Bencana Beruntun, Apakah ini Hukuman?

Bencana Beruntun, Apakah ini Hukuman?

Bencana Beruntun, Apakah ini Hukuman?

SURABAYA (Suaramuslim.net) – Belum lama gempa bumi berkekuatan 7 skala richter di Lombok Utara yang terjadi awal Agustus lalu. Saat ini masih terus dilakukan upaya pembangunan rumah serta fasilitas umum. Namun, pada Jumat (28/09/18) gempa 7,5 magnitudo jenis tektonik mengguncang Donggala, Sulawesi Tengah, memicu gelombang tsunami yang menerjang Palu dan Donggala.

Rabu (3/10/2018) Gunung Soputan yang terletak di Kabupaten Minahasa Tenggara,  Provinsi Sulawesi Utara meletus pada pukul 08.47 WITA. Masyarakat tidak dapat beraktivitas di seluruh area dalam radius 4 km dari puncak Gunung Soputan, untuk menghindari potensi ancaman guguran lava maupun awan panas. Sebelumnya ada letupan-letupan Gunung Anak Krakatau dan kabut asap mulai terjadi di Kalimantan.

Bencana yang beruntun ini apakah hukuman buat kita karena tidak amanah mengelola kekayaan alam atau teguran karena beragam ketidakadilan dipertontonkan? Untuk menjawabnya, radio Suara Muslim Surabaya 93.8 FM dalam program talkshow Ranah Publik mengajak pendengar mendiskusikannya secara mendalam.

Benarkah Bencana Itu Peristiwa Alam, Bukan Azab?

Fuad Amsyari, Ph.D, Anggota Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia dalam Talkshow Ranah Publik di radio Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (05/10/18) menyatakan, ada tiga penyebab bencana diturunkan.

Pertama, jika sebuah negeri yang diberi kemakmuran, tetapi tidak taat kepada Allah SWT maka akan datang bencana, bahkan disebutkan eksplisit dalam Al Quran surat As Saba’ ayat 16.

“Jadi jelas sekali bahwa kita tidak bisa sebagai orang Islam, hanya berpikir bala bencana itu hanya masalah duniawi, jangankan orang yang begitu banyak, wilayah yang begitu luas, personal saja kita bisa ditimpa bencana jika perilaku yang terus-terusan tidak baik,” papar Fuad.

Ia juga menjelaskan, yang kedua, bencana alam bukan sekadar persoalan personal (individual) tetapi masuk dalam kategori sosial, maka pendekatan yang dilakukan adalah sosial, karena yang terkena bukan satu orang namun mencakup pengelolaan masyarakat atau sistem pemerintahan.

Dalam hidup ada dua sistem, kata Fuad, yaitu sistem personal meliputi organ dan anggota badan pada manusia seperti, paru-paru, jantung, hati dan anggota badan lainnya. Sedangkan sistem sosial merupakan sesuatu yang lebih besar dari lingkup keluarga, mempunyai sistem sosial riil serta kedaulatan yang disebut negara.

“Yang ketiga, harus ada kewaspadaan dalam umat Islam, jika sebuah sistem sosial dimurkai Allah karena rusaknya sistem itu. Kalau bencana datang yang terkena bukan orang jahat saja, bahkan koruptor bisa lari, justru para kiai, ulama, ustadz dan cendekiawan muslim yang sangat zuhud bisa habis.”

Wattaqu fitnatan la tushibannaladzina zolamu minkum khassatan. Wa’lamu annallaha syadidul iqob” (Takutlah akan fitnah/musibah yang tidak hanya akan menimpa orang-orang yang zalim di antara kalian. Ketahuilah, Allah sangat pedih siksaannya),” ucap pria yang dulu memperoleh gelar Master of Public Health dari Royal Tropical Institute di Amsterdam ini.

“Maka hendaklah kita khawatir jika Allah sudah memberikan bencana dan hukuman pada suatu sistem sosial dalam suatu negeri. Yang terkena bencana bukan hanya orang jahat saja, tetapi semuanya. Jadi, kita jangan berbangga hati menjadi alim ulama di negeri yang terkena bencana karena rakyatnya berantakan dalam persoalan iman, Islam dan ihsan,” ungkapnya.

Dalam proses bencana ada dua penanganan, baik kuratif (penanganan) maupun preventif (pencegahan). Seringkali manusia mencari setengah mati bagaimana bencana bisa terjadi. Dari sudut empiris gempa bumi disebabkan adanya aktivitas tektonik, yaitu pergeseran lempeng-lempeng tektonik secara mendadak yang mempunyai kekuatan dari yang sangat kecil hingga yang sangat besar, pada akhirnya terjadilah gempa dan tsunami.

Namun, Fuad melanjutkan, penjelasan itu dapat disimpulkan setelah gempa dan tsunami terjadi, manusia tidak akan pernah bisa menjelaskan mengapa gempa terjadi di Palu dan Donggala, padahal letak lempeng satu dengan lainnya mempunyai jarak beribu kilo meter di seluruh dunia.

“Ini yang harus diwaspadai, ada dimensi kegaiban yaitu Sang Pencipta Alam yang menguasai semesta. Ini yang sering dilupakan manusia. Jangan sampai manusia berpikir pendek, menyebut bencana tidak ada hubungannya dengan Allah SWT, bahkan bencana hanya masalah dunia. Inilah proses berpikir yang tidak utuh,” jelasnya.

Islam Diturunkan Untuk Menyelamatkan

Sebetulnya, menurut Fuad, Islam diturunkan untuk menyelamatkan umat manusia yang plural. Menurutnya, ada dua mekanisme masyarakat yang akan diselamatkan.

Pertama, jika mempunyai akhlakul karimah, yaitu konteks antara manusia diajarkan oleh Islam dengan baik, sehingga dengan akhlak mulia orang Islam, maka orang kafir pun akan tertolong.

Kedua, sistem sosial yang plural harus dikelola sesuai dengan tuntunan Allah. Pengelolaan yang benar dari sistem sosial yang benar akan mendatangkan kesejahteraan, keadilan, dan kemuliaan. Itu sebabnya Islam diturunkan untuk menyelamatkan umat manusia plural, baik muslim maupun nonmuslim.

“Jika di dalam sistem sosial kita melegalisasi pelacuran maka yang akan terkena dampak pelacuran bukan hanya orang Islam, pun nonmuslim akan terkena. Artinya bahwa kebijakan Islam melarang kemaksiatan di dalam society bukan hanya untuk Islam tapi seluruhnya, karena agama apa pun akan terselamatkan oleh Islam,” lanjutnya.

Pria yang juga menjadi dosen di Universitas Airlangga ini mengatakan, hanya saja kesalahan orang Islam terkadang tidak mempunyai visi itu. Dia mengira Islam untuk dirinya sendiri supaya beriman kepada Allah, melakukan ritual, membuat amal sosial tetapi melupakan pengelolaan sistem sosial. Akibatnya yang dikelola berantakan dan rusaklah sistem sosial yang plural, sehingga masyarakat tidak bisa diselamatkan.

Bencana & Teguran Untuk Bermuhasabah

 Ustadz Ainul Yaqin, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur dalam Talkshow Ranah Publik di radio Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (05/10/18) juga menekankan, saat ini seolah-olah Islam diturunkan untuk mengatur masyarakat yang homogen, padahal Islam diturunkan mengatur suatu kehidupan yang heterogen.

Ainul menyebut, ketika Islam dijadikan pedoman disitulah eksistensi rahmatan lil ‘alamin akan terlihat. Hal itu bisa dipahami bahwasanya maksud dan tujuan diturunkannya syariat Islam untuk melindungi 5 hal antara lain: Hifdz Ad-Din (Memelihara Agama), Hifdz An-Nafs (Memelihara Jiwa), Hifdz Al’Aql (Memelihara Akal), Hifdz An-Nasb (Memelihara Keturunan), Hifdz Al-Maal (Memelihara Harta).

“Kacau lagi ada orang bicara rahmatan lil ‘alamin, kemudian mereka menolak program penutupan lokalisasi Dolly, dengan dalih Islam yang rahmat tentu tidak menolak orang yang bekerja. Ini satu kesalahan yang fatal untuk memahami makna rahmatan lil ‘alamin,” pungkasnya.

Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, lanjut Ainul, banyak intelektual muslim terjebak dalam pandangan sekuler dalam melihat bencana. Misalnya, bencana tidak bisa dikaitkan dengan perbuatan, agama, dan manusia. Padahal bencana diturunkan bagian dari fenomena sunnatullah, yaitu hukum sebab akibat.

“Dari situlah Allah mengajak manusia untuk bermuhasabah. Ketika kita memahami bencana dalam pendekatan iman akan mendorong kita melakukan introspeksi. Jadi, memahami peristiwa dapat dilakukan memakai pendekatan sains, maka nantinya akan memperoleh keilmuan di bidang sains,” lanjutnya.

“Namun, tidak kalah pentingnya kita memahami melalui pendekatan iman, melakukan koreksi, adakah kesalahan sistem yang sudah berjalan?” tanya Ainul.

Kehidupan bersama tentu membutuhkan mekanisme yang baik, yaitu penegakan hukum. Jika amar ma’ruf nahi munkar tidak ditegakkan dengan baik, maka disinilah yang menimbulkan terjadinya kekacuan dalam sistem.

“Jadi perlu taubat yang tidak hanya penyesalan atas dosa bersifat individu, tetapi taubat dalam arti mengkoreksi kesalahan dalam berkehidupan sosial,” tandasnya.

Reporter: Dani Rahmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment