Anna Karenina dan Keluarga Indonesia

Anna Karenina dan Keluarga Indonesia

Anna Karenina dan Keluarga Indonesia

Suaramuslim.net – “Mungkin aku telah berbuat salah,” tambah Karenin.

“Tidak,” kata Anna pelan dengan kesedihan dalam wajah dinginnya. “Kau tidak berbuat salah. Aku sedang mendengarkanmu, tapi aku juga sedang memikirkannya. Aku mencintainya dan aku adalah isteri simpanannya. Aku membencimu, aku takut padamu… kau bisa melakukan apa pun yang kau sukai terhadapku.”

Saat Anna mengatakan kepada suaminya bahwa ia mencintai Vronsky, kata-kata itu menghujam langsung ke hati Karenin.

Itulah sepenggal kisah prahara rumah tangga Anna dengan sang suami, Karenin dalam novel Anna Karenina (1877), yang dirangkai oleh novelis ternama Rusia, Lev Nikolayevich Tolstoy atau yang lebih dikenal dengan Leo Tolstoy (1828-1910).[1] Leo Tolstoy mengisahkan prahara rumah tangga Anna dengan sang suami, Karenin. Kehadiran Pria Idaman Lain (PIL), Vronsky, pemuda tampan nan gagah rupawan, merontokkan iman Anna.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tak putus-putus tragedi menghantui Anna sejak perkenalannya dengan Vronsky. Putus tali tempat bergantung, runtuh pula bumi tempat berpijak. Akibat perselingkuhannya, Anna terusir dari rumah, terpisah dari Seriozha putranya, dan kepada Annie, putri hasil zina dengan Vronsky, ia tak cinta sebagaimana cintanya kepada Seriozha. Batinnya merintih. Bertambah hari Anna semakin gelisah, sedih, kalut, depresi, hingga akhirnya bunuh diri.

Inilah potret bahtera rumah tangga yang dilamun badai perselingkuhan pada era Leo Tolstoy, 141 tahun yang lalu. Uniknya, sang suami, Karenin, meskipun hatinya remuk-redam dikhianati istri tercinta, ia enggan menceraikannya. Sebagai orang terpandang, menceraikan istri ibarat menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Istri selingkuh, artinya suami memiliki kekurangan serta tidak cukup cakap menjaga keutuhan keluarga.

Di sisi lain, Anna tidak meminta cerai dari suaminya lantaran memikirkan hak asuh anak dan kehormatannya sendiri. Jika cerai, apalagi ia pihak bersalah, hak asuh anak tentu sepenuhnya milik suaminya. Disamping itu ia harus menanggung malu dicemooh orang sebagai pelaku serong. Oblonsky, adik Anna, tidak berhasil mengusahakan perceraian kakaknya walau segala rupa rancangan hidup pasca cerai telah ia bentangkan. Ternyata bercerai tidak mudah! Hingga kematiannya yang mengenaskan, Anna masih berstatus istri sah Karenin.

Dulu atau sekarang, di Rusia atau di Indonesia, sama saja. Perceraian selalu tidak mudah. Ia momok menakutkan bagi pribadi sekaligus memalukan secara sosial. Tidak ada pasangan yang menikah lalu senang mengkhayalkan perceraian. Namun jika keadaan memaksa, setelah semua jalan buntu, setelah semua perundingan kandas, apa boleh buat, hantu perceraian itu datang juga.

Bulu roma kita bergidik menyaksikan angka-angka perceraian di negeri Muslim terbesar ini. Dari tahun 2015-2017 tren perkara putusan perceraian di Pengadilan Agama seluruh Indonesia mengalami peningkatan. Tahun 2015 tercatat sebanyak 394.246 perkara (cerai talak 113.068 dan cerai gugat 281.178 perkara) dan yang diputus sebesar 353.843 perkara (cerai talak 99.981 dan cerai gugat 253.862 perkara).

Tahun 2016 sebesar 403.070 perkara (cerai talak 113.968 dan cerai gugat 289.102 perkara) dan yang diputus sebanyak 365.654 perkara (cerai talak 101.928 dan cerai gugat 263.726 perkara). Data terbaru tahun 2017 menunjukkan total perceraian sebesar 415.848 perkara dengan rincian cerai talak 113.987 dan cerai gugat sebesar 301.861. Perkara yang diputus sebanyak 374.516 perkara (cerai talak sebesar 100.745 dan cerai gugat sebesar 273.771).

Usia pasangan bercerai rata-rata di bawah 35 tahun. Usia perkawinan mereka masih seumur jagung. Pasangan muda ini biasanya baru memiliki satu anak atau bahkan baru anak dalam kandungan.

Mendidik Generasi Dewasa

Di antara penyebab tingginya angka perceraian ialah rendahnya tingkat kedewasaan pasangan suami-istri. Bagaimana mungkin suami/istri disebut belum cukup dewasa? Bukankah mereka menikah sebab dianggap telah cukup dewasa?

Rupanya memang, masyarakat kita memiliki dua definisi dewasa. Dewasa pertama adalah dewasa fisik. Dewasa kedua adalah dewasa jiwa , akal, dan pikiran. Sudah lumrah, manusia dewasa fisik belum tentu dewasa jiwa. Kita tahu itu dan sepertinya kita memakluminya. Tua adalah keniscayaan sedang dewasa adalah pilihan. Itu jargon kita dan justru di sinilah masalahnya.

