Asyiknya Taaruf Sejati dalam Bingkai Islami (Part I)

Asyiknya Taaruf Sejati dalam Bingkai Islami (Part I)

Asyiknya Taaruf Sejati dalam Bingkai Islami (Part I)
Ilustrasi mempelai wanita dan mempelai pria. (Ils: PENS/Elmanita Kirana)

Suaramuslim.net – Bagaimana jikalau suatu hari, saat kita khilaf, maka orang yang kita cintai dan mencintai kita segera ingat, “oh iya, dia kan memang nggak bisa hal-hal begitu.” Lalu dia pun tersenyum dengan senyum  pemahaman, tatapan mata penuh perhatian dan wajah yang bicara tanpa kata, “Aku mengerti dan aku memaafkan.”

Alangkah nikmat denting saran itu di telinga jikalau kita merasa bahwa kita dipersepsi apa adanya kita. Kebahagiaan yang paling tinggi, kata Victor Hugo adalah keyakinan bahwa kita dicintai meski bagaimanapun keadaan kita.

Ya taaruf. Tentu kalian mengerti apa itu taaruf. Taaruf adalah perkenalan. Taaruf dapat menjadi langkah awal untuk mengenalkan dua keluarga yang akan menjodohkan salah satu anggota keluarga. Sebagai sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan pendekatan, taaruf berbeda dengan pacaran. Namun taaruf yang sesungguhnya ialah setelah menikah.

Taaruf setelah menikah adalah dimana perkenalan antara suami dan istri terus berlanjut. Hari demi hari dilalui dengan saling mengenali pribadi dan karakteristik masing-masing. Asyik kah? Tentu sangat asyik. Dalam keadaan yang sudah halal, kita bebas saling mengenal tanpa takut akan embel-embel dosa dan zina. Nah, mari simak asyiknya taaruf sejati dalam bingkai rumah tangga islami.

  1. Waktu untuk mengingat kekurangan dan waktu untuk terpesona pada kelebihan

Tetapi terampilah mengelola diri. Memang ada waktu untuk mengingat kekurangan, tapi kelak ada waktu untuk terpesona pada kelebihan. Ada waktu untuk menguji, kelak ada waktu untuk memuji. Ada waktu untuk memahami, dan kelak ada waktu untuk mengagumi.

Pujian adalah ungkapan cinta yang sederhana. Pujian adalah pengakuan tentang kebaikan-kebaikan seorang manusia. Maka pujian adalah lecut semangat yang melahirkan kesejatian. Jika sudah ia lakukan, ia teryakinkan bahwa ia berada dalam kebaikan. Jika belum, ia tergugah untuk bersegera menujunya. Maka ada istiqamah, maka ada perbaikan diri yang berkelanjutan.

  1. Karena kita pun tak sempurna

“Boleh jadi kita membenci sesuatu padahal sesuatu itu amat baik bagi kalian dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu padahal sesuatu itu sangat buruk bagi kalian. Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah:216)

“Janganlah seorang mukmin membenci istrinya yang mukminah. Kalaupun ia membenci salah satu akhlaknya, tentu ia menyenangi akhlak lain yang ada padanya.” (HR Muslim, Kitab Ar-Radha’). Kita semua berharap pada Allah agar dikaruniai hati seorang mukmin. Hati yang bukan hanya berwujud telaga, tapi berupa tujuh samudera yang tawar rasanya.

Menilai dengan positive thinking. Mengapa itu selalu diperlukan? Memang tak ada manusia yang lepas dari aib dan cela. Memandanglah pada kebaikan karena ia selalu lebih banyak. Jika air sudah mencapai dua qullah, tidak ada yang bisa menajiskannya. Ini sebagai latihan kita, untuk tidak mengkufuri nikmat Allah, sekecil apapun. Ya bahkan agar kita mensyukuri-Nya, lalu Allah semakin menambah dan menambah nikmat-nikmat yang lain untuk kita.

  1. Bersiaplah menerima kejutan

Secara keliru, kata John Gray “kita menganggap bahwa jika pasangan kita mencintai kita, ia akan bereaksi dan bertingkah laku dengan cara tertentu sebagaimana kita bereaksi dan bertingkah laku jika kita mencintai seseorang.” Ya, kita sering keliru. Padahal, laki-laki dan perempuan berbeda, termasuk dalam tingkah laku dan reaksi jika ia mencintai seseorang.

Nah, bahayanya adalah terkadang kekurangpahaman ini menjatuhkan vonis kepada pasangan kita, bahwa ia banyak kekurangan. Kita yang kurang paham, dia yang selalu tersalahkan. Kacamata kita yang buram, orang lain yang kita anggap kusut. Buruk muka, nggak pernah ngaca. Pertengkaran bermula dari salah tafsir yang melahirkan salah sikap.

  1. Cara memandang masalah

Level aman terhadap masalah bagi seorang istri lebih rendah, tetapi baginya yang terpenting adalah merasa didengarkan dan dipahami. Level aman terhadap masalah bagi seorang suami memang lebih tinggi. Tetapi baginya masalah itu harus dipecahkan. Oleh dia sendiri!

Jadi suami memang tidak mudah panik. Mungkin bagi istri terkesan menggampangkan masalah. Di balik ketidakpanikan dalam dirinya tertancap kuat sebuah persepsi bahwa masalah harus berujung solusi. Maka ia akan terus menyederhanakannya agar solusinya mengena.

Istri, bisa jadi mudah khawatir jika masalah menerpa, tetapi baginya yang penting bukan solusi. Yang penting adalah ada saluran untuk membagi, mengungkapkan, dan ia merasa didengarkan. Wanita sering dituduh biang masalah ketika menceritakan masalah rumah tangganya kepada orang lain. Padahal ia tidak akan pernah bercerita pada siapapun selain suami yang dicintainya ketika ia menemukan suaminya sanggup mendengarkan.

Nah, bagaimana asyik kan taaruf sejati setelah pernikahan. Menikmati dan memahami setiap gelombang suka duka dalam bingkai rumah tangga. Terus pantengin suaramuslim.net ya. Nantikan keseruan menyelami samudera kehidupan di part-part selanjutnya.

Dikutip dari buku Barakallahulaka Bahagianya Merayakan Cinta – Salim A Fillah

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment