Suaramuslim.net – Ketika bayi lahir ke dunia, rasa syukur tak terlupa untuk Allah subhanahu wa ta’ala. ‘Aqiqah untuk anak menjadi simbol rasa syukur dalam Islam.
Secara bahasa, ‘aqiqah berasal dari kata ‘aqqu yang mempunyai arti potong. Memotong dalam artian di sini ada dua. Yang pertama memotong rambut bayi yang akan di-aqiqah dan yang kedua menyembelih hewan kurban untuk bayi yang di-aqiqahkan.
Lebih lanjut, dijelaskan dalam Tuhfatul-Maudud bi-Ahkaamil-Maulud oleh Ibnu Qayyim, Al-Jauhari mengatakan, ”Aqiqah adalah menyembelih hewan pada hari ketujuhnya, dan mencukur rambutnya”. Kemudian, Ibnu Qayyim juga berkata, ”Dari penjelasan tersebut jelas bahwa aqiqah itu disebutkan demikian karena mengandung dua unsur utama”. Penjelasan para ulama ini diperkuat dengan Hadits Riwayat Tirmidzi yang berbunyi, ”Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama.”
Kemudian, hukum meng-aqiqahkan anak ditetapkan berdasarkan jumhur ulama yaitu sunnah mu’akkad. Para ulama menetapkan hukum ini juga berdasarkan pada sabda Rasulullah dalam Hadits Riwayat Ahmad, Al-Bukhari dan Ashabus Sunan yang berbunyi, ”Bersama anak laki-laki ada aqiqah, maka tumpahkanlah (penebus) darinya darah (sembelihan) dan bersihkan darinya kotoran (cukur rambutnya)”.
Perintah Rasulullah dalam hadits di atas bukan bersifat wajib, karena ada sabda Rasulullah yang memalingkan dari kesan kewajiban di hadits tersebut. Disebutkan dalam Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasai, Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa di antara kalian yang ingin menyembelihkan bagi anaknya, maka silakan lakukan”. Dengan hadits ini akhirnya membuat hukum aqiqah menjadi sunnah dan sangat dianjurkan.
Sementara itu, pelaksanaan aqiqah bisa dilaksanakan tujuh hari setelah bayi dilahirkan. Sesuai dengan Hadits Tirmidzi yang telah disebutkan di atas. Namun jika pada hari ketujuh tidak bisa, maka bisa dilakukan di hari ke 14 atau ke 21. Anjuran waktu melaksanakan aqiqah ini sesuai dengan sabda Rasulullah dari Hadits Riwayat Al-Baihaqi yang berbunyi, ”Hewan aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, empat belas dan dua puluh satu”.
Kemudian, jika tetap tidak mampu melaksanakan aqiqah pada hari ke 21 bisa dilakukan di kala sudah mampu. Pendapat ini diperkuat dengan salah satu ceramah Ustadz Abdul Somad yang mengutip pernyataan dari Imam Nawawi bahwa aqiqah boleh dilakukan atas nama sendiri. Maka dari itu, ia lebih lanjut berpendapat bahwa ketika seorang anak sudah baligh, hilang tanggung jawab orangtuanya untuk melaksanakan aqiqah kepada anaknya. Namun, ketika sudah dewasa dan memiliki cukup rezeki disarankan untuk melaksanakan aqiqah dengan segera.
Karenanya, aqiqah memang bukan suatu kewajiban, namun lebih kepada sunnah yang dianjurkan dan sesegera mungkin dilaksanakan bagi setiap umat Islam. Karena, esensi dari aqiqah adalah rasa syukur terhadap Allah atas anak yang telah dipertanggungjawabkan kepada orangtuanya.
Kontributor: Ilham Prahardani
Editor: Oki Aryono