Jika seorang anak laki-laki telah bermimpi dan seorang anak perempuan telah haid, maka mereka telah dewasa fisik. Mereka telah baligh, mukallaf. Mereka wajib menjalankan syariat. Saat itu pahala dan dosa telah dicatat. Perbuatan baik seorang anak berusia 16 tahun, jika telah mukallaf, akan dicatat sama dengan pahala orang dewasa berusia 50 tahun. Begitu pula sebaliknya. Namun sayang, orang dewasa fisik ini tidak memiliki bekal pendidikan yang cukup sebagai orang dewasa jiwa.

Hal ini juga dialami di dunia Barat. Prof Caroll Quigley, guru besar Georgetown University, USA, dalam bukunya Tragedy and Hope mengakui, walaupun peradaban Barat telah mencapai kesuksesan dalam berbagai bidang, tetapi mereka belum mampu mendidik anak-anak mereka menjadi orang tua yang matang (mature) dan bertanggung jawab. Katanya, “Some things we clearly do not yet know, including the most important of all, which is how to bring up children to form them into mature, responsible adults…”

Sepanjang hidupnya hingga baligh, anak-anak dididik sebagai anak-anak dan tidak cukup dipersiapkan sebagai orang dewasa yang siap berumah tangga. Mereka bahkan dipaksa tetap menjadi anak-anak walaupun telah baligh. Pendidikan yang mereka peroleh di sekolah tidak cukup sebagai bekal mengarungi bahtera rumah tangga. Tidak ada kurikulum yang bertujuan membentuk laki-laki yang cukup tangguh menjadi suami. Demikian sebaliknya, tidak ada kurikulum yang bertujuan membentuk wanita yang cukup cakap menjadi istri. Mulai TK hingga perguruan tinggi, bahkan hingga doktor sekali pun, tidak ada kurikulum menjadi suami dan istri yang baik. Padahal, kita semua percaya, apapun profesi kita, betapa pun tinggi/rendahnya status sosial kita di masyarakat, ujung-ujungnya kita akan kembali ke keluarga.

Bagaimana mungkin hal mendasar dalam kehidupan kita lalaikan begitu saja? Lalu kita meratap-meraung mempelototi grafik perceraian yang semakin menanjak dari tahun ke tahun?

Kita bersyukur pemerintah berinisiatif menyelenggarakan pendidikan pra-nikah. Kelompok-kelompok majelis taklim pun melakukan hal serupa. Ahad 30 September 2018, bersama Dr Adian Husaini, INSISTS[2] menyelenggarakan seminar guru keluarga bertajuk Kiat Menjadi Guru Keluarga (Ebook download di sini). Seminar serupa juga diselenggarakan di Makassar pada tanggal 23 Desember 2018. Seminar ini menekankan pentingnya orang tua menjadi guru bagi anak-anaknya dan membentuk mereka menjadi generasi pejuang. Materi seminar antara lain Pendidikan Anak, Islamic Worldview, Konsep Ilmu dalam Islam, Tantangan Pemikiran Kontemporer, Fiqhud Da’wah, dan Sejarah Peradaban Islam. Pada tahun 2019, Pelatihan ini rencananya akan digelar di berbagai kota.

Kita berharap, sebelum atau segera sesudah menikah, suami dan istri berinisiatif mengikuti seminar-seminar yang secara khusus ditujukan membentuk keluarga sakinah, ma waddah, wa rahmah. Lebih dari itu, keluarga-keluarga baru juga diharapkan memiliki semangat juang melahirkan generasi pejuang, yaitu generasi yang menjadi obor penerang di tengah gelapnya zaman. Adapun bagi pemuda-pemudi yang belum menikah, mari mempersiapkan diri masing-masing sebaik mungkin. Semoga Allah ta’ala mempertemukan kita secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Depok, 3 Januari 2019

Penulis: Wahyudi Husain


[1] Lev Nikolayevich Tolstoy atau yang lebih dikenal dengan Leo Tolstoy (1828-1910) adalah penulis asal Rusia yang juga merupakan seorang filsuf, yan gmemiliki ketertarikan terhadap politik. Tolstoy dianggap sebagai master dari fiksi realistis dan merupakan novelis besar dunia. Karya-karyanya selalu mencerminkan kondisi sosial di masanya. Ia dikenal karena dua karyanya, War and Peace (1869) dan Anna Karenina (1877). Ia memulai kahlm. 215, Leo Tolstoy, Anna Karenina…)rirnya di bidang penulisan dengan trilogi novel semi otobiografi berjudul Childhood, Boyhood and Youth (1852-1856) dan Sevastopol Scketches (1855), yang merupakan pengalamannya sendiri saat Perang Crimea. Ia juga menulis novella berjudul Hadji Murad dan The Death of Ivan Ilych.

[2] Institute for the study of Islamic Thought and Civilizations, lembaga yang aktif dalam kajian pemikiran dan peradaban Islam. Lihat insists.id

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment