Berebut Doa Kiai

Berebut Doa Kiai

Berebut Doa Kiai
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy (kiri) berbincang dengan Ketua Dewan Syariah PPP Maimoen Zubair (kanan). (Foto: msn.com)

Suaramuslim.net – Tidak ada kebahagiaan yang lebih mencubit hati saya, selain melihat orang-orang mulai bersemangat mencintai kiai, dan percaya pada doanya.

Mencintai kiai itu bukan tanpa teori. Rasulullah pernah berkata, bahwa ulama itu adalah pewarisnya. Qiyasnya, jika ulama adalah pewaris rasul, maka kiai pun adalah pewarisnya, karena kiai itu adalah ulama dalam terminologi orang-orang Islam yang hidup di kultur Jawa.

Tidak mengherankan, doa kiai menjadi begitu magis bagi orang-orang Jawa. Bagaimana tidak? Doa yang disampaikan pewaris nabi, tentu diyakini langsung bisa melesat ke atas langit, mujarab, dan mempunyai jalur khusus untuk terkabul.

Saya sangat memahami psikologis keagamaan orang Islam dalam kultur Jawa ini, selain memang tidak salah, hal ini juga lazim terjadi di beberapa wilayah masyarakat muslim berada.

Saking mujarabnya doa seorang kiai, maka ketika memohonkan doa kepadanya, sampai disusun secara instrumental, spesifik dan terukur seperti; ingin cepat dapat jodoh, dan jodohnya adalah gadis yang cantik, di samping cantik juga yang shalehah, selain shalehah juga sabar dan penyayang, sabar yang dimaksud adalah mau diajak hidup susah. Dari keturunan orang baik dan kaya, dan seterusnya.

Instrumen meskipun tidak haram, terkadang menempatkan keinginan manusia menjadi lebih utama ketimbang skenario yang telah Allah tetapkan di Lauhul Mahfuz.

Ketika kita memintakan doa pada kiai, agar didoakan dapat jodoh, bisa saja mengatakan,
“Yai mohon dibantu doa agar saya diberi jodoh yang terbaik yang Allah ridhai.”

Semestinya itu cukup, artinya dengan itu terpenuhi beberapa premis, yaitu ikhtiar pengharapan, lafadz yang tersuarakan dan keikhlasan apa yang terjadi.

Dari banyak biografi ulama yang pernah saya baca, beberapa di antaranya, bahkan hanya melafadzkan kalimat mohon ampun (istighfar) dan bershalawat saja. Yang dibutuhkan manusia hanyalah ampunan dosa dari Allah. Dan kelak di alam akhirat bisa menjadi tetangga rasulullah. Karenanya beristigfar dan bershalawat, menurut para kiai zuhud itulah lafadz tertinggi dari segala doa yang menjadi harapan manusia.

Doa itu substansi, kesyahduan kalimah penghambaan yang merambat menuju Arsy. Dimensinya adalah partikel partikel qalbiyah. Dan ketika kita menyadari bahwa setiap insan mempunyai keunikan masing-masing dalam basyirahnya. Maka qalbu yang menyimpan basyirah mempunyai partikel masing-masing untuk menjadi wasilah memohon segala pengharapan pada Sang Khalik.

Para zuhud mengajari agar doa dilantunkan dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar, dan tersampaikan penuh lelehan air mata.

Kita memang patut berebut doa, yaitu berebut merasa orang yang masih penuh dosa. Jika tak sanggup berdoa sendiri, mintalah pada kiai untuk mendoakan, tapi yakinilah bahwa Allah memberi hak pada kita untuk berdoa sendiri. Allah mempunyai hak untuk mengabulkan, mengganti atau menunda doa setiap insan.

Jangan ragu untuk berdoa sendiri, meski kita belum termasuk ulama atau kiai. Allah Maha Mendengar suara kita, bahkan yang ada di dalam hati. Bukan karena kita ulama atau bukan, melainkan seberapa ikhlas kita akan menyambut ketentuan-ketentuan yang Allah akan tetapkan pada kita.

Berdoalah agar kita diampuni Allah atas segala dosa, dan di akhirat kelak bisa bertetangga dengan rasulullah.

Wallahu a’lam.

Pondok Rajeg, Bogor, 3 Februari 2019.

Yudha Heryawan Asnawi

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment