“Jika saya mati sudah tentu bukannya berarti PKI ikut mati bersama kematian saya. Tidak, sama sekali tidak. Walaupun PKI sekarang sedang rusak berkeping-keping, saya tetap yakin bahwa ini hanya bersifat sementara. Dan dalam proses sejarah nantinya, PKI akan tumbuh kembali, sebab PKI adalah anak zaman yang dilahirkan oleh zaman”.
Kutipan di atas, adalah pernyataan Sudisman – anggota Polit Biro PKI zaman DN Aidit yang diadili pada bulan Juli 1967 dan dijatuhi hukuman pidana mati – yang disampaikan pada nota pembelaan (pledoi) di sidang pengadilan pada tanggal 21 Juli 1967. Pernyataan demikian menegaskan, para anggota PKI sangat yakin bahwa komunisme tidak akan mati dari muka bumi ini, meskipun para pengikutnya telah dieksekusi mati oleh negara. Bahkan, boleh jadi keyakinan semacam itu, juga dipegang teguh oleh keturunan anggota PKI di masa sekarang. Betulkah demikian?
Pertanyaan tersebut, perlu dikaji secara seksama, dan dikaitkan dengan pertanyaan lanjutan, “Apakah potensi bangkitnya ideologi komunisme di Indonesia, disebabkan oleh gagalnya para penyelenggara negara untuk mewujudkan prinsip-prinsip nilai yang terkandung dalam Pancasila, sehingga Pancasila tidak nampak “Sakti” guna mengubah “takdir” rakyat Indonesia untuk hidup adil, makmur dan sejahtera?
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Ketentuan tersebut merupakan pondasi normatif dari penyelenggaraan negara yang didasarkan atas hukum (government according to the law), tidak ada kekuasaan negara atau penguasa di Indonesia yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari hukum. Dengan demikian, hukum mempunyai kedudukan “supremasi” dan sebagai “panglima” dalam negara.
Pembicaraan kita tentu terkait dengan konteks negara hukum Indonesia, yaitu negara hukum Pancasila. Muhammad Tahir Azhary menyitir lima ciri negara hukum Pancasila : (1) Ada hubungan yang erat antara agama dan negara; (2) Bertumpu pada Ketuhanan yang Maha Esa; (3) Kebebasan agama dalam arti positif; (4) Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; dan ((5) Asas kekeluargaan dan kerukunan.
Nurul Qamar menjelaskan : dua hal yang perlu diperhatikan dalam Negara Hukum Pancasila, yakni: (1)Kebebasan beragama harus mengacu pada makna yang positif sehingga pengingkaran terhadap Tuhan Yang Maha Esa (ateisme) atau sikap memusuhi Tuhan Yang Maha Esa tidak dibenarkan; (2) Ada hubungan yang erat antara agama dan negara, karena itu baik secara absolut maupun secara longgar/nisbi Negara Republik Indonesia, tidak mengenal doktrin pemisahan antara agama dan negara.
Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila, tidak mengenal adanya pemisahan antara negara dengan agama. Tidak ada tempat bagi segala paham yang memisahkan antara agama dengan negara. Oleh karena itu, tidak ada tempat bagi komunisme hidup dan tumbuh di bumi pertiwi Indonesia yang kita cintai bersama.
Dalam sejarah, diketahui bahwa PKI telah beberap kali melakukan pemberontakan bahkan kudeta terhadap Pemerintahan yang sah, pada tahun 1948 di Madiun dan puncaknya pada tanggal 30 September tahun 1965 dengan menewaskan enam Jenderal dan satu brigader, yang kemudian dimasukkan ke lubang buaya.
Pasca peristiwa pemberontakan dan kudeta tersebut, dibentuk TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme (TAP MPRS XXV/1966).
Pasal 2 TAP MPRS XXV/1966 menegaskan , “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang.” Ketentuan larangan tersebut secara hukum berlaku dan mengikat baik bagi penyelenggara negara maupun bagi rakyat. Dengan demikian, segala tindakan yang berlandaskan pada ajaran komunisme/marxisme-leninisme tidak dapat dibenarkan di Indonesia, sehingga harus ditindak dan diberantas secara tegas, konsisten, dan konsekuen oleh aparatur penegak hukum yang berwenang.
Di samping TAP MPRS XXV/1966, terdapat Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (UU 27/1999), yang pada pokoknya mengatur mengenai sanksi pidana bagi setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia. Bahkan, dalam UU 27/1999 diatur pula mengenai sanksi pidana bagi setiap orang yang berupaya untuk mengubah atau mengganti Pancasila dengan ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme.Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam dengan pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun (vide : Pasal 107 d).
Selain bentuk ancaman pidana sebagaimana diuraikan di atas, upaya preventif atas bangkitnya PKI dan paham komunis di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol). Ketentuan Pasal 40 ayat (5) UU Parpol menentukan, “Partai politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme.”
Demikian pula dengan ketentuan Pasal 59 ayat (4) huruf c Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang menyatakan, “Ormas dilarang menganut, mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila”.
Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU Ormas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan “ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara lain, ajaran Ateisme, Komunisme/Marxisme-Leninisme atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Berlanjut ke Mencegah Bangkitnya Komunisme di Indonesia – Bagian 2