Amandemen UUD 1945 Mengubur Jiwa Keindonesiaan

Amandemen UUD 1945 Mengubur Jiwa Keindonesiaan

Negara Didirikan Bukan Atas Dasar Perseorangan

Suaramuslim.net – Amandemen UUD 1945 ternyata bukan hanya menambah dan mengurangi pasal demi pasal pada UUD 1945. Tapi lebih jauh telah menghilangkan Pancasila sebagai “meja statis” dan “leitstar dinamis”.

Mari kita ikuti cuplikan “Kursus Pancasila Bung Karno di Istana Negara” tanggal 16 Juni 1958 berikut ini.

“…Nah, ini yang menjadi pertimbangan dari pemimpin-pemimpin kita dalam tahun 1945, dan sebagai tadi saya katakan, sesudah bicara-bicara, akhirnya pada satu hari saya mengusulkan Pancasila. Pancasila itu diterima masuk dalam Djakarta Charter, masuk dalam sidang pertama sesudah proklamasi. Jadi kalau saudara ingin mengerti Pancasila, lebih dulu harus mengerti ini: meja statis, leitstar dinamis.

Kecuali itu kita sekarang lantas masuk kepada persoalan elemen-elemen apa yang harus dimasukkan di dalam meja statis atau leitstar dinamis ini. Kenapa Pancasila? Mungkin Dasasila, atau Catursila, atau Trisila atau Saptasila.

Kenapa justru lima ini? Bukan kok lima jumlahnya, tetapi justru Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial. Kenapa tidak tambah lagi, atau dikurangi lagi beberapa. Kenapa justru kok lima macam ini?

Saudara-saudara, jawabannya ialah, kalau kita mencari satu dasar yang statis yang dapat mengumpulkan semua, dan jika kita mencari suatu leitstar dinamis yang dapat menjadi arah perjalanan, kita harus menggali sedalam-dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita sendiri.

Sudah jelas kalau kita mau mencari satu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu harus terdiri daripada elemen-elemen yang ada pada jiwa Indonesia. Kalau kita mau masukkan elemen-elemen yang tidak ada dalam jiwa Indonesia, tak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di atasnya.

Misalnya kalau kita ambil elemen-elemen dari alam pikiran Eropa atau alam pikiran Afrika. Itu adalah elemen asing bagi kita, yang tidak “in concordantie” dengan jiwa kita sendiri, tak akan bisa menjadi dasar yang sehat, apalagi dasar yang harus mempersatukan.

Demikian pula elemen-elemen untuk dijadikan leitstar dinamis harus elemen-elemen yang betul-betul menghikmati jiwa kita. Yang betul-betul, bahasa Inggrisnya “appeal” kepada jiwa kita.

Kalau kita kasih leitstar yang tidak “appeal” kepada jiwa kita, oleh karena pada hakekatnya tidak berakar kepada jiwa kita sendiri, ya tidak bisa menjadi leitstar dinamis yang menarik kepada kita…”

Para pembaca, dari cuplikan kuliah Bung Karno tadi kita bisa memahami ternyata Pancasila bukan hanya sekadar dasar negara lebih jauh lagi Pancasila adalah alat untuk menyatukan bangsa Indonesia.

Pancasila adalah jiwa masyarakat yang sedalam-dalamnya, jiwa Indonesia.

Oleh sebab itu Pancasila jelas bukan beraliran Individualisme. Jiwa Indonesia bukan Liberalisme dan Kapitalisme.

Rupanya para pengamandemen UUD 1945 tidak memahami dasar negara, tidak memahami Pancasila sebagai “Meja Statis” dan “Leitstar Dinamis”. Sehingga dengan sengaja mencangkokan pikiran Barat Individualisme dan Liberalisme serta Kapitalisme di dalam UUD 2002 hasil amandemen.

Ini adalah penghancuran jati diri bangsa Indonesia dengan cara mencangkokan pikiran Barat pada Pancasila.

Jiwa Indonesia adalah jiwa Pancasila. Jiwa Pancasila bukan pertarungan banyak-banyakan suara, kalah menang, kuat-kuatan Pilkada, Pilpres dan Pileg.

Jiwa Pancasila adalah jiwa Indonesia, jiwa gotong royong, jiwa tolong menolong, jiwa kebersamaan. “Onok rembuk yo dirembuk” musyawarah mufakat, berat sama diangkat ringan sama dijinjing.

Sejak Amandemen UUD 1945 jiwa keindonesiaan kita telah dikubur, telah terjadi kepalsuan-kepalsuan.

Pencitraan adalah baju asing dan bukan jiwa Indonesia. Presidensil adalah baju asing yang berbasis Individualisme, bukan gotong royong. Jiwa Indonesia adalah sistem sendiri yang disebut sistem MPR.

Untuk menyelamatkan negara bangsa ini tidak ada jalan lain selain kita mengembalikan “Meja Statis” dan “Leitstar dinamis” yang sudah menjadi kesepakatan pendiri negeri yaitu Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi serta dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Penulis: Prihandoyo Kuswanto*
Editor: Muhammad Nashir

*Ketua Rumah Pancasila
*Ditulis di Wiyung Surabaya 03 Mei 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment