Antisipasi Rawan Bencana di 2019

Antisipasi Rawan Bencana di 2019

Antisipasi Rawan Bencana di 2019
Kepala Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya Mohammad Nur Huda, S.T. dan Pakar Studi Kebumian Bencana dan Perubahan Iklim ITS Surabaya Dr. Amin Widodo dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (14/01/19). (Foto: Suaramuslim.net)

SURABAYA (Suaramuslim.net) – Tahun 2018 menjadi momentum penuh musibah bagi Indonesia, gelombang bencana datang silih berganti. Kehancuran terjadi di Lombok, Palu, Donggala, Banten, Lampung, dan sejumlah wilayah lainnya. Ribuan orang menjadi korban jiwa dan luka. Kini, tahun telah berganti jadi 2019, bagaimana prediksi dan mitigasi bencana 2019?

Indonesia Supermarket Bencana

Kepala Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya Mohammad Nur Huda, S.T. dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (14/01/19) mengatakan, Indonesia pada umumnya wilayah yang rawan bencana. Indonesia seperti ditakdirkan Tuhan menjadi rumah bagi gempa dan tsunami, hal itu dikarenakan posisi Indonesia terletak di pertemuan empat lempeng tektonik dunia.

“Jadi Indonesia dan khususnya di Jawa Timur sering saya sebut sebagai supermarketnya bencana, karena ada beberapa bencana yang menimbulkan korban. Beberapa daerah di antaranya yang rentan terjadi bencana, antara lain di wilayah timur Lumajang, Kabupaten Malang, Jember, Banyuwangi dan Pacitan yang diidentifikasi potensial terjadi longsor dan banjir bandang,” ungkapnya.

Di wilayah Jawa Timur saat ini memasuki puncak musim hujan hingga bulan Februari dengan sifat hujan yang terjadi umumnya relatif normal. Dengan puncak itu, maka lanjut Huda, potensi cuaca ekstrem cukup tinggi, kegempaan juga sering terjadi meskipun jumlah magnitudonya kecil.

“Memang tidak disadari hampir setiap hari di daerah Jawa Timur sering terjadi gempa. Hal ini akan lebih bagus dari pada tidak sama sekali. Karena dari yang kecil-kecil ini mengurangi gempa yang tiba-tiba keluar secara besar,” tuturnya.

Nur Huda menyebut, kondisi alam semakin tidak terkendali akibat kerusakan yang dilakukan manusia, ini sangat berpengaruh terhadap alam sehingga justru mempercepat kondisi ekstrem terjadi.

“Ayolah kita sama-sama menata kembali lingkungan kita. Selain itu perlunya kewaspadaan bagi masyarakat yang bisa dimulai dari anak-anak sehingga paling tidak mereka terbiasa dan tertib saat sewaktu-waktu gempa terjadi. Tahu apa yang harus dilakukan,” pungkasnya.

Gempa Adalah Anugerah

Pakar Studi Kebumian Bencana dan Perubahan Iklim ITS Surabaya Dr. Amin Widodo dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (14/01/19) menyebut, terjadinya gempa adalah hal alamiah, karena di bumi ada litosfer yang selalu bergerak. Dalam bergerak itu bisa bertabrakan, saling memisah, hingga saling bergeser. Dari situlah akibat sumber gempa berlangsung.

“Sumber gempa terjadi sejak bumi terbentuk sekitar 4,6 miliar tahun lalu. Dahulu benua menjadi satu kemudian akibat bergerak menjadi memisah seperti ini. Dalam proses itu menghabiskan waktu miliaran tahun sementara usia manusia baru ada ratusan ribu tahun,” paparnya.

Amin menjelaskan, litosfer begerak karena di dalam bumi terdapat magma yang bergerak mengikuti arus. Hal itu terjadi karena tekanan magma di antara satu dengan yang lain berbeda akibatnya menimbulkan gelombang elektromanegtik yang menyelimuti bumi. Selimut elektromagnetik ini sangat penting bagi bumi untuk menahan radiasi matahari.

“Jadi, radiasi matahari kan terjadi setiap detik maka saat itu masuk langsung dibelokkan ke arah kutub yang dikenal dengan aurora. Pergerakan magma yang terus berputar yang menyebabkan pergeseran dari litosfer. Jika tidak bergerak maka tidak ada gempa, otomatis matahari akan membakar bumi,” jelasnya.

Amin menyebut, gempa merupakan bagian dari dinamika bumi. Bergeraknya lempeng bumi juga akan diikuti aktivitas gunung berapi yang akan mengeluarkan gas-gas mengisi atmosfir, yang mengeluarkan air, yang mengeluarkan panas, mengeluarkan tanah (abu gunung api) untuk menyebarkan dan menutupi tanah yang lama. Mengeluarkan pasir dan batu untuk menambah material litosfer.

“Seperti di Jawa Timur ada dua sumber gempa, salah satunya tumbukan lempeng yang ada di selatan Jawa berpotensi menyebabkan gempa 8,7 skala richter berada sekitar 200-300 km di Samudera Hindia. Hal ini harus diantisipasi untuk mengurangi kerugian materi dan korban jiwa,” paparnya.

Amin mengingatkan, peristiwa gempa di Yogyakarta yang terjadi hingga beberapa kali tidak semerta-merta dipelajari masyarakat untuk mengantisipasi korban gempa di kemudian hari. Berikutnya salah satu penyebab besarnya kerusakan gempa Lombok adalah karena kondisi struktur bangunan yang tidak memenuhi standar aman gempa bumi.

“Konstruksi rumah tradisional dibangun dengan menggunakan material lokal, yakni kayu yang kualitasnya dipilih sedemikian rupa sehingga mempunyai ketahanan yang berumur panjang. Tiang-tiang yang menyangga rumah beralaskan batu-batu yang menjadi pondasi, sehingga tidak ditanam di dalam tanah. Hal ini dimaksudkan agar ketika terjadi guncangan, tiang-tiang bisa lebih fleksibel bergerak dan bergeser,” paparnya.

Amin menyebut, jika melihat potensi gempa di Jawa Timur sekitar 8,7 skala richter. Semestinya pemerintah Jatim melakukan assessment terhadap bangunan masyarakat. Dikhawatirkan akibat gempa itu dapat terjadi rumah roboh, longsor, hingga likuifaksi.

“Melihat pengalaman di Yogya, Lombok dan Palu memberikan gambaran yang jelas rumah-rumah yang tidak mengikuti standar bencana akan mengakibatkan kerusakan fatal,” lanjutnya.

Selain sumber gempa berupa tumbukan lempeng. Menurut Amin penyebab gempa di Jawa Timur karena adanya sesar (patahan). Sesar di Jatim mulai dari Banyuwangi, Probolinggo, Pasuruan, kemudian Surabaya, Sidoarjo, Jombang hingga Cepu. Namun yang harus diwaspadai adalah sesar Waru karena sangat panjang dan berpotensi gempa.

“Penelitian itu dilakukan pusat studi gempa nasional Kementerian PUPR dengan besar gempa 6,5 SR. Maka pemerintah perlu melakukan assessment bangunan,” tuturnya.

Amin mengatakan, selain dari pemerintah juga dibarengi mitigasi dari inisiatif masyarakat sehingga terbiasa. Untuk melatih masyarakat seperti ini perlu waktu lama karena belajar dari kearifan lokal menyelamatkan warga Simeulue Aceh dari tsunami membutuhkan waktu puluhan bahkan ratusan tahun.

Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment