Bahasa Preman Kekuasaan

Bahasa Preman Kekuasaan

Ilustrasi kursi kekuasaan.

Oleh: Yusuf Maulana (Penulis Buku “Mufakat Firasat”)

“Jangan bangun permusuhan, jangan membangun ujaran kebencian, jangan membangun fitnah fitnah, tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang. Tapi, kalau diajak berantem juga berani.”

“Tapi jangan ngajak (berantem) loh. Saya bilang tadi, tolong digarisbawahi. Jangan ngajak. Kalau diajak, tidak boleh takut.”

Awalnya sebuah kutipan ujaran. Dari kalimat yang pilihan katanya tidak ditimbang dengan nalar kebangsaan lantaran sudah kenyang sebagai pendaku diri paling nasionalis. Kata yang seyogianya bisa direnungkan secara masak. Apalagi bila diucapkan di hadapan para pemuja yang bisa dipastikan bakal gegap gempita dengan pilihan kata yang meruahkan amarah.

Juga sudah diperkirakan dampak yang ada andai sebuah kata, frasa dan kalimat rentan melahirkan sangkaan dan keraguan pada integritas diri. Apalagi sudah diketahui segmen audiens seperti apa yang diajak bicara. Perlu bahasa lugas atau diplomatis. Memungkinkan adanya ungkapan bersurat ataukah cukup siratan kata tak perlu pemaknaan mengernyitkan dahi pemuja.

Tapi keberanian mengungkap kata-kata mengundang curiga dan prasangka malah jadi alibi kejantanan pengemukanya. Ia selalu tak salah; penyimak yang mesti membuka nalar. Bahwa kalimat utuh harus dibaca saksama, itu betul. Tak perlu dibaca sebagai hal gegabah berlebihan. Toh kadar yang bersangkutan sudah diketahui bersama bagi warga negara yang objektif meneroka. Awalnya memang terlampau ada impitan jiwa hingga katarsis itu hadir bernama kalimat penggelora. Tapi kualitas si pengumandang memang hanya sebatas memungut kata tapi tidak dengan jiwa dan logika. Ia tak paham imbas diksi “kelahi” dan “berantem” sebagai seorang penguasa pilihan rakyat. Ia lebih memosisikan dirinya sebagai pendamba kuasa, yang tak boleh kuasa itu direnggut begitu saja.

Logika diserang lalu boleh menyerang lawan merupakan sebentuk kekerdilan pikiran. Ia hanya jago yang jantan lagi gagah di kandang. Dengan sekian mesin operasi pencitraan yang memanggulnya, ia begitu perkasa ingin dilihat. Padahal, boleh jadi, ada gundah gulana di hatinya. Soal kans memegang kuasa misalnya. Atau sokongan saudagar politik yang kian mengusut.

Kata-katanya yang tak patut disimak itu, sayangnya oleh banyak atau sebagian massa pendukung dimaknai sebagai sikap kesatria. Ini sah-sah saja asalkan konsisten menerapkan makna kesatria itu pada karakter menepati janji. Justru ini yang menganga tidak ada, dan sayangnya tidak dijadikan bahan introspeksi. Kalimat pelindung dalam pidato relawan di atas, sungguh, bukan sekadar alat motivasi orang kita. Ia pasti didengar rakyat negeri. Mestinya ada rasa empati. Secara tidak langsung, ia malah jelaskan kadar dan bobot diri maupun pendukungnya. Celakanya, kalangan mereka yang terdidik di barisan mereka malah bangga membuat sahutan gayung bersambut yang menyedihkan. Kelahi sebagai adu ide dan program hanya alasan menutupi gemuruh di dalam dada membela sosok yang difanatiki.

Sampai kapan rasa kenegarawanan dihadirkan mereka yang menyebut diri nasionalis dan Pancasilais? Yang dibangga-banggakan sebagai teladan negarawan. Padahal, yang ada kepandiran dan ketakutan pada kualitas diri. Muaranya kekuasaan. Alasan intelek ataupun psikologis pembelaan silakan saja diretorikakan ke publik. Hanya, publik bakal menilai bagaimana dan sejauh mana rasa kebangsaan dan kesungguhan hati menciptakan kedamaian itu pada pemegang kekuasaan. Ya, bila yang ada demontrasi bahasa preman belaka. Kepremanan yang dibungkusi jargon tertindas. []

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment