Suaramuslim.net – Beberapa waktu lalu media sosial di Indonesia menyoroti aksi sebagian warga Jakarta yang memasang bendera peserta Asean menggunakan bambu. Keberadaan bendera yang terpasang di Jalan Pluit Selatan Raya, Jakarta Utara itu pun mendapat kritikan dari sebagian netizen karena dianggap mempengaruhi citra Negara Indonesia bagi bangsa lain.
Terlepas dari perdebatan yang dilontarkan oleh netizen di medsos, lupakah kita banwa bambu runcing merupakan ikon yang tak terpisahkan bagi bangsa Indonesia. Di beberapa negara, tanaman yang memiliki nama latin bambusea ini mengandung nilai filosofis. Bangsa Tiongkok misalnya, yang menjadikan bambu sebagai simbol keteguhan dan ketulusan. Sementara di India, bambu mengandung pesan persahabatan.
Di kebudayaan suku Jawa, bambu atau dikenal dengan sebutan pring merupakan bagian dari pedoman hidup yang di dalamnya menggambarkan karakteristik masyarakat Jawa. Dilansir dari portal Tempo, (2/8), dalam falsafah bambu atau dinamakan ngelmu pring, masing-masing jenis bambu punya nilai filosofis tersendiri bagi orang Jawa.
Pring kuning contohnya, yang bermakna urip iku wajib podo eling marang sing peparing. Artinya bahwa manusia hidup harus senantiasa mengingat pada Sang Maha Pengasih. Contoh lain ada pring cendhani yang mengandung nilai urip iku wani ngadepi ojo mlayu mergo wedhi. Maksudnya bahwa kita harus berani menjalani segala kemungkinan yang terjadi dalam hidup, bukan lari karena takut.
Di Indonesia, tanaman yang memiliki pertumbuhan paling cepat di dunia ini bukan hanya dijadikan sebagai falsafah hidup suku Jawa. Lebih luas lagi, bambu runcing merupakan senjata ampuh yang kekuatannya mampu mengalahkan senjata canggih kala itu. Sebatang bambu dengan bagian ujung lancip itu seakan memiliki kekuatan supranatural yang memporak-porandakan pertahanan pasukan penjajah saat itu. Benda ringan ini menjadi identitas perjuangan para pahlawan dalam menumpas penjajahan di negeri ini.
Meski proses pembuatan bambu runcing terbilang sangat sederhana, namun senjata tradisional rakyat Indonesia ini justru ditakuti tentara Belanda. Pasalnya, jika sudah terkena tusukan bambu runcing, musuh tidak langsung mati, melainkan matinya perlahan beberapa hari kemudian, bahkan berbulan-bulan. Sehingga para musuh akan merasakan sakit luar biasa akibat tusukan dari bambu runcing.
Lain halnya ketika masa penjajahan oleh Bangsa Jepang, bambu runcing dimanfaatkan sebagai senjata untuk menghadang payung musuh yang terjun dari udara. Senjata itu dikenal dengan sebutan takeyari. Penduduk pribumi, baik laki-laki maupun perempuan dilatih untuk menggunakan takeyari guna menghadang tentara sekutu yang mulai masuk ke Indonesia.
Namun, di akhir masa penjajahan Jepang, bambu runcing seakan menjadi bumerang bagi tentara Jepang. Karena mereka harus berperang melawan rakyat pribumi yang berjuang merebut kemerdekaan dari penjajahan Jepang. Rakyat biasa dan satuan Badan Keamanan Rakyat (BKR) semuanya bersatu padu berperang melawan penjajah Jepang menggunakan bambu runcing ini.
Fakta Senjata Bambu Runcing
Penggunaan bambu runcing sebagai senjata perlawanan musuh bisa dikatakan merupakan pilihan tepat saat itu. Faktanya senjata khas warga Indonesia ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan senjata modern yang dimiliki oleh penjajah.
Pertama, bambu runcing tidak bisa terdeteksi oleh metal detector, karena bahan pembuatannya dari sebatang pohon bambu. Kedua, senjata tradisional ini tidak mengeluarkan bunyi. Jadi, tentara Indonesia bebas melakukan siasat perang gerilya tanpa diketahui oleh musuh.
Dengan demikian, Jelas sudah bahwa bambu runcing merupakan simbol patriotisme rakyat Indonesia yang berjuang demi menegakkan kedaulatan bangsa di zaman penjajahan. Semangat patriotisme tersebut nyatanya diabadikan dalam sebuah bangunan monumen bambu runcing di beberapa kota di Indonesia, salah satunya di Surabaya.
Sehingga, ketika manusia yang hidup di masa modern seperi saat ini lantas menertawakan keberadaan bambu runcing lantaran dianggap mempermalukan negara, bukankah itu berati mereka sedang melupakan sejarah dan malu terhadap identitas Bangsa Indonesia?
Kontributor: Siti Aisah
Editor: Oki Aryono