Blockchain dan transparansi filantropi

Blockchain dan transparansi filantropi

Suaramuslim.net – Baru saja kita dihentakkan dengan berita dari suatu majalah nasional yang memberitakan adanya suatu lembaga filantropi yang disinyalir menggunakan dana umat tidak sebagaimana mestinya.

Tentu ini sangat disayangkan mengingat niat baik donor tentunya untuk membantu masyarakat yang sudah selayaknya dibantu tetapi menurut berita tersebut dana yang terkumpul oleh Lembaga sosial Islam tersebut adalah untuk hal lain.

Tulisan kali ini tidak akan mencoba menambah analisis dari apa yang sudah terjadi karena majalah tersebut sudah cukup dalam analisisnya bagi kita dan rasanya tidak elok untuk kemudian mengumbar aib dari suatu pihak.

Lembaga sosial tentu menerima dana dari donor (pihak 1) dan menyalurkan pada yang berhak (pihak 2). Bedanya pada perbankan adalah bank mengelola dana deposan (pihak 1) dan meminjamkan pada yang membutuhkan dana (pihak 2). Bank beroperasi dan bertanggung jawab pada deposan. Kalau bank tidak berkinerja baik maka deposan akan menghukumnya dalam bentuk mengambil semua dananya dan didepositokan pada bank lain.

Oleh karena bank adalah lembaga kepercayaan maka bank sentral mengaturnya dengan sangat kompleks dan ketat dengan tujuan supaya ekonomi berjalan dengan baik dan tentunya deposan puas sehingga tidak menarik dananya dari perbankan.

Dilihat dari sisi pertanggung jawaban, apakah pertanggung jawaban dana yang diterima sama antara lembaga sosial dan bank? Tentu tidak. Bank bertanggung jawab pada deposan, pada  kasus lembaga sosial, ketika seseorang berdonor maka umumnya donor tidak akan melakukan pengecekkan ke mana dana yang sudah didonasikan. Lalu sejatinya lembaga sosial bertanggung jawab kepada siapa? Jawabannya adalah pada Allah. Karena dana itu adalah dana milik umat.

Pertanyaan sederhana selanjutnya adalah mengapa bank yang hanya bertanggung jawab pada manusia (deposan) itu diatur dengan regulasi yang sangat ketat dan kompleks tetapi lembaga sosial yang harus bertanggung jawab pada Allah itu diatur dengan peraturan yang tidak sekompleks sebagaimana bank?

Ini bukan kejadian baru tetapi dari dulu belum pernah ada suatu peraturan di lingkungan lembaga sosial yang kompleksitasnya lebih tinggi dari peraturan bank. Ini harus menjadi perhatian kita semua.

Kejadian lembaga filantropi dalam majalah nasional tersebut cukup menjadi pelajaran bagi kita semua. Tulisan ini mencoba untuk mengusulkan pembenahan apa yang harus kita lakukan kedepan.

Penulis percaya bahwa dalam rangka transparansi lembaga sosial, laporan tahunan pastilah diaudit. Dan dengan mendapatkan status wajar tanpa pengecualian (WTP) maka umumnya publik sudah akan mempercayainya. Tetapi apakah isu kepercayaan (trust) cukup hanya dengan status WTP di atas?

Kita tahu lembaga seperti Arthur Andersen itu punya nama yang sangat kuat sebagai kantor akuntan publik dunia, ternyata juga bermasalah dengan Enron pada sekitar awal tahun 2000-an. Artinya Lembaga auditor masih juga melakukan tindakan kecurangan dalam operasional auditnya.

Sehingga kita perlu memikirkan cara lain. Satu cara agar dapat meningkatkan transparansi dan presisi adalah dengan bantuan teknologi.

Teknologi memudahkan transparansi

Argumennya adalah sebagai berikut. Kalau kita menghitung perkalian suatu nilai jutaan dengan nilai jutaan yang lain dengan cara manual maka dari sisi durasi waktu penyelesaian tentu menghitung manual lebih lama daripada menghitung dengan kalkukator. Dan juga dari sisi keakuratan hasil maka tetap teknologi (kalkulator) menjadi pilihan. Proses menghitung manual berpotensi ada kesalahan. Dengan kalkulator hampir tidak ada kesalahan dalam proses penghitungan.

Kita sekarang berada dalam era teknologi, salah satu tulisan penulis dengan bimbingan penulis (nama: Masrizal) yang telah terpublish di jurnal berindeks SCOPUS (nama jurnal: Journal of Islamic Marketing 2022 yang berjudul “Determinant Factor of Crowdfunders’ Behaviour in Using Crowdfunding Waqf Model in Indonesia: Two Competing Models” juga menyatakan bahwa teknologi harus menjadi perhatian bagi para nazhir di Indonesia.

Penelitian ini sejalan dengan usaha perwakafan kita untuk terdigitalisasi dalam operasionalnya yang ujung-ujungnya adalah meningkatkan transparansi kepada masyarakat luas

Lalu bagaimana teknologi bisa menambah atau meningkatkan transparansi? Jawabannya adalah dengan teknologi blockchain. Penulis sudah sedikit membahas ini dalam pidato pengukuhan 3 tahun lalu yang juga sudah diunggah di Youtube.

Teknologi ini akan mengubah nilai uang donasi kita menjadi kode enkripsi yang tidak mungkin diketahui orang lain sehingga terjamin keamanannya, tetapi tetap memberikan info pada donor tentang perjalanan donasi terenkripsi tersebut.

Contoh, kalau wakif (donatur wakaf) ingin berwakaf melalui uang kepada nazhir (pengelola wakaf) untuk dibelikan mesin jahit bagi ibu penjahit. Maka wakif akan dapat melakukan pengecekan apakah dana yang disumbangkan sudah sampai pada toko penjual mesin jahit dan bukan pada rekening keluarga pengelola lembaga sosial tersebut.

Apabila penelusuran itu menunjukkan bahwa dana donasi tersebut sampai pada toko penjual mesin jahit maka hal itu akan sesuai dengan keinginan wakif yaitu untuk ibu penjahit sehingga tranparansi akan terjaga. Dan wakif juga bisa mempermasalahkan apabila penelusuran menunjukkan bahwa dana wakif ternyata sampai pada istri rekening pengelola. Tentu reputasi lembaga sosial tersebut akan jatuh.

Ilustrasi ini mirip dengan apabila kita mengirimkan barang ke daerah lain dan kita menerima nomor penelusuran (tracking number). Misalnya kita mengirimkan barang dari Surabaya ke Jakarta via udara. Maka kita bisa melakukan pengecekan apakah sudah sampai airport di Surabaya ataukah bahkan sudah sampai di tempat tujuan.

Kalau blockchain ini diadopsi maka lembaga pengelola akan mempunyai ruang yang sangat sempit bahkan tidak ada untuk melakukan suatu kecurangan (fraud).

Sebagai penutup, rekomendasi atas tulisan di atas adalah pertama regulator lembaga sosial diharapkan mulai menerapkan teknologi sebagai bagian dari kebijakan untuk memastikan dana sosial aman dan sampai tujuan yang diharapkan.

Kedua, lembaga sosial diharapkan juga mengadopsi teknologi ini tanpa menunggu aturan dari regulator. Hal ini demi meyakinkan donor atas lembaga tersebut.

Ketiga, ahli bidang blockchain ini mungkin jumlahnya tidak banyak dibandingkan dengan kebutuhan. Oleh karena itu lembaga pendidikan diharapkan dapat memasukkan teknologi ini dalam kurikulum.

Perlu diingat bawah teknologi ini sebenarnya tidak hanya untuk lembaga sosial tetapi untuk semua perusahaan dalam menghindari kecurangan. Wassalam. Terima Kasih.

Raditya Sukmana
Profesor Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga
Wakil Ketua MPP ICMI JATIM

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment