Antara Menulis Wasiat dan Hibah

Antara Menulis Wasiat dan Hibah

Antara Menulis Wasiat dan Hibah
Pena dan selembar kertas. (Foto: smartlegal.id)

Suaramuslim.net – Wasiat berupa harta sebenarnya adalah bagian bentuk pemberian tetapi pemberian dalam wasiat itu dilakukan oleh para ahli waris bukan pemilik harta. Dan ini menjadi pembeda dalam makna hibah yang dilakukan oleh seorang waris saat masih hidup atau pemberian harta dalam bentuk wasiat. Di mana pemberian harta dalam bentuk wasiat itu memang diucapkan ketika calon mayit masih hidup namun eksekusi dilakukan setelah ia meninggal.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Tidak pantas bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang ingin ia wasiatkan untuk melewati dua malamnya melainkan wasiatnya itu tertulis di sisinya.”

Hadis di atas dimaksudkan agar orang itu berhati-hati dan ahli warisnya mengetahui hal yang diwasiatkannya. Wasiat yang dititipkan pada seseorang itu juga sama hukumnya, tidak tekstual harus berada di sisi kepala si muwwarits.

Secara umum, wasiat disampaikan atau dituliskan agar tidak lupa. Yang nanti hendaknya dilaksanakan oleh ahli waris selama tidak melanggar ketentuan-ketentuan hukum Allah. Di antaranya tidak melebihi sepertiga dalam urusan wasiat harta kepada selain ahli waris. Ini batasan warisan yang diwasiatkan. Nabi shallallahu salaihi wa sallam bersabda.

الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ

 “Sepertiga. Sepertiganya itu cukup banyak.”

Wasiat atau Hibah?

Untuk membedakan wasiat atau hibah adalah dengan melihat redaksinya. Misalnya: “Nanti kalau saya mati maka itik-itik dan tanah ini berikanlah kepada si A B C D.” A B C D tidak masuk daftar ahli waris. Atau “Kalau saya sudah mati, berikanlah 100 juta ini untuk masjid itu.”

Perhatikan, apakah 100 juta dari sisi harta yang bersangkutan melebihi 1/3 atau tidak.

  1. Setelah dikurangi utang piutang dan lainnya, harta masih tersisa 600 juta. Maka 100 juta tidak terhitung sampai 1/3 sisa harta, maka laksanakan wasiatnya.
  2. Setelah dikurangi utang piutang dan lainnya, harta masih tersisa 200 juta. Maka 100 juta terhitung lebih dari 1/3 sisa harta. Maka jangan dikeluarkan 100 juta, namun hitung kembali 1/3 dari 200 juta. Yakni sekitar 66 juta. Itulah yang dikeluarkan.

Andai dalam keseharian ada pemberian dari anak ke orang tua atau suami ke istri dan sebagainya, dalam jumlah yang kecil maupun besar, maka kita harus memperjelas status harta tersebut. Jangan sampai menggantung dan membuat bingung. Harus jelas siapa pemiliknya dan diberikan kepada siapa.

Bagi pihak yang telah mengelola suatu harta, selama harta itu telah diberikan kepemilikannya maka sah tidak bisa diganggu gugat. Jika salah seorang mati, maka harta ini menjadi kekayaan yang diwariskan.

Misalnya orang tua memberi mobil ke anak tunggalnya. Setelah beberapa tahun, anak tersebut meninggal mendahului orang tuanya, maka mobil itu nanti menjadi hak yang diwariskan. Dan orang tua dari anak tersebut mendapat harta warisan meskipun yang memberikan mobil itu adalah orang tuanya.

Disampaikan oleh Ustaz Imamul Arifin, Lc, M.H.I dalam Konsultasi Fikih Waris di Radio Suara Muslim Surabaya 93.8 FM. Sabtu, 8 Februari 2020 pukul 16.00-17.00 WIB.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment