Suaramuslim.net – Sebagai bangsa besar, Indonesia pernah memiliki figur-figur teladan dalam menyampaikan narasi politik. Meski berbeda pandangan dan haluan politik dan bersaing merebut hati masyarakat, namun gaya politik yang ditunjukkan, sangat mendidik bagi rakyat. Mereka berbeda, tapi tetap saudara; mereka berselisih, namun tak kehilangan kasih; mereka saling berdebat, tapi tak sampai menghilangkan martabat. Tidak seperti dewasa ini yang disibukkan dengan narasi semisal: sontoloyo, genderuwo, muka Boyolali dan lain sebagainya yang malah tidak mencerdaskan bahkan berpotensi menimbulkan perpecahan.
Agus Salim-Muso
Suatu ketika, dalam rapat Sarekat Islam yang dihadiri langsung oleh H.O.S. Cokroaminoto dan Agus Salim; Muso di atas podium menyindir dengan nada mengejek, “Orang yang berjenggot itu seperti apa saudara-saudara?” Hadirin mendjawab, “Kambing”! Kemudian bertanya pula Muso, “Orang yang berkumis itu seperti apa saudara-saudara?” Jawab hadirin, “Kucing!”. Sebagai olokan kepada Agus Salim dan Pak Cokroaminoto.
Mendengar sindiran itu, Agus Salim tidak naik pitam, narasi dan sindiran dari Muso dibalas dengan sindiran yang cerdas dan menukik. Selepas Muso turun, Agus Salim lantas naik podium seraya bertanya kepada hadirin, “Tadi kurang lengkap saudara-saudara. Yang tidak berkumis dan tidak berdjenggot itu apa?” (Solichin Salam, 1965: 204). Para hadirin pun bergelak tawa melihat sindiran antar keduanya tanpa menimbulkan dendam dan adu jotos.
Soekarno-Sjahrir
Dalam buku Wartawan Senior, Rosihan Anwar berjudul: “Mengenang Sjahrir” (2010: 460) ada kisah menarik terkait reaksi Soekarno atas kemenangan Sjahrir saat menduduki kursi Perdana Menteri pada pertengahan November 1945. Sejujurnya memang Soekarno jengkel terhadap pesaingnya itu. Demikian respon kejengkelannya, “Seperti rotan, saya hanya melengkung, tetapi tidak patah.”
Perhatikan narasi, analogi dan diksi yang digunakan Soekarno! Meski jengkel, beliau tidak menggunakan kata-kata makian dan cacian yang merendahkan Sjahrir. Beliau ungkapkan dengan narasi bahasa yang menunjukkan bahwa dirinya masih belum kalah dengan analogi rotan yang melengkung itu.
Demikian juga Sjahrir. Saat bertemu dengan Tan Malaka di Bogor, sebagaimana catatan George Mc. T. Kahin dalam “Nationalism and Revolution in Indonesia” (1952)– yang dikutip tim penulis Tempo dalam “Sjahrir Peran Besar Bung Kecil” (2010: 133) bahwa pada saat itu Tan mengajak Sjahrir menjatuhkan (menggusur) Sukarno-Hatta. Sjahrir menolak dengan halus. Dia berujar, “Kalau saja Engku punya popularitas sepuluh persen saja dari Sukarno, saya akan mempertimbangkan Engku sebagai presiden.” Demikianlah narasi Sjahrir, perbedaan politik tak membuatnya menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan pesaingnya.
Saifuddin Zuhri-D.N. Aidit
Dalam buku Saiful Umam yang berjudul “Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik” (1998: 231) ada kisah menarik antara KH Saiduddin Zuhri yang kala itu menjadi menteri Agama pada era Soekarno dengan Aidit Pimpinan PKI, terkait propaganda daging tikus. Pada suatu rapat umum di Istora Senayan, Pemuda Rakyat beramai-ramai mendemonstrasikan pesta makan daging tikus.
Menteri Agama Syaifuddin Zuhri, yang saat itu merangkap anggota DPA, duduk di sebelah kanan D.N. Aidit (ketua CC PKI) pada jarak kira-kira hanya 20 cm. Tetapi dengan nada sinis, Aidit tidak bertanya langsung baik-baik melainkan secara antipati melalui forum. Katanya, “Saudara Ketua, tolong tanyakan kepada Menteri Agama yang duduk di sebelah kanan saya, bagaimana hukumnya menurut Agama Islam makan daging tikus?”
Secara refleks dan spontan ala santri Saifuddin Zuhri muncul dan dengan ringan menjawab, “Saudara Ketua, tolong beritahukan kepada si penanya di sebelah kiriku ini bahwa aku sedang berjuang agar rakyat mampu makan ayam goreng. Karena itu jangan dibelokkan (mereka) untuk makan daging tikus!” Jawaban tersebut tentu mengundang gelak tawa seluruh hadirin termasuk Bung Karno sendiri, selaku pimpinan sidang.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan betapa cerdasnya narasi yang disampaikan oleh bapak Bangsa pendiri republik dalam berpolitik dan bernegara. Mereka dalam ideologi dan haluan politik bisa berbeda, namun persahabatan tetap terjalin dengan baik. Narasi, diksi dan kalimat yang disampaikan kepada orang yang berlawanan pandangan, menjadi pembelajaran politik yang luar biasa bagi masyarakat. Mereka meneladankan persaingan politik yang sehat, aman, damai sekaligus tidak kehilangan rivalitas dan keseruannya.