Suaramuslim.net – Warga Palestina sudah sekian lama terpenjara di rumah mereka sendiri. Baru-baru ini mereka semakin terpojok dengan pernyataan Donald Trump bahwa Yerusalem merupakan ibukota Israel. Bagaimana awal mula sang penjajah Israel mencaplok kawasan Palestina? Berikut uraiannya.
Profesor Ahmad Shalabi, sejarawan Mesir alumnus Cambridge University, dalam bukunya Tarikh Yahudi mengatakan bahwa semenjak bangsa Yahudi dihancur leburkan oleh bangsa Babilonia, dan bangsa Romawi, mereka hidup bercampur baur dengan bangsa-bangsa lain, utamanya bangsa Eropa. Pada abad ke 15, dimana mereka mengalami penyiksaan besar-besaran oleh umat Kristiani, bersamaan dengan diusirnya umat Muslim dari Spanyol, bangsa yahudi hidup dalam keterombang-ambingan tidak tahu arah.
Situasi ini bertambah dengan penyiksaan yang dialami oleh mereka pada zaman Nazi Jerman berkuasa. Banyak dari bangsa Yahudi hijrah besar-besaran ke Amerika dan beberapa di antara mereka masih ada yang menetap di daratan Eropa. Melihat keadaan bangsa Yahudi yang sedemikian rupa, cendekiawan Yahudi kelahiran Swiss, Theodor Herzl, dalam bukunya Der Judenstaat, memproklamirkan bahwa bangsa Yahudi harus kembali ke tanah asal mereka di tanah yang dijanjikan Tuhan.
Dalam kitab keluaran pasal 6 ayat 4 disebutkan bahwa Tuhan akan memberikan tanah Kana’an sebagai tempat tinggal mereka. Semangat itulah yang membuat mereka berbondong-bondong menginginkan Palestina sebagai tanah tempat tinggal mereka.
Tanah Palestina, dan seluruh wilayah Asia timur maupun beberapa daratan Eropa terutama wilayah Balkan masih berada dalam kekuasaan Turki Usmani. Bangsa Yahudi yang meminta bantuan kepada tentara Inggris untuk meminta sebagian tanah yahudi untuk tempat tinggal mereka ditolak mentah-mentah oleh Sultan Abdul Hamid II.
Tahun 1916 menandai empat abad sejak Palestina menjadi bagian dari Kekaisaran Turki Usmani Populasi Yahudi mewakili minoritas kecil, sekitar 3% dari seluruh penduduk, dengan kaum Muslim mewakili segmen terbesar dari populasi, dan Kristen yang kedua. Pada tahun 1901, pemerintahan pusat Turki Utsmani memberikan Yahudi hak yang sama dengan orang Arab untuk membeli tanah di Palestina dan persentase Yahudi dalam populasi berkembang menjadi 7% pada 1914. Pada saat yang sama, kalangan nasionalis Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Attaturk telah mengambil kekuasaan Kekaisaran tersebut.
Pada akhirnya, dengan bantuan Mustafa Kemal, seorang hypokrit Yahudi, kekuasaan Turki Usmani jatuh pada tahun 1924. Dengan jatuhnya kekuasaan Turki usmani pada 1924, bangsa Yahudi semakin mudah untuk kembali ke tanah jajahan mereka. bangsa Yahudi dengan dibantu oleh Inggris, mengadakan suatu deklarasi Balfour yang isinya antara lain berupa dukungan bagi tanah air Yahudi di Palestina.
Dukungan politik Inggris awal untuk peningkatan keberadaan Yahudi di wilayah Palestina berdasarkan pada perhitungan geopolitik. Dukungan ini sebenarnya dimulai pada awal 1840 dan dipimpin oleh Lord Palmerston. Pengaruh Perancis telah berkembang di Palestina dan sebagian besar Timur Tengah, seperti halnya pengaruh Rusia. Ini membuat Inggris tak memiliki lingkup pengaruh. Konsiderasi politik tersebut didukung oleh sentimen restorasi Yahudi ke Palestina di kalangan elit politik Inggris pertengahan abad ke-19.
Kantor Luar Negeri Inggris aktif mendorong emigrasi Yahudi ke Palestina, contohnya pernyataan Charles Henry Churchill pada tahun 1841–1842 kepada Moses Montefiore, pemimpin komunitas Yahudi Britania.
Yahudi Mulai Menduduki Palestina
Sejak dikumandangkannya deklarasi tersebut, bangsa Yahudi mulai menduduki tanah palestina. Kali ini, dengan bantuan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), didukung oleh Amerika Serikat sebagai Negara adidaya dan adikuasa, bangsa Yahudi terus melakukan pembombardiran terhadap wilayah Palestina yang sebagian besar dihuni oleh kaum Muslimin. Terhitung 71 tahun bangsa Palestina dibombaridr oleh bangsa Yahudi. Tidak hanya dibombardir, wilayah mereka sedikit demi sedikit dicaplok.
Perdamaian demi perdamaian yang diajukan oleh bangsa Muslim terhadap Palestina belum juga usai. Kehebatan bangsa yahudi mengendalikan Amerika dan PBB dengan suatu “proxy” sebagaimana ungkapan perdana menteri Malaysia Dato DR. Mahathir Mohammad itulah yang membuat kaum Muslimin yang tinggal di wilayah Palestina semakin hari semakin merana. Sebagaimana dikutip dari buku Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen-Islam.
Presiden Donald Trump pada hari Rabu 06/12/2017, sebagaimana dilansir hidayatullah. com mengumumkan pernyataannya secara resmi di Ruang Diplomatik Gedung Putih, Washington.
“Hari ini, AS akhirnya mengakui sebuah hal, yakni Yerusalem jelas adalah ibu kota Israel. Ini jelas merupakan sebuah pengakuan yang berdasarkan kenyataan. Pengakuan ini juga merupakan hal yang tepat untuk disampaikan,” katanya dikutip CNN.
Hal ini tidak hanya merusak prospek perdamaian kedua negara tersebut, tetapi juga berpotensi memperpanjang tragedi kemanusiaan yang selama ini terjadi dan menimbulkan konflik baru di Yerusalem (Al-Quds) dan Palestina,” ujar Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman pada Minggu 10/12/2017, seperti dilansir kompas.com.
Sohibul menambahkan, bagi umat Islam, Yerusalem adalah kota suci. Oleh karena itu, pernyataan Trump dianggap bentuk penistaan sekaligus provokasi terhadap umat Islam seluruh dunia.
Jelaslah bahwa dukungan Amerika Serikat terhadap bangsa Yahudi demi meraih tanah yang dijanjikan semakin menuai hasil. Pertanyaan yang harus dijawab adalah, bagaimanakan sikap kita terhadap umat Muslim Palestina, yang sejak dahulu menetap di sana?
Kontributor: Abby Fadhilah Yahya
Editor: Muhammad Nashir