Mendidik Anak itu Tuntunan bukan Tuntutan

Mendidik Anak itu Tuntunan bukan Tuntutan

Mendidik Anak itu Tuntunan bukan Tuntutan
Keluarga Misbahul Huda (Foto: Dok. Pribadi)

Suaramuslim.net – Jean Jacques Rousseau -salah satu tokoh pendidikan modern- dalam bukunya Emile, menandaskan bahwa segala sesuatu yang dicipta Tuhan adalah baik, terjadinya kerusakan dan kebejatan sesuatu murni oleh (sebab) tangan-tangan manusia. Setiap manusia memiliki hak-hak yang sama dalam hidup ini. Jacques Rousseau juga mengatakan bahwa kita tidak memiliki suatu apa pun pasca kelahiran di dunia ini. Sesuatu yang paling kita butuhkan dalam kehidupan ini adalah pendidikan.

Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah guru kehidupan, mengingatkan para sahabatnya: “Hormatilah anak-anakmu dan didiklah mereka. Allah ‘azza wa jalla memberi rahmat kepada seseorang yang membantu anaknya sehingga sang anak dapat berbakti kepadanya.”

Melahirkan generasi yang shaleh adalah membangun karakter, sehingga tidak cukup hanya dengan pengajian atau pengajaran, tidak cukup pula dengan rangkaian perintah dan larangan, tetapi harus dengan kepemimpinan (leadership) dan pendampingan atau penularan (baca: keteladanan).

Itulah yang menjadi alasan utama, mengapa Taman Pendidikan Anak (pre-school) di Jepang lebih menekankan aspek permainan, disiplin (sportivitas) dan sopan santun (moralitas). Siswa Jepang, dari tahun pertama hingga tahun keenam primer harus belajar etika dalam berurusan dengan orang-orang (budi pekerti). Tidak ada tes ujian dari tingkat pertama sampai tingkat ke tiga (setara SD kelas 1 sampai SD Kelas 3), karena tujuan pendidikan adalah untuk menanamkan konsep kebaikan dan pembentukan karakter, bukan hanya tes dan indoktrinasi.

Konsep pendidikan ala Japan itu seperti mengikuti pesan Ali bin Abi Thalib: “Ajaklah anak bermain pada tujuh tahun pertama, disiplinkanlah anak pada tujuh tahun kedua dan bersahabatlah pada anak usia tujuh tahun ketiga.”

Konsep tersebut bisa dipahami sebagai upaya memaksimalkan pertumbuhan otak anak, karena golden age (usia 0-8 tahun) adalah masa yang paling baik bagi pertumbuhan dan pembentukan memori sel otak hingga 80 persen.

Berbeda dengan di Indonesia yang beberapa TPA-nya berlomba dan berbangga-bangga manakala anak didiknya sudah bisa membaca, menulis dan berhitung (calistung). Otomatis kecenderungan itu akan menyita waktu anak untuk bermain, bersosialisasi dan internalisasi nilai (baca: budi pekerti).

Salah seorang sahabat bertanya. “Ya Rasulullah, bagaimana cara membantu anakku sehingga ia dapat berbakti kepadaku?” Nabi menjawab: “Menghargai usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya, tidak membebaninya dengan beban yang berat, dan tidak pula memakinya dengan makian yang melukai hatinya”. (HR Abu Daud).

Tidak sepatutnya kita besikap sewenang-wenang pada anak-anak, karena ada perintah “hormatilah anakmu”. Tidak patut pula kita menuntut anak-anak berlebihan karena ada perintah “didiklah anakmu”. Kata didik lebih bernuansa tuntunan, bukan hanya tuntutan. Maka, sebagai ayah semestinya lebih mendemonstrasikan perilaku menuntun, menjadi teladan, bukan semata-mata menuntut dengan serangkaian perintah.

Pendidikan dalam Islam bukan sekadar transfer ilmu ke benak anak didik, tetapi memberi Qudwah Hasanah (teladan laku kebaikan) dan Uswah Hasanah (nasihat konstruktif) kepada anak didik. Dengan demikian ada sinergi antara ucapan dan tindakan, serta teori dan kenyataan. Keselarasan pikiran, ucapan dan tindakan itu harus bersendikan akhlak karimah (moral luhur) dan pekerti mulia. Isitilah sekarang lebih populer disebut integritas.

Orang tua sudah seharusnya memperhatikan aspek qudwah dan uswah dalam mendidik anak–anaknya. Hindari melakukan kesalahan maupun tindakan buruk di hadapan anak–anak. Kalau tidak, tanpa tersadari anak–anak mereka tumbuh dan berkembang menjadi pribadi terbelah (split personality) dan bermoral tidak baik.

Setiap orang tua harus membiasakan dirinya jujur dalam bicara dan bertindak, bersikap baik di hadapan anak, tidak melakukan tindak kebohongan maupun tercela di hadapan anak, meski hal itu dimaksudkan untuk bercanda.

Hanya orang–orang jujur yang bisa menegakkan nilai-nilai kejujuran dalam hidup ini. Hanya manusia–manusia berbudi luhur yang bisa menegakkan sendi–sendi moralitas dalam kehidupan. Akan tetapi, jamak kita temukan di ‘altar’ kehidupan ini, orang tua yang menyuruh bahkan mewajibkan anak–anaknya berbuat dan bicara jujur, namun  dirinya  sendiri  tidak jujur dan kerap melakukan tindak kebohongan, baik kepada diri sendiri maupun kepada anak-anaknya.

Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa hati dan pikiran anak–anak kecil adalah suci dan bersih. Apa yang mereka lihat dari perilaku, ucapan dan tindakan orangtua mereka, akan membekas di benak mereka, dan secara instingtif (naluri) akan mengikuti apa yang mereka lihat dan dengar dari perilaku orang tua mereka. Inilah fase pendidikan yang banyak dilalaikan orang tua.

Jika orang tua suka berbohong, maka anak-anaknya akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia–manusia pembohong. Demikian pula jika orang tua jujur, maka anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang jujur dan punya integritas.*

*Diambil dari buku “Bukan Sekadar Ayah Biasa” karya Misbahul Huda. Buku yang bercerita bagaimana pengalaman ayah hadir dalam pengasuhan anak.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment