Antara Buta Sejarah dan Nir-Empati

Antara Buta Sejarah dan Nir-Empati

Antara Buta Sejarah dan Nir-Empati
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menyampaikan paparan dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/1/2020). (Foto: Jakarta Globe)

Suaramuslim.net – Publik Indonesia kembali dipertontonkan serial kebijakan kontroversial dari pemerintah. Kali ini episode kontroversial berasal dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait penerima dana hibah.

Kemendikbud meloloskan dua yayasan milik perusahaan raksasa sebagai penerima dana hibah dalam Program Organisasi Penggerak (POP). Dua yayasan ini bukan hanya tak pantas menerima dana itu, tetapi dianggap tak berempati dan tak berkeadilan terutama dalam situasi pandemi.

Hal ini memicu keluarnya ormas Muhammadiyah dan NU dari program ini. Dua ormas ini merasa bahwa dua yayasan, Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation tak seharusnya menerima dana hibah senilai 20 miliar pertahun. Dua yayasan ini seharusnya mengeluarkan dana, lewat CSR guna menghibahkan dirinya kepada bangsa, bukan justru mengambil manfaat dengan menerima dana hibah dari negara.

POP dan pelatihan guru  

Program Organisasi Penggerak (POP) yang digagas Kemendikbud berkomitmen untuk meningkatkan kualitas hasil belajar siswa di seluruh Indonesia. Untuk mencapai tujuan ini, dalam beberapa tahun ke depan Kemendikbud akan mendorong hadirnya ribuan sekolah penggerak yang mampu mendemonstrasikan kepemimpinan pembelajaran terutama dari kepala sekolah beserta guru di dalamnya. Sekolah-sekolah ini akan menjadi penggerak untuk meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.

Program yang positif ini menuai masalah ketika dua yayasan, yakni Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation, menerima dana hibah dari pemerintah. Sebagai lembaga yang berada di bawah perusahaan raksasa ini dipandang tak layak menerima hibah dana senilai 20 miliar.

Kiprah dua yayasan ini selain dinilai masih baru, karena tidak dikenal masyarakat secara luas. Terlebih lagi, mereka merupakan milik perusahaan raksasa. Publik menilai bahwa perusahaan raksasa itu seharusnya mengeluarkan dana secara mandiri untuk mendidik anak bangsa, tetapi justru mengambil dana dari pemerintah.

Terlebih lagi dana yang diterima dinilai sangat besar, dibanding dengan kontribusi mereka yang selama ini belum dikenal masyarakat. Masyarakat lebih mengenal NU dan Muhammadiyah yang terbuki memiliki akar sejarah perjuangan pada masyarakat Indonesia. Sebagai yayasan yang seharusnya bisa mengelola dan menyalurkan dana CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan raksasa, tetapi mereka justru mengambil dana yang berasal dari pemerintah.

Hal ini bukan hanya sarat ketidakadilan tetapi buta sejarah dan nir-empati. Dikatakan buta sejarah karena, mereka seolah tak tahu menahu sejarah pengabdian panjang Muhammadiyah dan NU dalam memberi kontribusi pada bidang pendidikan dan pengabdian pada masyarakat dan bangsa. Bahkan jaringan dua ormas Islam itu bukan hanya dikenal pada kelas menengah, tetapi juga mengakar di masyarakat yang paling bawah, pelosok, dan bahkan pinggiran.

Dikatakan nir-empati karena dua lembaga itu dipandang sebagai bagian dari perusahaan raksasa yang demikian rendah empatinya dengan mengambil dana yang seharusnya dikelola oleh lembaga yang mengakar dan menyejarah.

Menguji kredibilitas pemerintah

Kritik masyarakat terhadap keputusan Kemendikbud bukan hanya pada soal besaran dana yang cair, tetapi menyangkut rendahnya kredibilitas penerima dana dengan mengambil hak orang lain. Bahkan bisa dikatakan langkah dua lembaga milik perusahaan raksasa ini sangat mencederai rasa keadilan.

Publik pun mengkritik bahwa Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation yang lahir beberapa menit, dibanding masa pengabdian Muhammadiyah dan NU yang sangat panjang, sungguh kurang pantas mengambil hak sebagai penerima hibah dana itu. Ini sebuah ironi karena tak mengerti masa lalu.

Bahkan pihak legislatif pun mempertanyakan perihal dana hibah 20 M yang dianggap salah sasaran. Dia menyatakan hal ini kurang pantas, dan tak pada tempatnya menerima dana itu, sehingga berbuntut dua ormas besar itu memilih keluar dari program ini. Bentuk protes adanya ketidakadilan dari kebijakan ini.

Publik pun pantas untuk mempertanyakan dua yayasan milik dua perusahaan raksasa. Logikanya sebagai CSR, dua yayasan dari perusahaan tersebut bisa memberi contoh yang baik kepada masyarakat dalam membantu negara dalam situasi krisis ini. Bukan justru memanfaatkan situasi dengan ikut menghabiskan dana hibah.  

Ketika Muhammadiyah dan NU keluar dari program Pendidikan Merdeka, dan otomatis akan kehilangan kesempatan memperoleh dana hibah 20 M, namun idealisme mereka patut diacungi jempol. Hal ini dikarenakan mereka memiliki empati dan sejarah panjang dalam mengelola lembaga pendidikan. Sementara Tanoto Fondation dan Sampoerna Foundation sungguh nir-empati dan tutup mata dan tutup telinga terhadap situasi sulit yang sedang dihadapi negara.

Setelah ditelisik mengapa hal ini bisa terjadi, ternyata Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud ini, Iwan Syahril, memiliki keterkaitan sejarah dengan dua yayasan itu.

Pria yang dilantik 8 Mei 2020 itu pernah menjadi anggota dewan penasehat teknis Tanoto Foundation, Jakarta. Bahkan Iwan pernah berkarier sebagai dosen di Universitas Siswa Bangsa Internasional atau sering disebut Universitas Sampoerna. Maka pantas apabila Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation bisa menerima dana hibah senilai 20 miliar per tahun ini.

Realitas ini bukan hanya menunjukkan rendahnya kredibilitas pemerintah dalam menentukan kriteria lembaga yang berhak menerima dana hibah, tetapi menunjukkan rendahnya empati dari dua yayasan ini.

Surabaya, 26 Juli 2020
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment