Berani Memutuskan

Berani Memutuskan

Berani Memutuskan

Penulis: Yusuf Maulana

Suaramuslim.net – Tetapan hatinya begitu kokoh. Niatnya untuk mundur dari jabatan orang nomor dua di Republik ini tak bisa dibendung. 1 Desember 1956, jadi hari bersejarah sebab ia tak lagi membersamai kawan lamanya. Dwitunggal yang biasa disebut satu tarik napas harus terpisah. Bukan salah ia di balik putusannya itu.

Mohammad Hatta terlampau lurus dan jujur untuk sekadar mendiamkan penyimpangan demi penyimpangan yang tak bisa ditoleransi. Konsensus dan demokrasi tidak lagi dijunjung. Suara yang disepakati dan diperjuangkan dilanggar begitu saja oleh penguasa, sang kawan lamanya, atas nama kondisi darurat. Alasan demi alasan yang, sayangnya, disokong banyak penjilat penguasa, tidak lantas menyurutkan Hatta untuk tampil berbeda. Kondisi kelaliman pada konstitusi tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Niatnya untuk tak lagi menjadi pendamping Sukarno bukan tanpa dicegah banyak pihak. Partai-partai juga bersikeras agar Hatta tak mundur. Hanya, siapa yang sanggup untuk sekadar jadi penonton dari tindakan tidak beradab dalam kenegaraan?

Mundurnya Hatta dari tampuk kursi wakil presiden sepatutnya dijadikan peringatan oleh Sukarno. Perdebatan sudah dilakoni. Sukarno bergeming dalam kuasanya. Undur diri merupakan titik kulminasi kritik seorang sahabat setia pada kawan baiknya. Tak lebih itu; bukan karena ambisi-ambisi tertentu dalam lipatan. Sukar untuk menilai ada misi lain di balik langkah dan kritik Hatta.

Pun ketika empat tahun kemudian Hatta masih konsisten berupaya untuk meluruskan sikap kawannya. Artikel berseri yang dijuduli “Demokrasi Kita” dimuat di Pandji Masjarakat. Bermula dari tulisan yang dianggap “bermasalah”, situasi batin Sukarno dalam menilai Hatta menjadi memanas. Atas dasar tulisan kawan lamanya itu, media yang memuatnya dibreidel.

“Tujuannya (Sukarno) selalu baik, tetapi langkah-langkah yang diambilnya kerapkali menjauhkan dia dari tujuannya itu,” tulis Hatta dalam Demokrasi Kita. “Dan sistem diktatur yang diadaknnya sekarang atas nama demokrasi  terpimpin akan membawa ia kepada keadaan yang bertentangan dengan cita-citanya selama ini.”

Hatta selalu memancarkan karisma dalam sikap lembut dan jujurnya. Tanpa harus membahana dengan retorika menggelegar. Justru karena melawan dengan gagasan yang matang, ia lebih ditakuti penguasa kolonial Belanda tinimbang Sukarno. Sejak muda, semasa masih terlibat di Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda.

Legasi Hatta hari ini di balik sikap teguhnya untuk berlepas dari kursi kekuasaan adalah tentang keberanian jujur. Betapa tak mudah bersahaja dalam jujur di tengah kekuasaan lalim, apa pun seginya. Melepas jabatan bagi seorang Hatta bukan sebuah kerugian. Malah, bersama-sama kekuasaan yang menabrak idealismenyalah yang merugikan kepribadiannya.

Soal mundur dan keberanian jujur ini mengingatkan saya pada seorang terbilang “muda” yang moncer namanya dan dianggap dekat dengan kekuasaan. Sebenarnya ia tak begitu berminat lebih jauh untuk masuk ke kekuasaan, namun bujukan sekadar jadi tim sukses kontestasi politik sukar ditepiskan.

Alih-alih semringah, di hadapan publik ia seperti menanggung beban. Ada gelayutan pikiran yang membuat publik menerka-nerka: bahwa ia sebetulnya “terpaksa”. Satu sikap yang tak elok sebetulnya. Bahkan, andaikata benar, dikaitkan dengan satu amar dakwaan pada tindakan yang dilakukannya pada masa lalu.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment