasi terhadap perubahan regulasi menjadi keniscayaan. Konsep Good Hajj and Umrah Governance (GHUG) perlu diimplementasikan melalui model layanan terpadu: menggabungkan dimensi spiritual dengan pengalaman digital yang aman, transparan, dan personal.

Aliansi bisnis syariah lintas penyelenggara bisa menjadi solusi untuk efisiensi pembiayaan dan memperluas akses layanan.

Sementara itu, asosiasi seperti AMPHURI, diharapkan memperkuat fungsi riset dan kajian yang relevan dan kontekstual, berkolaborasi dengan berbagai lembaga riset kredibel, dari perguruan tinggi atau BRIN, terutama untuk mengembangkan fraud early warning system yang berbasis data nasional.

Sebab keberhasilan reformasi industri haji dan umrah tidak hanya ditentukan oleh besarnya kuota atau jumlah jamaah yang diberangkatkan, tetapi oleh sejauh mana setiap penyelenggara dan regulator mampu menjunjung nilai amanah, profesionalisme, dan pelayanan yang memuliakan tamu Allah.

Di tengah hiruk-pikuk respons terhadap UU baru, bidang penelitian dan pengembangan (Litbang) insyaallah akan menempatkan diri sebagai kekuatan kontributif—bukan sekadar pengamat yang aktif, tetapi mitra strategis dalam merancang masa depan industri haji dan umrah Indonesia yang berdaya saing global dan berkarakter Islami.

Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP Amphruri

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.