Suaramuslim.net – Indonesia terkenal dengan masyarakat dengan kultur beragam. Beberapa kebiasaan yang dilakukan masyarakat, lambat laun menjadi ciri khas tersendiri bangsa Indonesia. Dan menancap kuat hingga kini. Berikut uraiannya.
Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Terdapat lebih dari ratusan suku bangsa di Indonesia mulai dari Aceh sampai ujung Papua. Indonesia selain memiliki berbagai macam suku bangsa, juga memiliki aneka ragam budaya. Menurut almarhum profesor Koentjaraningrat, budaya ialah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Hasil cipta berarti suatu kebudayaan murni merupakan suatu refleksi manusia atas kebiasaannya maupun adatnya.
Sarung dan Peci, Ciri Khas yang Mengakar
Keragaman budaya itu tercermin dari bermacam-macamnya pakaian adat, bahasa, maupun sosial budaya yang telah mengakar. Kebiasaan dan adat itulah, menjadi ciri pada suatu masyarakat. Misal, sarung dan peci. Sarung dan peci, apabila kita telisik dari sejarahnya, sebenarnya bukanlah berasal dari Indonesia. Namun karena masyarakat memakainya sebagai pakaian untuk beribadah yang dipakai secara terus menerus, akhirnya menjadi ciri khusus masyarakat kita.
Tak hanya dipakai untuk beribadah, peci dan sarung pun menjadi adat istiadat dan suatu gaya seperti yang bisa kita jumpai pada masyarakat Sumatera, Betawi, maupun di wilayah Kalimantan dan Sulawesi yang masih kental dengan nuansa budaya Proto-Melayu.
Kini, sarung dan peci sudah menjadi kebudayaan masyarakat Indonesia dan menjadi ciri masyarakat Indonesia. Lambat laun peci digunakan bukan hanya sekedar untuk beribadah. Peci sudah mulai digunakan untuk acara-acara kenegaraan maupun acara pesta rakyat besar.
Contoh kedua adalah tumpengan. Kebiasaan ini dahulu kala diyakini oleh masyarakat Jawa, khususnya di daerah Gunung Semeru, merupakan salah satu sarana penolak bala. Kegiatan ini merupakan media untuk memohon pertolongan dari dewa gunung Semeru (Mahameru).
Kini, tumpengan sudah menjadi ciri masyarakat Indonesia, khususnya ketika mereka mengadakan suatu resepsi pernikahan misalnya, ataupun syukuran dan sebagainya. Lambat laun tumpengan kini sudah mulai masuk ke acara-acara ulang tahun.
Globalisasi, Menggempur Budaya Lokal
Pasca era globalisasi, masyarakat sudah kian akrab dengan gadget dan beragam alat canggih lainnya. Masyarakat daerah yang tadinya tidak mengenal televisi sekarang sudah hampir semua memilikinya. Tontonan-tontonan asing sudah lumrah bagi masyarakat desa yang dahulu identik dengan ketradisionalannya.
Barang-barang produksi modern dan mobilitas sosial yang kian meningkat. Migrasi masyarakat desa ke kota dengan tujuan mencari ilmu ataupun bekerja di kota membuat perkembangan masyarakat semakin cepat. Kemudian mereka kembali ke desa mereka dan mengenalkan berbagai perangkat canggih dan berita-berita di kota.
Hal ini membuat kebudayaan masyarakat desa yang dahulu terkenal tradisional dan kolot sudah mulai kehilangan arah mulai beradaptasi dengan budaya-budaya modern. Di era cyber technology mereka melakukan jual beli via internet dan sebagainya. Mereka bepergian tidak lagi menggunakan kaki telanjang. Mereka mampu mengendarai mobil dan sepeda motor. Berkomunikasi, mereka sudah menggunakan handphone berteknologi modern pula.
Tak hanya itu, masyarakat daerah pun sudah memiliki akun Facebook, Twitter, Whatsapp dan semacamnya. Bahasa asing pun mereka kuasai seperti bahasa Inggris, mandarin. Meskipun sebagian dari masyarakat desa yang tradisional itu ada beberapa yang tidak bisa meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama dengan alasan takut punah.
Ciri masyarakat tersebut tidak hilang tergerus zaman dan modernisasi. Meminjam teori Arnold Toynbee yaitu Challenge and response. Intinya bahwa dengan adanya modernisasi mereka melihat tantangan dan respon yang mereka hadapi serta dampaknya pada kebudayaan dan adat istiadat mereka. Namun sampai kapan masyarakat tetap bisa mempertahankan budaya lokal di tengah gempuran budaya baru yang muncul dari alat canggih yang ada di tangan mereka?
Kontributor: Abby Fadhilah Yahya
Editor: Muhammad Nashir