Beginilah Generasi Salaf dalam Menghormati Guru

Beginilah Generasi Salaf dalam Menghormati Guru

Melarang Kader Maju
Ilustrasi laki-laki

Suaramuslim.net – Sejak nabi masih hidup hingga berlangsungnya generasi ulama-ulama berikutnya, guru begitu dihormati. Mereka tahu bahwa memuliakan atau menghormati ulama atau guru adalah perbuatan mulia yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Contoh pertama pada masa sahabat. Suatu saat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pergi ke rumah Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu untuk menuntut ilmu.  Karena Zaid tidur, maka beliau menunggu di depan rumahnya sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan kepada seorang alim. Bahkan ia tidak mengetuk pintunya sampai Zaid keluar dari rumahnya.

Ketika keluar, dialah yang memegang tali onta dan mendampingi Zaid. Melihat Abdullah bin Abbas memperlakukannya demikian, lalu Zaid berkata, “Wahai keponakan Rasulullah SAW, mengapa kamu tidak menyuruh aku ke rumahmu saja lalu aku datang kepadamu?” Ibnu Abbas menjawab, “Demikianlah kami diperintah berbuat kepada ulama-ulama kami.”

Luar biasa. Sahabat sekaliber Ibnu Abbas yang dikenal sebagai ulama di kalangan sahabat, menunjukkan takzim luar biasa kepada sahabat lain yang juga terkenal alim. Apakah Zaid bin Tsabit jemawa dan bangga diri mendapat perlakuan seperti ini? Ternyata tidak. Beliau pun tak kalah takzim. Dimintanya tangan Ibnu Abbas lalu diciumnya seketika. Kemudian berkomentar, “Demikianlah kami diperintahkan berbuat kepada keluarga Nabi Muhammad.” (Kanzu al-‘Ummâl, XIII/370) Sebuah pemandangan indah yang ditunjukkan salaf dalam menghormati ulama.

Para tabi’in pun juga sangat menghormati ulama atau guru. Syu’bah bin Hajjaj –ulama yang terkenal di kalangan tabi’in- pernah berkata, “Setiap orang yang aku mendengar hadis darinya, maka aku menjadi abdinya.” (Ibn Abdil Barr, Jâmi’ Bayân al-‘Ilmi wa Fahdlih, I/514). Ungkapannya mungkin dianggap hiperbola, namun demikianlah teladan salaf dalam menghormati ulamanya. Walaupun hanya mengajarinya satu atau dua hadis saja.

Begitu juga dengan Sa’id bin al-Musayyib –seorang tabiin kenamaan- nasihat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, “Di antara hak seorang alim ialah: tidak memperbanyak pertanyaan kepadanya, sehingga memberatkannya menjawab pertanyaan yang mengada-ada, dan tidak pula mendesaknya jika kondisinya sedang malas menjawab, tidak menarik bajunya ketika bangkit (dari majelis ilmu), tidak menyebarkan rahasianya, tidak menggunjingnya dengan seorang pun, tidak mencari-cari kelemahannya, jika ia khilaf maka diterima alasannya. Engkau harus menghormati, mengagungkannya selama dia menjaga perintah Allah. Jangan duduk di depannya. Jika dia sedang membutuhkan sesuatu, maka kamu mendahului orang lain dalam melayaninya.” (Jâmi’ Bayân al-‘Ilmi wa Fadhlih, I/519)

Kisah lain yang bisa diangkat di sini adalah Harun Ar-Rasyid. Salah satu khalifah tersohor Dinasti Abbasiyah ini pernah meminta seorang yang sangat alim untuk mendidik anaknya. Sosok alim itu bernama al-Ashma’i. Pada suatu hari Harun Ar-Rasyid melihat al-Ashma’i sedang dicuci kakinya. Ternyata, yang sedang melakukannya adalah anaknya sendiri. Rupanya, anak Harun Ar-Rasyidlah yang melayaninya.

Melihat kondisi demikian, Harun berkata kepada al-Ashma’i, “Aku memintamu mengajari dan mendidik anakku. Saat mendidik mereka, pantas saja engkau memerintahkan anakku membasuhkan air dengan satu tangannya dan membasuhnya dengan tangan lainnya.” Meski Harun pada waktu itu adalah orang nomor satu, tapi penghormatannya kepada ulama atau guru dari anak-anaknya  tetap dia lakukan.

Dari sosok salaf yang lain juga ada contoh menarik. Imam Ahmad bin Hanbal misalnya, pernah berkata, “Selama tiga puluh tahun di waktu malam, aku mendoakan Imam Syafi’i dan memintakan ampun untuknya.” (Ibnu Khillikan, Wafayât al-A’yân, IV/164)

Bayangkan! Selama tiga puluh tahun beliau tidak jemu mendoakan dan memintakan ampun untuk gurunya yang dikenal alim. Sebuah ketulusan seorang salaf yang perlu dicontoh dalam menghormati gurunya.

Lebih dari itu, Abu Yusuf –salah satu murid Abu Hanifah yang terkenal- bahkan pernah mengatakan, “Demi Allah, dalam shalat, sesungguhnya aku benar-benar mendoakan Abu Hanifah sebelum kedua orang tuaku.” Begitu takzimnya beliau kepada ulama atau gurunya, sampai-sampai doa terhadap ulama didahulukan daripada kedua orang tuanya sendiri.

Bagaimana tidak demikian, Abu Hanifah sendiri pernah berkata kepadanya, “Aku tidak pernah menjulurkan kedua kakiku ke arah rumah guruku Hammad sebagai penghormatan untuknya. Padahal, jarak antara rumahku dan rumahnya melewati tujuh jalan.” (al-Thabaqât al-Sanniyah fî Tarâjumi al-Hanîfah, 36)

Itulah sekelumit contoh bagaimana para salaf menghormati ulama dan gurunya. Sebagai penutup, nasihat Nabi kepada Ubadah bin Shamit berikut bisa dicermati dengan baik, “Bukanlah dari (golongan) umatku orang yang tidak menghormati orang tua, menyayangi yang kecil dan mengenal (hak) ulama.” (HR Ahmad)

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment