Suaramuslim.net – Islam adalah agama yang tidak memisahkan antara urusan dunia dan akhirat. Semuanya telah diatur. Termasuk dalam urusan jual beli. Berikut ini uraian tentang bagaimana Islam mengatur jual-beli.
Jual beli adalah hal yang tak terlepas dari kehidupan manusia sebagai mahluk sosial. Sebagai makhluk sosial yang memiliki tujuan ingin mencapai apa yang dibutuhkannya, manusia tentu membutuhkan orang lain untuk bisa saling memenuhi kebutuhan. Hal ini mengakibatkan adanya transaksi ekonomi yang dalam hal ini disebut dengan jual beli. Ada penjual dan pembeli adalah hal yang pasti dalam konteks sosial ekonomi.
Secara terminiologi, jual beli memiliki arti transaksi tukar menukar barang atau uang yang berakibat pada beralihnya hak milik barang atau uang. Prosesnya dilaksanakan dengan akad, baik secara perbuatan maupun ucapan lisan. Hal ini dijelaskan dalam kitab Tauhidul Ahkam atau Kitab Hukum Tauhid, 4-211.
Adapun dalam Fiqih Sunnah, jual beli sendiri adalah tukar menukar harta (apapun bentuknya) yang dilakukan mau sama mau atau sukarela atau proses mengalihkan hak milik harta pada orang lain dengan kompensasi atau imbalan tertentu. Menurut Fiqh Sunnah, hal ini boleh dilakukan asalkan masih dalam koridor syariat. Seperti harta dan barang yang dijual-belikan adalah halal, bukan benda haram, atau asalnya dari jalan yang haram.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, profesi apakah yang paling baik? Maka beliau menjawab, bahwa profesi terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa melanggar batasan-batasan syariat. (Hadis shahih dengan banyaknya riwayat, diriwayatkan Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10; dinukil dari Taudhihul Ahkam 4/218-219).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserah-terimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserah-terimakan/secara kontan.” (HR. Muslim: 2970).
Syarat Jual Beli dalam Islam
Dirangkum dari kitab Taudhihul Ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktik jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktik perniagaan yang menyimpang.
Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktik jual beli, baik penjual maupun pembeli. Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan. Allah ta’ala berfirman, “… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29).
Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktik jual beli, yakni dia adalah seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang), sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila atau orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92).
Hal ini merupakan salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya melindungi hak milik manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan transaksi mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga dirinya rentan dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya.
Kedua, yang berkaitan dengan barang yang diperjual-belikan. Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly).
Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah ridha pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642).
Objek jual beli dapat diserah-terimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan.
Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513).
Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya.” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567).
Demikian ulasan mengenai syarat-syarat jual beli dalam Islam.
Kontributor: Mufatihatul Islam
Editor: Muhammad Nashir