Suaramuslim.net – “Jika ayah memahami bahwa anaknya adalah masa depan umat, maka tidak ada ayah yang mengabaikan anaknya demi bisnisnya,” ungkap Ustaz Budi Ashari, Lc.
Pakar sejarah Islam ini mengingatkan para ayah bahwa anak-anak adalah hal yang paling mahal. Anak adalah mustaqbala ummah (masa depan umat). Di tangan mereka lah peradaban Islam kelak. Jika hari ini kita masih kesulitan memilih pemimpin karena keterbatasan individu, maka para ayah harus mulai memikirkan bagaimana mencetak generasi pemimpin masa depan.
Jangan sampai ayah terlalu sibuk di luar. Mencari nafkah memang tugas ayah, tapi itu bukan alasan pembenar untuk bebas tugas menyiapkan kompetensi kepemimpinan ananda.
Ayah visioner pernah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim (lulus) menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: “Janjiku ini tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim.” (QS 2: 124).
Visi kepemimpinan Nabi Ibrahim jelas terlihat dalam dialog dengan Allah tersebut. Ketika Nabi lolos uji dan diwisuda menjadi pemimpin (imam) bagi seluruh umat manusia, maka jawabnya unik dan mengagumkan. Nabi Ibrahim menjawab wisuda tersebut dengan doa yang visioner, agar keturunannya juga menjadi pemimpin dunia.
Tidak mengherankan jika Shalahuddin menjadi orang besar di kemudian hari, pembebas Al Aqsha. Hal itu tidak lepas dari peran besar ayahnya yang menanamkan nilai dan keyakinan sejak kecil. Ketika Shalahuddin kecil bermain dengan anak-anak perempuan di jalan, ayahnya mengambilnya dari tengah mereka. Ia pun mengangkat tubuh Shalahuddin tinggi-tinggi ke udara.
Ayah Shalahuddin berkata, “Dulu, saya menikah dengan ibumu bukan untuk melakukan seperti ini. Aku menikah dengan ibumu agar kelak kau yang membebaskan al Aqsha!”
Shalahuddin lalu dijatuhkan putranya ke tanah, ia kesakitan. Ayahnya bertanya, apakah kamu sakit karena jatuh?
Shalahuddin menjawab: Ayah menyakiti saya.
Ayahnya bertanya lagi, “Mengapa kamu tidak teriak saja karena sakit?”
Shalahuddin kecil pun menjawab,” Tidak layak seorang pembebas al Aqsha mengeluh kesakitan!”