Suaramuslim.net – Selama ini banyak disebut istilah “anak durhaka”. Namun boleh jadi ada juga “orang tua durhaka”. Durhaka terutama bagi anak-anaknya, karena doktrin ‘tradisi pendahulunya’ yang telah merusak ‘agama Allah’ yang telah menjadi fitrah bagi semua umat manusia. Misalnya, orang tua berkata ‘dahulu nenek moyangmu melakukan tradisi ini dan itu.’ Padahal bertentangan dengan agama Allah. Orang tua seharusnya bertanggung jawab dalam menjaga fitrah keimanan anak-anaknya, bukan sebaliknya malah mengotorinya.
Lebih khusus lagi, ayah adalah orang pertama yang paling bertanggung jawab terhadap keselamatan iman anak-anaknya. Maka ayah, jangan bosan menasihati istri.
Rasulullah dalam menanamkan iman-tauhid kepada para sahabat di Makkah. Ajarkan iman dahulu sebelum Al Qur’an. Dan kemudian belajar Al Qur’an sambil terus belajar memperkokoh iman.
Demi membangun keimanan umatnya, Rasulullah SAW melakukan usaha dakwah yang luar biasa beratnya dalam rentang waktu yang relatif lama, yaitu sepanjang 13 tahun periode Makkah. Sebuah periode dakwah yang cukup lama untuk ukuran masyarakat Makkah yang relatif sederhana. Padahal dakwah itu dilakukan oleh manusia hebat, nabi pilihan, ayah dan suami teladan, bernama Muhammad Rasulullah SAW. Bagaimana dengan kita?
Anak-anak akan mudah mencintai Allah jika banyak dikenalkan dengan ihsan (kebaikan-kebaikan) Allah kepada hamba-hamba-Nya, perbanyak menyebut nama Allah di telinga anak, baik dengan deskripsi maupun dalam diskusi atau tanya jawab. Bacakan ayat-ayat Allah yang terdapat pada ciptaan-ciptaan Allah yang tampak dan mudah dikenali di sekitar anak. Demikian juga, kaitkan semua kejadian sehari-hari di sekitar anak dengan kebesaran Allah.
Para ayah, jangan bosan menasihati anakmu dan keluargamu, untuk meng-Esakan Allah yang menjadi fitrah manusia dalam penciptaannya. Jangan biarkan akidah ananda terkontaminasi dengan “agama” yang diajarkan turun temurun oleh nenek-moyang kepada anak-anaknya.
Keimanan seperti apa dan bagaimana yang harus tertanam di dalam jiwa ananda? Keimanan untuk selalu memeluk Islam hingga akhir hayat, sebagaimana perintah dalam Al Qur’an: “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam.” QS. Al Baqarah: 132.
Berharap ananda menjadi muslim sepanjang hayat, sang Ayah haruslah membekalinya dengan iman, tauhid yang kokoh dan istiqamah. Dalam khazanah Indonesia lebih populer dikenal sebagai Ketuhanan (keimanan terhadap Tuhan) Yang Maha Esa. Artinya, tidak menyekutukan Allah (tidak syirik), dibuktikan dengan ketaatan dan kepatuhan hanya kepada Allah. Hidup dan matinya bersandar ‘sumeleh’ hanya kepada Allah.
Sebagaimana jawaban bani Ya’qub (anak-anak Nabi Ya’qub), tatkala sang ayah risau dengan akidah anak-anaknya seraya bertanya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku (wahai anak-anakku)?” Mereka tegas serentak menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Esa dan kami hanya tunduk dan patuh kepada- Nya.” QS Al Baqarah: 131.
Bagaimana caranya? Bagaimana metodenya, bagaimana langkah-langkahnya? Perhatikan prinsip-prinsip seolah hendak selalu membangun konektivitas (keterhubungan) dengan Allah.
Misalnya, ketika anak sakit, jangan katakan: “Ayo minum obatnya supaya sembuh”. Tapi katakan: “Berdoalah kepada Allah supaya sembuh, tapi jangan lupa harus minum obatnya karena Allah menyuruh kita untuk berusaha. Kesembuhan hanya dari Allah, bukan dari dokter atau obat.”
Saat anak meminta sesuatu, “Ayah, belikan aku sepeda baru”. Jangan hanya katakan: “Iya, nanti kalau ayah ada rezeki, ayah belikan”. Tapi katakan: “Iya, kita sama-sama berdoa ya, agar Allah memberikan rezeki kepada kita sehingga bisa untuk membeli sepeda baru.”
Menanamkan keimanan harus dengan latihan (exercise) yang berulang-ulang, tidak cukup dengan satu-dua kali ceramah atau penjelasan. Metode ini dikenal sebagai upaya membangun kekuatan spiritual sebagai energizer dalam membangun daya tahan menghadapi pelbagai tantangan dan kesulitan mengarungi kehidupan.