SURABAYA (Suaramuslim.net) – “There is no planet B,” kata Wardah al Katiri, Ph.D. Ketua Pusat Pengembangan Masyarakat dan Peradaban Islam Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (PPMPI UNUSA) ketika mengawali presentasi makalahnya tentang “Eco Literacy di Era Digital, Ijtihad untuk Bumi” di Kafe Fastron Kampus B UNUSA, Kamis (13/12/18).
Wardah menyebut perubahan-perubahan ekologis yang saat ini dialami bumi bersifat irreversible (tidak dapat balik) dan kini telah mencapai tahap yang mengancam keberlanjutan masa depan umat manusia di bumi. Sehingga perlu “ijtihad” untuk menyelamatkan bumi yang satu-satunya ini.
Eco literacy di Era Digital ini merupakan subyek kajian dan riset kedua dari PPMPI UNUSA yang memakan waktu sekitar 16 bulan dari 2018 sampai awal 2020. Pembukaan pada Kamis (13/12/18) dipimpin oleh Ketua Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya Prof. M. Nuh dan Wakil Rektor I UNUSA Prof. Kacung Marijan. Serta hadir tamu undangan dari ormas Islam di Surabaya, pemerhati isu lingkungan dan dosen beberapa perguruan tinggi juga civitas academica UNUSA.
Menurut Wardah, sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia seharusnya bisa mengatasi persoalan ekologi. Hal ini mengingat banyak ayat Alquran dan hadis Nabi serta fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menyerukan pentingnya menjaga alam. Namun, berdasarkan temuan dalam disertasinya, Islam justru tidak berperan dalam pengendalian eksplorasi alam di Indonesia.
“Padahal budaya dan agama sangat mempengaruhi kesadaran dan perilaku manusia,” lanjutnya.
“Apa yang tersisa dari hutan kita? Laju deforestasi, penipisan sumber daya alam (SDA) dan bencana alam dari tahun ke tahun di negara kita tidak bisa dihentikan,” ujarnya seraya memaparkan data-data terkait.
Kajian dan riset eco literacy di era digital, imbuh Wardah, merupakan upaya untuk menjembatani problem ekologis dan Islam. Sehingga nantinya akan melibatkan semua stake holders dari ulama, dai dan pimpinan ormas Islam.
Dalam konteks Islam, sebut Wardah, gerakan eco literacy dan keberlanjutan ini merupakan bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi (guardian of the earth), amanah manusia pada Allah, tindakan menegakkan keadilan dan hidup selaras dengan alam.
Gerakan Berbasis Komunitas
Pembukaan Kajian PPMPI UNUSA juga menghadirkan Ismid Hadad, Ketua Dewan Pembina Yayasan Keanekaragama Hayati (Kehati), sebuah lembaga nirlaba pengelola dan penyalur dana hibah independen yang pertama dan terbesar di bidang konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.
Ismid menyebut keanekaragaman hayati sebagai sistem penunjang kehidupan di bumi. Keanekaragaman hayati hutan merupakan sumber pangan, obat-obatan, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi masa depan. Namun sayangnya, lanjut Ismid, cara pandang kita selama ini terhadap kekayaan SDA di Indonesia hanya sebatas “barang yang bisa dijual”, sehingga yang terjadi adalah eksploitasi tanpa batas.
“Perlakuan kita terhadap SDA dan kehutanan saat ini masih bersifat sebagai komoditas ekonomi belaka, bukan sebagai modal kehidupan untuk masa depan bangsa,” ucap aktifis yang mendedikasikan dirinya selama 40 tahun ini dalam bidang sosial dan lingkungan.
Menurut pendiri Jurnal Prisma ini, “biang kerok” kerusakan alam di Indonesia ada dua. Pertama, pembabatan dan penggundulan hutan (deforestasi). Kedua, pencemaran udara. Dua hal ini menyebabkan pemanasan global serta perubahan iklim.
“Gerakan penyelamatan lingkungan berbasis komunitas dan lintas ormas harus terus digalakkan, karena kalau hanya sekelompok organisasi belum bisa memberikan kesadaran penuh kepada masyarakat,” pungkas pria kelahiran Surabaya ini.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir