Suaramuslim.net – Waktu saya kecil, selain belajar mengaji dengan adik kakek saya, yaitu Engkong Haji Thohir, saya juga diminta belajar pencak silat oleh beliau.
Sebagai anak-anak tentu saya senang Engkong haji Thohir mau mengajari silat. Terbayang, saya akan jadi pendekar seperti si Jampang atau si Pitung.
Hari Sabtu siang, saya minta ayah mengantar ke kediaman Engkong Haji Thohir. Malam ini adalah malam pertama saya akan belajar silat dengan beliau sebagaimana dijanjikan.
Selepas Maghrib berjamaah di musala, bliau memanggil saya ke pasebannya, di sana sudah ada makanan yang tersedia, rupanya Nyai Halimah, istri Engkong Thohir, sengaja masak pecak ikan emas dan pepes jeroan ikan. Engkong meminta saya makan bersamanya.
Sambil makan sesekali engkong nanya tentang perkembangan sekolah saya. Dalam kesempatan itu pula sebagaimana biasanya beliau menyampaikan pepatah Betawi:
Lelaki itu tangannya kudu kayak pedang, otaknya kudu kayak bintang, tapi hatinya kudu kayak kembang.
Beliau juga mengingatkan, agar rajin mengaji, jangan meninggalkan shalat dan rajin baca sholawat.
Kata beliau kalau saya rajin shalat dan ngaji, saya tidak akan pernah kekurangan garam, meskipun enggak juga harus kelebihan gula.
Engkong haji Thohir, memang khas, kalimat-kalimatnya banyak menginspirasi saya, bahkan saya amalkan sampai sekarang sebagai ijazah dari beliau.
Saya tanya, kapan saya akan mulai belajar silat? Beliau bilang, “Nanti jam 10, abis Isya, abis kita dzikiran!” Saya pun manut saja apa yang beliau rencanakan.
Bakda Isya, kami dzikiran, tepatnya tahlilan dilanjut muludan, baca kitab Barzanzi. Sekali lagi saya manut, dengan prosesi yang Engkong haji Thohir jalani. Sebagai anak umur sepuluh tahunan, saya tak kuasa menolak atau berpendapat, saya sami’na wa atho’na, taqlid bongkokan dengan engkong saya.
Jam sepuluh malam, saat santri Engkong Thohir yang lain masuk kobong. Saya tinggal berdua dengan beliau di halaman.
Engkong Thohir membawa sepotong bambu muda. Beliau meraih kedua tangan saya, dipukul-pukullah kedua tangan saya, sambil beliau membaca sholawat dan membaca dzikir, ya Aziz, ya Aziz, hasbunallah wa ni’mal wakiil… Begitu seterusnya.
Awalnya tangan saya terasa sakit, karena pukulan bambu itu, namun lama kelamaan sakit itu saya tahan, meski tak urung air mata keluar juga dari pelupuk.
Saya tidak melihat wajah keras dan bengis di paras Engkong Thohir saat melakukan itu, sebaliknya justru saya melihat wajah yang teduh dan tentram. Sesekali beliau melepas bambu itu, lalu diurut-urutnya tangan saya. Ah! Indah sekali.
Malam mulai larut, bambu mulai hancur. Engkong pun menghentikan pukulan-pukulan itu, kemudian membalur tangan saya dengan minyak kelapa.
“Sudah!” Kata engkong, lantas beliau meminta saya masuk ke kamar dan istirahat.
Saat saya berbaring di bale, beliau selimuti saya dengan kain ihram yang dipakainya saat haji.
“Robbi hablii minash sholihin” terdengar suara lirih dari mulutnya membaca doa.
—-
Tadinya saya berpikir itu hanyalah awalan belajar silat dengan engkong. Saya membayangkan, bahwa selanjutnya akan dilatih berbagai gerakan dan jurus. Ternyata saya keliru, engkong tak pernah mengajari saya gerakan dan jurus. Engkong lebih banyak mengajari saya mengaji, menghafal ayat-ayat dan mengajari bacaan wiridan.
“Itu lebih baik, buat bekal lu nanti udah tua!” Begitu kata engkong.
Ketika remaja, saat saya senang berkelahi, setiap kali saya mau berkelahi, saya selalu baca “Robbi hablii minash sholihin.”
Hahahaha, doa yang tak lazim dipakai untuk dipakai berkelahi, tapi kalimat itu membuat saya pede dan jadi berani.
Setelah tua, saya sering memohon ampun pada Allah, karena berkelahi dengan doa yang sejatinya adalah doa kasih sayang orang tua pada anaknya. Masa muda memang tempat keliru, dan masa tua adalah tempat memohon ampun.
Perjalanan hidup dengan berbagai profesi yang saya jalani, memutar-mutar saya dengan berbagai tahapan pendidikan. baik pendidikan formal maupun lainnya melalui majelis-majelis yang saya ikuti.
Tentu pengalaman “belajar silat” dengan Engkong Thohir tetap menjadi kenangan yang tak terlupakan, sebuah “maknawiyah” yang begitu personal yang memang jadi catatan sejarah pribadi saya.
Saya bersyukur di tengah pendalaman akan sains yang harus saya lakukan sebagai akademisi, saya diberi pengalaman bersentuhan dengan Folk-Knowledge dari Engkong Thohir.
Ya, pada kenyataannya sains memang tak cukup memadai membingkai permasalahan kehidupan, diperlukan juga folk knowledge yang bahkan di dalamnya tertuang aspek “trancendence” yang menutup kekurangan sains.
Terima kasih Engkong Thohir, lahul Fatihah!