Belajar Menjadi Setara saat Ramadan di Tengah Wabah

Belajar Menjadi Setara saat Ramadan di Tengah Wabah

Pembatal dan Hal-Hal Mubah bagi Orang yang Beritikaf
Ilustrasi menghidupkan malam-malam ramadhan dengan itikaf di masjid. (Ils: Henrik Abonyi/Dribbble)

Suaramuslim.net – Beberapa waktu lalu grup WhatsApp angkatan lama sudah mulai ancang-ancang mengadakan buka bersama saat Ramadan nanti. Yang lain pun mengamini dengan sayonara membalasi. Rencana demi rencana dibuat, untuk antisipasi bila wabah corona semakin meluap.

Ada juga, di waktu yang berbeda, salah satu kerabat jauh sudah mulai menitip dibelikan pakaian. Katanya akan dipakai saat lebaran. Biar seperti tahun-tahun sebelumnya.

Beberapa postingan di media sosial, atau saya melihat sendiri, juga banyak dari kolega yang mempersiapkan datangnya Ramadan dengan membeli banyak makanan, minuman, kurma, dan serba-serbi yang dipersiapkan waktu sahur dan berbuka.

Waktu Ramadan yang tinggal sekedip mata ini banyak orang mulai berlomba mempersiapkan hajat ragawi. Hasrat untuk mengenyangkan raga diri sendiri saat berbuka dan sahur (mungkin) menjadi nilai penting yang harus disediakan jauh-jauh hari.

Namun anehnya masih banyak yang (belum) mempersiapkan hal lain untuk menyambut Ramadan nanti. Bukankah datangnya wabah corona ini sebagai ujian untuk hidup setara sama rata sama rasa?

Puasa sebagai aktivitas budaya

Banyak di antara masyarakat (kita) yang masih memandang datangnya Ramadan sebagai produk budaya, bukan murni produk ibadah. Hal itu bisa dilihat dari kebiasaan waktu Ramadan.

Pusat perbelanjaan semakin ramai, penjual mulai berjejer di sepanjang trotoar, menu berbuka yang beraneka warna, dan banyak yang sampai antre di restoran untuk buka puasa bersama kolega.

Hal itu mengindikasikan, makna puasa sebagai bagian latihan menahan hawa nafsu dan belajar menjadi setara antara si miskin dan si kaya tidaklah sepenuhnya dijalankan. Hanya secuil saja yang berani mengambil bagian dari proses ibadah.

Maka tidak heran, setelah selesainya bulan Ramadan, bukan tubuh yang semakin meramping, melainkan tubuh yang semakin melebar. Dijejali oleh berbagai makanan selama Ramadan. Bukan pula kesetaraan sosial yang semakin terjalin, sebaliknya, yang terjadi adalah Ramadan menjadi ajang memamerkan apa yang dimiliki.

Dalam hal ini, buku Eko Supriyadi yang berjudul Islam dan Sosialisme yang mengatakan Islam sebagai agama yang mengajarkan kesetaraan nyatanya layak dikaji ulang.

Bagi Eko, syahadat telah mengajarkan bahwa semua orang setara di hadapan Allah SWT. Salat mengajarkan kesombongan itu tiada perlu, sebab dalam gerakan sujud salat, derajat (maaf) pantat lebih tinggi daripada kepala.

Zakat mengajarkan kepemilikan harta bukan sepenuhnya milik satu orang. Ada 2,5% milik sanak saudara.

Puasa mengajarkan menjadi orang miskin, dan saat haji mengajarkan bahwa nantinya orang akan kembali di satu tempat. Semua berseragam putih.

Setara saat Ramadan di tengah wabah

Segala hal, termasuk datangnya wabah penyakit, selalu mempunyai sisi positif dan sisi negatif. Bagi orang beragama, hal itu bernama hikmah. wabah corona sendiri membawa hikmah positif tatkala Ramadan nanti.

Mungkin yang biasanya berpakaian mewah saat lebaran, kini bisa belajar bagaimana saat menjadi orang miskin tanpa pakaian baru di Idulfitri.

Mungkin yang dulunya bisa buka bersama di restoran, bisa menyantap berbuka maupun sahur dengan menu istimewa, kini belajar merasakan saat menjadi orang miskin dan berbuka dengan menu seadanya.

Mungkin yang dulunya masyarakat berderet antre berbelanja di mall, atau hidup sangat konsumtif, Ramadan kali ini, bisa merasakan bagaimana hidup sederhana.

Ramadan tahun ini Allah SWT menguji manusia dengan dua hal. Menahan hawa nafsu, untuk tidak makan, dan menahan nafsu untuk tidak banyak menikmati kenikmatan dunia.

Bila dengan datangnya wabah corona ini tidak bisa belajar menjadi pribadi yang lebih baik dan bisa menjadi pribadi yang belajar kesetaraan. Lantas dengan cara apalagi Tuhan harus menurunkan ujian?

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment